Mohon tunggu...
Glenn Jolodoro
Glenn Jolodoro Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Komunikasi di Diginusantara

Mendirikan konsultan komunikasi bernama Diginusantara. Saat ini aktif memperdalam topik Keberlanjutan dan mengikuti studi magister bidang Sustainability Science di Universitas Padjadjaran.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Sustainability Science: Tantangan Keberlanjutan Indonesia dalam Area Yuxi Circle (Bagian 2)

12 Juni 2024   13:38 Diperbarui: 12 Juni 2024   13:53 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Nasa with self editing.

Melalui kerangka Sustainability Science mari kita kupas lebih dalam dinamika di lingkaran Yuxi. Salah satu faktor persaingan di antara negara-negara dalam Yuxi Circle adalah energi dan sumber daya. Kami membuat analisis yang bisa dipertimbangkan agar Indonesia bisa tumbuh dan resilien di masa depan. Tulisan ini diharapkan bisa memperkaya sudut pandang kita dalam memahami semangat keberlanjutan.

Analisis Sumber Daya Energi Listrik
India dan China secara masif terus mengembangkan energi hijau khususnya melalui pemberdayaan energi matahari. Beberapa proyek PLTS ambisius India menghasilkan energi total 7 Ribu Megawatt. Bhadla Solar Park milik India menjadi penambang energi matahari terbesar di dunia memiliki kapasitas 2.245 Megawatt, cukup untuk menghidupi 1,3 juta rumah di India (Gavali, 2023). 

India perlu mendapat apresiasi dalam menyelaraskan pengembangan energi bersih dan peningkatan kebutuhan energi listrik. 43% energi dihasilkan dari berbagai variasi energi non fosil seperti hydro, angin, sampah, matahari sampai nuklir (India, 2023). China juga memiliki PLTS dengan kapasitas lebih dari 6 ribu Megawatt. 

Walaupun tidak semasif India, China berhasil mereformasi rasio produksi listriknya menjadi 34% menggunakan energi hijau, walaupun begitu ketergantungan batubara untuk energi listrik masih sangat besar, atau sekitar 63% dari total sumber energi (Slotta, 2024).

Tantangan Indonesia dalam hal kelistrikan sangatlah tinggi. Penetrasi konsumsi listrik Indonesia memang sudah nyaris mencapai 100% (ESDM,2024a), namun untuk menjadi negara maju dan modern, konsumsi listrik Indonesia perlu ditingkatkan berlipat-lipat. Saat ini penduduk Indonesia hanya mengonsumsi energi listrik sebesar 1.285kWh/kapita (ESDM, 2024b), sangat jauh jika dibandingkan negaratetangga Malaysia misalnya, yang konsumsi listriknya hampir mencapai 5.000kWh/kapita (Enerdata, 2024). 

Ketergantungan Indonesia terhadap sumber daya fosil juga menjadi tantangan tersendiri. 89% energi listrik diproduksi dari batubara dan minyak bumi. Indonesia hanya memiliki 10,4% sumber energi dari non fosil, cukup berjarak dibanding India dan China bersih (Reform, 2022). 

Selain meningkatkan sumber energi secara eksponensial (setidaknya 2-3 kali konsumsi saat ini), Indonesia perlu segera mengembangkan diversifikasi sumber energi, agar menghilangkan ketergantungan terhadap satu atau dua sumber energi yang bisa mengurangi daya tahan sumber energi dimana dunia terus menghadapi ketidakpastian.

Reforestasi
Jika Indonesia masih berniat mengembangkan carbon trading maka Indonesia perlu segera menutup toleransi terhadap aktivitas deforestasi. Pasalnya, negara-negara di area Yuxi Circle berlomba-lomba melakukan reforestasi dengan skala masif untuk mengejar modal karbon yang memadai. Ternyata Indonesia tidak sendirian dalam mengembangkan bisnis karbon. 

Sepanjang tahun 2001 sampai 2021 Vietnam berhasil menghasilkan hutan baru sebesar 28 ribu km persegi, India menghasilkan hutan baru sebesar 46 ribu km persegi, apalagi China yang terlihat sangat ambisius dengan menghasilkan hutan baru sebesar 425 ribu km persegi atau sekitar 3,3 kali luas pulau Jawa (Rao, 2024b). Ironisnya Indonesia malah mengalami deforestasi sebesar 9% dalam kurun waktu 10 tahun (2001-2021) atau sebesar 96 ribu km2 atau 0,75 kali pulau Jawa (Rao, 2024a). 

Tentunya hal ini merupakan discount bagi upaya Indonesia dalam menjaga reputasi dan potensi perdagangan karbon di masa depan. Belum lagi desakan akan kebutuhan lahan pemukiman, persawahan dan industri menjadi dilema bagi pelestarian hutan di Indonesia.

Ketahanan Pangan
Masih ada 16,2 juta penduduk Indonesia mengalami ancaman kelaparan dan 45,7% penduduk mengalami kekurangan energi dari makanan (Ahdiat, 2023; Bappenas, 2021). Bahkan Indonesia adalah negara terendah ke-2 di ASEAN setelah Timor Leste dalam hal ancaman terhadap kelaparan. Padahal jika dikonversi, Food Lost and Waste (FLW) bisa memberi energi setara dengan 61 – 125 juta penduduk Indonesia. Artinya, 62 – 100% populasi yang kekurangan energi dapat diberi makan dari FLW yang masih layak makan(Bappenas, 2021). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun