Membunuh Ketiadaan: Refleksi atas Eksistensi dan Identitas
Latar Belakang
Manusia sejak dulu-dulu telah berusaha memahami eksistensi dan identitas melalui fenomena yang tampak terlihat dan yang tak tampak. Dalam pencarian ini, konsep ketiadaan sering kali muncul sebagai sesuatu yang terkait dengan kekosongan dan kehilangan. Namun, dalam dimensi filsafat yang lebih dalam, ketiadaan tidak hanya dipahami sebagai kekosongan semata, melainkan sebagai suatu ruang potensial yang memungkinkan eksistensi itu sendiri untuk muncul. Ketiadaan menjadi kontras yang tak terpisahkan dari keberadaan, yang memberi makna pada setiap bentuk dan identitas yang ada di dunia ini. Dalam konteks ini, eksistensi tidak bisa dipahami tanpa memperhitungkan peran ketiadaan yang sering kali disalahartikan sebagai nihilisme.
Pandangan ini mengundang pertanyaan filosofis dan metafisis tentang apa sebenarnya yang kita kenal sebagai "ketiadaan" dan bagaimana ia berhubungan dengan keberadaan sejati. Ketiadaan, yang sering dianggap sebagai kehancuran atau kekosongan, bisa jadi justru merupakan bentuk lain dari keberadaan mutlak. Dalam perspektif ini, ketiadaan bukanlah entitas yang terpisah, melainkan wajah tersembunyi dari realitas yang lebih dalam. Pemahaman ini membawa kita pada kesadaran bahwa dalam pengertian yang lebih universal, ketiadaan itu sendiri bisa jadi tidak ada, melainkan suatu cara untuk memahami eksistensi yang lebih mutlak dan tanpa batas, yang hanya bisa dicapai ketika kita merenungkan aspek yang lebih tinggi dari keberadaan.
Dalam tradisi metafisika dan spiritualitas, seperti dalam ajaran Islam, Tuhan dipandang sebagai eksistensi mutlak yang melampaui dikotomi ada dan tiada. Allah sebagai Zahir dan Batin mencerminkan retorika ketuhanan yang melampaui batas pemahaman manusia terhadap realitas. Oleh karena itu, merenungkan ketiadaan tidak hanya mengarah pada pemahaman tentang ruang dan waktu, tetapi juga menuju pengakuan atas Keberadaan yang lebih tinggi, yang tak terhingga dan tak terdefinisikan. Melalui pemahaman ini, kita dapat menemukan hubungan yang lebih dalam antara ketiadaan, eksistensi, dan Tuhan sebagai sumber segala yang ada.
Bagaimana tidak. Tidak ada alasan untuk tidak takjub pada kesempurnaan yang hanya bisa dipahami melalui kecacatan yang ideal. Lubang pada donat, celah di antara dua gunung atau bukit, jarak di antara huruf dan kata, atau ruang kosong di antara atom-atom. Semua ini berbicara tentang sesuatu yang telah sangat tua: ketiadaan. Dari ketiadaan ini, kita mengenal segala bentuk dan keadaan eksistensi. Melaluinya, kita memverifikasi identitas segala sesuatu.
Kita telah lama diajarkan bahwa kehancuran adalah kemusnahan; bahwa sesuatu yang patah dan hancur kehilangan integritasnya, kehilangan keutuhan. Namun, kita luput dari sebuah paradoks yang lebih dalam: penyatuan total, yang justru lebih menghancurkan. Dalam kesatuan yang ekstrim, bahkan ketiadaan tidak lagi dapat bertahan. Dalam kehancuran yang menyeluruh ini, ruang untuk perbedaan, celah, dan jarak turut musnah. Tidak ada yang tersisa kecuali keberadaan itu sendiri, namun dalam bentuknya yang begitu absolut hingga kehilangan daya untuk dibedakan atau disamakan dari apa pun.
Anggaplah bilangan-bilangan yang kita kenal: 0, 1, 2, 3, hingga tak terhingga. Di antara bilangan-bilangan itu, selalu ada sesuatu yang menjadi celah: kekosongan yang memungkinkan keberadaan angka-angka itu dikenali. Ketika semua bilangan dari 2 hingga tak terhingga tiada, yang tersisa hanyalah 0 dan 1. Namun, kita tetap menyebut 1 sebagai penyebutan yang sah dan relevan, sebagai satu-satunya keberadaan, karena tanpa 1, tidak ada sistem hitungan. Akan tetapi, 1 tidak sekadar angka; ia adalah unit, keberadaan yang berdiri sendiri, mandiri, dan mutlak.
Maka, apa yang selama ini kita sebut sebagai lubang pada donat, celah di antara gunung, atau jarak di antara atom-atom itu sesungguhnya tidak pernah ada. Apa yang kita anggap sebagai ketiadaan hanyalah bentuk lain dari keberadaan mutlak dan absolut. Ketiadaan tidak benar-benar ada; ia adalah wajah tersembunyi dari keberadaan yang sejati. Ia bukan sekadar kekosongan, tetapi substansi yang menopang segala sesuatu.
Tidak salah jika manusia menyebutnya Tuhan. Dan Tuhan yang paling dekat dengan deskripsi ini adalah Allah, karena Ia menyebut diri-Nya sebagai zahir (yang nyata) dan batin (yang tersembunyi) secara bersamaan. Allah adalah keberadaan yang melampaui dikotomi "ada" dan "tiada," yang menjadi asal-usul segala bentuk dan identitas, tetapi tidak dibatasi oleh bentuk atau identitas itu sendiri.
Ketiadaan sebagai identitas segala yang tiada