Memanusiakan Puisi Dengan Puisi Esai
Mamang M. Haerudin
‘Puisi Esai, Apa dan Mengapa?’ adalah titel esai yang ditulis oleh Denny JA. Sudah saya baca dan sebisa mungkin dipahami. Esai tentang puisi ini benar-benar telah menjawab kegelisahan hati saya. Dari sekian banyak tokoh dan teman—yang sudah atau belum kenal—yang konsen dalam dunia kepuisian dan kepenyairan, menjadi hal yang lumrah jika kesan pertama saat membaca puisi-puisi mereka adalah cenderung sulit dimengerti—untuk enggan mengatakan ingin mengelabui—pembaca (penikmat), lebih memilih diksi-diksi yang (memang) ambigu, memilih kata-kata yang cenderung ‘melompat-lompat’, dan cenderung menggunakan kata-kata yang ‘aneh’.
Meskipun begitu, tetap harus saya akui, bahwa arus utama puisi mereka tetap menyimpan kelebihan bahwa karya tulis puisi mereka tetap enak dibaca dan mampu menjaga konsisitensi. Di luar itu, satu hal lain yang juga berpengaruh adalah karena memang mereka seorang ‘tokoh’ atau menokohkan diri dengan menggeluti dunia kepuisian dan kepenyairan.
Denny JA—seorang penyair yang mengaku tidak berpretensi menjadi penyair, mengagetkan dunia perpuisian dan kepenyairan. Katanya, selama ini ia merasakan kegelisahan sosial yang sulit dipahami dan ditemukan dalam karya puisi arus utama. Ia, bagi saya, telah berhasil mempuisikan kritik atas puisi arus utama yang cenderung dibungkus untuk ‘orang-orang tertentu’, dan hanya fokus pada kepuasan batin penulis puisi itu sendiri (tidak atau belum kepada pembaca, penikmatnya).
Ibarat menyusun strategi perang, Denny JA jauh hari telah mempersiapkan segala peralatan dan perlengkapan perang agar mampu ‘memporakporandakan’ serdadu arus utama ‘musuh’ dengan perlahan tapi tepat sasaran. Pengibaratan ini mungkin saja terlalu ekstrem. Tetapi itulah memang adanya. Denny JA mengkritik bukan asal kritik. Kritiknya sangat menusuk, tetapi tetap merangkul. Ia telah merancang sebuah riset tentang perpuisian oleh LSI—lembaga survei (Indonesia) besutannya—untuk membuktikan kegelisahan sosialnya itu. Seperti apa yang ia yakini, faktanya memang mengagetkan! Kekagetan-kekagetan itu selengkapnya bisa Anda baca pada esai yang titelnya telah saya sebutkan di awal.
Betapa tidak, dari sayap kanan (intelektual puitis), ia merangkul para penyair kenamaan, sebut saja Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Ignas Kleden, Agus Sarjono, Acep Zamzam Noor, Ahmad Sy. Alwy, Jamal D Rahman, Tugas Supriyanto, dan lain-lain. Sementara untuk sayap kiri (intelektual akademis), ia merangkul Zuhairi Misrawi, Ahmad Gaus, Novriantoni Kahar, Anick HT, Elza Peldi Taher, Ihsan Ali Fauzi, Neng Dara Afifah, Buddhy Munawar-Rahman dan lain-lain.
Menurutnya, puisi esai sekurang-kurangnya harus memenuhi tiga syarat. Pertama, puisi esai mengeksplor sisi batin individu yang sedang berada dalam sebuah konflik sosial. Kedua, puisi esai menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Semua perangkat bahasa seperti metafor, analogi, dan sebagainya justru bagus untuk dipilih. Namun diupayakan anak SMA sekalipun cepat memahami pesan yang hendak disampaikan puisi. Ketiga, puisi esai adalah fiksi. Boleh saja puisi esai itu memotret tokoh ril yang hidup dalam sejarah. Namun realitas itu diperkaya dengan aneka tokoh fiktif dan dramatisasi. Yang dipentingkan oleh puisi esai adalah renungan dan kandungan moral yang disampaikan lewat sebuah kisah, bukan semata potret akurat sebuah sejarah.
Demikianlah kita akan bisa memahami apa dan mengapa dengan puisi esai, jika membaca puisi-puisi esai karyanya antara lain ‘Romi dan Yuli dari Cikeusik’, ‘Sapu tangan Fang Yin’, ‘Minah Tetap Dipancung’, ‘Cinta Terlarang Batman dan Robin’, dan ‘Bunga Kering Perpisahan’. Kelima puisi ini sudah dibukukan dan difilmkan. Sungguh, mengagumkan!
Atas dasar itulah barang kali yang kemudian membuat Yayasan Denny JA menggagas sebuah lomba yang terbuka untuk seluruh masyarakat Indonesia dalam memasyarakatkan puisi esai. Pertama, lomba review film dan kedua, lomba menulis puisi esai. Puncak dari seluruh rangkaian kegiatan akan digelar pada 28 Oktober 2013, bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda.
Di bawah ini saya kutipkan 1 (satu) dari 13 (tiga belas) penggalan puisi esai karyanya. Dan mari kita amati dan buktikan bersama, apakah penggalan puisi ini memenuhi sekurangnya tiga syarat yang ditentukan?
Romi dan Yuli dari Cikeusik
/1/
Juleha namanya, asli Betawi.
Sejak remaja Yuli panggilannya –
Dan ia suka.
Di atas sajadah
Masih juga tersedu si Yuli.
Jam 3.00 dini hari
Ia lantunkan doa pedih
Lirih.
Ya, Tuhan gerakkan hatiku
Berikan aku isyarat menuju cahaya
Kebimbangan ini menyiksaku.
Foto Romi di tangannya,
Kekasihnya;
Diingatnya Ayah
Yang membesarkannya –
Mengapa aku tak bisa memiliki keduanya?
Ah, yang seorang umat Ahmadiyah
Seorang lagi Muslim garis keras.
Pedas, keras ucapan ibunya
Setiap kali perempuan itu memperingatkannya,
Kita di Indonesia, tidak di Amerika.
Di sini agama di atas segala
Tak terkecuali cinta remaja.
Saat membaca puisi esai ini, saya sendiri merasakan olah bahasa yang apa adanya, tidak dibuat-buat, dan pemilahan katanya akan mudah dipahami oleh kalangan segala usia. Kata demi katanya mengalir, seperti sedang bercerita tetapi bahasa indah puitisnya tetap terasa. Itulah keunikannya.
Walhasil, puisi semacam ini mampu memberikan warna moralitas ekspresif tersendiri, betapa pentingnya merenungi realitas tentang keberagaman atau perbedaan di satu sisi dan keharmonisan tanpa diskriminasi di sisi lain. Semoga puisi esai semacam ini menjadi angin segar, bisa menambah khazanah dan kreativitas sastra Indonesia dari status qu0, kejumudan, dan eksklusivisme. Lebih dari itu, untuk bangsa Indonesia, yang masih rentan didera nestapa diskriminatif, semoga puisi esai ini bisa efektif mengetuk nurani siapa pun, menuju (masyarakat) Indonesia yang berperikemanusiaan dan tanpa diskriminasi. Tetap harmoni di tengah keberagaman dan perbedaan. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H