Mohon tunggu...
GOOD THINGS
GOOD THINGS Mohon Tunggu... -

♥ Mamak Ketol ♥ PEREMPUAN bersarung yang suka gonta-ganti nama sesuai judul tulisan terbaru ♥ "Nothing shows a man's character more than what he laughs at."(Goethe) ♥

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Topeng Monyet dan Anak Jalanan

25 April 2010   22:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:35 1557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_126669" align="aligncenter" width="480" caption="Topeng Monyet in action ©Mamak Ketol™"][/caption] Sarimin pergi ke pasar! Sarimin mengenakan pakaian! Tidak diketahui bagaimana asal-muasal nama Sarimin menjadi nama panggung seekor monyet. Yang pasti, kedua kalimat di atas paling sering diucapkan oleh pawang kesenian Topeng Monyet. Bagaimana dengan Sarimin narik becak? Kesempatan melihat atraksi monyet menarik becak itu tiba-tiba saja hadir di depan mata. [caption id="attachment_126671" align="aligncenter" width="499" caption="Sarimin narik becak! ©Mamak Ketol™"][/caption] Di Indonesia, Topeng Monyet lebih lazim dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kesenian tradisional ini dinamakan demikian karena pada umumnya sang monyet mengenakan topeng dalam memainkan peran yang diperintahkan oleh sang pawang atau tuan si monyet. Namun dalam perkembangannya, reog mungil dan helm pun dipergunakan dalam peran-peran seperti menari reog, polisi lalu lintas, pembalap motor dan tentara maju perang. Bahkan ada juga permainan Topeng Monyet yang “telanjang” alias tidak memakai topeng ataupun baju, seperti ketika si monyet bersepeda keliling kota atau menarik becak. Tak jarang hewan lain seperti ular dan anjing diikutsertakan dalam pertunjukkan. [caption id="attachment_126674" align="aligncenter" width="500" caption="Sarimin naik sepeda! ©Mamak Ketol™"][/caption] Adapun jenis monyet yang dijadikan pemain adalah Macaca Fascicularis atau biasa disebut juga long tailed monkey atau crab eating monkey. Selain di Indonesia, kesenian sejenis juga dipraktekkan di sejumlah negara seperti Pakistan, India, Cina, Korea, Vietnam, Thailand dan Jepang. Setiap memulai atraksinya, pawang selalu meneriakkan “topeng monyet” sebagai petanda dimulainya tontonan ini. Setiap gerak-gerik monyet diiringi dengan musik yang dimainkan oleh atau atau dua orang. Alat musik yang digunakan biasanya berupa gendang dan kenong (semacam gong atau gamelan kecil dari tembaga). Sementara itu rantai pengikat monyet dikendalikan oleh pawang. [caption id="attachment_126670" align="aligncenter" width="492" caption="Tung tang ting tung suara gendang dan gamelan bertalu-talu ©Mamak Ketol™"][/caption] Pada tahun 1980-an, rombongan Topeng Monyet ini masih sering terlihat keluar-masuk kampung atau pemukiman padat. Mereka menawarkan atraksi monyet dengan menabuh gendang yang iramanya monoton tapi khas seperti: tung tang ting tung, tung tang ting tung, tung tang ting tung. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, sepertinya kumandang tung tang ting tung mulaiterpinggirkan. Inilah anehnya manusia sekarang. Anak-anak lebih akrab mendengar ringtone dari BB. mereka lebih banyak bersosialisasi di dunia maya, ber-FB-FB-an dan bermain akrab dengan dengan hewan-hewan di dunia Farmville dan sejenisnya. Sarimin Naik Bajaj Suburnya pertumbuhan perumahan elit dan semakin megahnya pusat perbelanjaan membuat kapling untuk melakukan atraksi monyet semakin terbatas. Akan tetapi, semakin baiknya sarana transportasi dari perumahan ke mal memungkinkan sederetan Topeng Monyet untuk nanggap di tempat-tempat strategis, seperti di jalur hijau depan Mal Ambasador di sepanjang Jalan dr Satrio, Kuningan, Jakarta Selatan. Topeng Monyet yang biasanya digendangi oleh pawang dewasa, kini dikendalikan oleh anak-anak jalanan. Anak-anak jalanan itu bukan pawang monyet sesungguhnya. Mungkin mereka lebih pantas disebut penyewa monyet, dimana mereka harus membayar uang sewa monyet sebesar Rp 30.000-Rp 35.000 per ekor. Tak dapat dipungkiri. Topeng Monyet pun mulai beradaptasi. Penyewa monyet di jalanan itu tak lagi mempertunjukkan tontonan topeng yang tradisional, tapi suatu atraksi dangdut monyet. Budaya tradisional menjadi budaya mengamen. Suara tung tang ting tung tak lagi mengiringi Sarimin narik becak. Dari sound system butut terdengar lagu Terajana dan Sarimin pun "hanya" berakrobat dangdut di pinggir jalan raya. Terajana ... terajana ... Ini lagunya ... lagu India Ini lagunya ... lagu India Setelah lahan untuk naik sepeda ataupun naik becak sudah semakin sempit, Sarimin pun diajak naik bajaj oleh anak-anak jalanan. Bajaj benaran tentunya, seperti hasil wawancara wartawan KOMPAS:

Penghasilan itu juga masih harus dikurangi ongkos naik bajaj dari rumah kontrakannya di Pasar Prumpung, Jakarta Timur, ke Kuningan PP, antara Rp 10.000-Rp 15.00 sekali jalan. "Tergantung bang kalau macet bayar Rp 15 ribu kalau lancar cuman Rp 10 ribu" kata sang kakak. Untuk menghemat, mereka biasa naik bajaj berombongan bersama sesama pengamen lain, dengan monyetnya juga tentunya. Sedangkan makan siang, mereka harus berbagi dengan sang monyet yang ternyata gemar makan tempe goreng.

Ada yang berkecamuk dalam hati ketika memikirkan monyet dan anak jalanan. Mengamen bersama monyet dilakoni anak jalanan setiap hari selama 10 jam! Penghasilan mereka tidak tetap antara Rp 60.000,- - Rp 90.000,- dan sesekali mencapai Rp. 100.000. Sarimin-Sarimin itu ternyata merupakan “tulang punggung” anak-anak jalanan. Mempekerjakan monyet-moyet di bawah umur ini menjadi kepedulian segelintir masyarakat. Aktivis lingkungan mengkritisi atraksi Topeng Monyet yang dianggap sebagai kekerasan terhadap hewan primata ini. Mereka bersikukuh bahwa monyet-monyet pekerja tersebut seharusnya kembali ke habitatnya di hutan, atau di cagar alam. Seperti monyet- monyet yang ada di Muara Angke. Mereka dilindungi dari kepunahan dan pencemaran lingkungan. Monyet-monyet itu "dihadiahi" berpuluh-puluh pohon bakau agar supaya mereka kelak dapat makan buah pidada, buah kesukaan mereka. Apa "makanan" monyet dan anak jalanan di kota-kota besar itu? 2T! Tempe dan Terajanaaaa .... Apa sebenarnya yang harus diprioritaskan? Tradisi Topeng Monyet sebagai warisan budaya? Perlindungan satwa? atau masa depan anak jalanan? Artikel terkait anak jalanan: Terima Kasih Seribu dan Alangkah Lucunya Negeri 1001 Badut. Referensi: Wikipedia, Detik.com, KOMPAS dan Quazen.com.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun