Hukum dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan
keberadaannya harus saling mendukung satu sama lain
hukum ada untuk menjaga agar kekuasaan tetap dalam koridornya dan tidak digunakan sewenang-wenang
sementara kekuasaan ada untuk menjaga agar hukum mempunyai kekuatan dan tetap terjaga supremasinya
Cita-cita membebaskan pemerintahan Indonesia dari belenggu korupsi nampaknya masih belum bisa terlaksana sepenuhnya bahkan terkesan semakin jauh dari keberhasilan, bagaimana tidak, bukan hanya pejabat legislative dan eksekutif saja yang kini terjangkit korupsi, namun lembaga yudikatif sebagai garda terdepan dalam memberantas korupsi kini tidak kebal terhadap serangan virus korupsi, semakin miris karena hal itu terjadi ditengah aksi kriminalisasi terhadap internal KPK, padahal kita tahu bahwa KPK menjadi harapan rakyat dalam cita-cita pemberantasan korupsi di tanah air ini.
Baru baru ini dua orang anggota dewan RI dikabarkan ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, mereka adalah politisi yang masing masing berasal dari Partai Nasdem dan Partai Hanura. sementara itu di lembaga yudikatif, OC Kaligis sebagai praktisi hukum senior ternyata harus mengalami nasib sebagai tersangka kasus penyuapan terkait kasus bantuan sosial yang menyeret Gubernur Sumatera Utara.
Begitulah memang kenyataanya negeri kita, korupsi masih menjadi penyakit yang masih kebal terhadap supremasi hukum, bahkan dengan berani menyerang hukum sebagai obat penyakit korupsi itu sendiri. Pesohor yang membawa amanah rakyat justeru tidak mampu mengemban amanah rakyat dan tersangkut kasus yang membuat rakyat marah itu.
Jadi teringat apa yang di jelaskan oleh Kuskrido Ambardhi dalam bukunya yang berjudul “Mengungkap Politik Kartel” bahwa ada dua jenis keuntungan yang diincar oleh mereka yang menempati pos pos kekuasaan negara, yaitu keuntungan ideology dan keuntungan ekonomi. Berkaitan dengan keuntungan ekonomi, bahwa mereka yang ada di struktur kekuasaan akan senantiasa mencari pendapatan yang dialokasikan untuk kepentingan pribadi bahkan untuk kepentingan partai politik, celakanya cara mereka untuk mencari keuntungan ekonomi sering melebihi batas yang ditentukan, entah kurang cukup atau apapun itu, saluran legal terkadang tidak mampu memenuhi hasrat mereka dalam mendapatkan keuntungan. Akibatnya mereka berani menempuh cara ilegal untuk mendapatkan finansial salah satunya dengan korupsi, suap menyuap, mark up anggaran dan lain sebagainya.
Ditempuhnya jalur illegal ini tentu tidak terlepas dari lemahnya supremasi hukum di Indonesia, sehingga hukum yang seharusnya membendung arogansi kekuasaan tidak mampu menjadi benteng yang membatasi buasnya kekuasaan. Maka pada akhirnya PR menegakan supremasi hukum ini menjadi tanggung jawab kita bersama, tidak hanya pemerintah saja, ataupun mereka yang ada dilembaga yudikatif, tapi semua unsur negara memiliki tugas sesuai bidang masing-masing dalam menegakan supremasi hukum ini sehingga hukum bisa menjadi banteng kokoh dan arogansi kekuasaan bisa ditekan sehingga penyelewengan terhadap kekuasaan termasuk korupsi bisa dihilangkan dari negeri ini.
Maka, untuk membendung kekuasaan tentu harus dibangun kekuatan hukum yang dibentuk dari semua unsur negara. Rakyat dan pemerintah harus bahu membahu dalam menegakan hukum dan mengawasi mereka yang menggenggam kekuasaan, koordinasi diantara rakyat dan pemerintah serta antara pemerintah dengan pemerintah jelas menjadi poin penting dalam pemberantasan korupsi ini, hal ini karena tidak adanya unsur kerjasama maka pemberantasan korupsi ini akan sulit untuk dilakukan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI