Namaku Sarimin … [caption id="attachment_97018" align="alignleft" width="300" caption="Sarimin makan roti tawar (Emang lu kate cuma "bule" aje yang suka makan bret-jam-bret?) ©Mamak Ketol™"][/caption] Nenek moyangku adalah keluarga Crab-eating Macaque atau biasa disebut Long-tailed Macaques. Aku tinggal di Padangtegal, Ubud. Tepatnya di Sacred Monkey Forest. Banyak wisatawan yang datang ke Monkey Forest ini. Setiap tahun jumlahnya bertambah banyak. Pada tahun 1986, misalnya, setiap bulan ada sekitar 800 pengunjung. Sekarang, jumlahnya bisa mencapai 10.000 orang/bulan. Suatu lonjakan yang lumayan tinggi. Mungkin karena rumahku itu di-embel-embel-i kata sacred. Memang, di dalam kompleks rumahku ada Pura Dalem Agung Padangtegal dengan artifak keramat dalam bentuk lingga-yoni. Masyarakat Desa Adat Padangtegal mempercayai keluarga kami termasuk yang dianggap keramat juga. Berdasarkan sejarahnya, habitat kami itu dulunya dinamakan Alas Pemaosan. Pada tahun 1990, namanya diganti menjadi Wenara Wana. Wenara yang berasal dari bahasa Sansekerta ini artinya "monyet". Sementara wana berarti "hutan". Pemilihan bahasa ini ditengarai dapat mencitrakan lahan konservasi yang “keramat” juga. Sama keramatnya seperti bahasa Sansekerta itu sendiri. Sampai sekarang habitat alami kami itu dikenal dengan nama Padangtegal Monkey Forest. Di situs resminya, rumah kami dinamakan Sacred Monkey Forest Sactuary atau Mandala Wisata Wenara Wana. [caption id="attachment_97024" align="alignright" width="225" caption=" Main staple: Banana ©Mamak Ketol™"][/caption] Setiap orang dewasa yang mau mengunjungi kami harus membayar Rp 15.000 dan anak-anak Rp 7.500. Para tamu seringkali menghadiahi kami buah pisang, makanan tradisional kami. Pisang-pisang itu dijual di pintu masuk. Buah itu merupakan makanan resmi yang boleh dibawa masuk untuk diberikan kepada kami. Oleh petugas, secara teratur kami disediakan ubi jalar yang sudah dipotong-potong besar. Meskipun mahkluk yang serumpun dengan kami ini dinamakan monyet pemakan kepiting, kami termasuk pemakan segala. Singkat cerita, kami tak pernah kelaparan. Meskipun lahan hidup kami itu luasnya cuma 27 are, jangan kalian remehkan kekayaan alamnya. Ada 115 jenis pohon yang tumbuh di hutan kami itu. Kami dapat memetik buah kelapa langsung dari pohonnya. Ada pohon ara. Ada pula pohon “makanan monyet”, yang buahnya sebesar anggur dan warnanya mirip dengan buah langsat. Rumah kami masih asri dan rimbun. Selain keluarga kami, ada Keluarga Tupai dan Keluarga Rusa. Ada beberapa burung yang turut menumpang di rumah kami. Capung dan kupu-kupu pun masih tampak beterbangan disana sini. Mengenai urusan minum, kami tak pernah kekurangan. Ada sungai yang mengalir dan aku kerap kali mandi dan bermain dengan teman-temanku di sungai. Di salah satu pojok terdapat kolam ikan. Kolamnya kecil. Di dalamnya hiduplah keluarga Koi. Ada saja pengunjung yang melemparkan koin ke dalam kolam itu. Mungkin mereka pikir itu wishing well. Aku tak pernah mandi disana. Minder aku sama ikan-ikan Koi yang liuk tubuhnya menggemaskan. Di dekat pintu masuk ada pohon beringin yang besar. Pohon itu membuat tempat parkir di sepanjang Jalan Monkey Forest cukup teduh. Kadang-kadang, aku suka mengasah gigiku di bemper mobil yang sedang parkir. Kalau ketahuan aku diteriaki atau ditepoki. Biasanya aku langsung kabur. Entah sudah berapa banyak mobil yang menjadi mangsa gigitanku dan keluargaku. [caption id="attachment_97022" align="alignleft" width="225" caption="Sarimin suka ngeroki juga ©Mamak Ketol™"][/caption] Kadang-kadang kalau lagi bosan, aku menyeberang ke toko souvenir. Kalau ada mainan seperti alat musik “krecek-krecek” dari kayu, aku ambil dan kujadikan mainanku. Aku suka memperhatikan orang-orang yang makan dan minum di kafe-kafe yang tersebar dan terletak tak jauh dari rumahku. Pernah aku menemukan rokok dan aku mencoba mengisapnya. Ngga ada rasanya! Sawah yang menjadi salah satu ikon pemandangan Ubud pun menjadi tempat pelepas lelah setelah bermain atau berkelahi dengan saudara-saudari-ku. Boleh dong aku menikmati hijaunya ladang, sebelum habis dijadikan beton? Kalau aku sedang bete banget aku masuk ke halaman homestay terdekat. Disana aku biasa mengincar breakfast yang ditinggalkan oleh wisatawan yang menginap. Lumayan bisa icip-icip makanan manusia. Ada roti dan ada nasi goreng yang makketol eh maksudku maknyuuus. Pernah terpikir olehku untuk bepergian ke Muara Angke. Sekedar melancong saja sih. Muara yang dulunya merah itu sedang dihijaukan. Sekelompok Kompasianer mengadakan BakSos disana beberapa hari yang lalu. Acara bakti sosial itu dijadikan ajang KopDar oleh segelintir peserta. To kill two birds with one stone - Satu ditembak, dua kena. Selain membuang limbah plastik, manusia yang hidup disekitar Angke kadangkala meninggalkan remah-remah pizza. Meskipun aku belum pernah mencicipi pizza, aku bahagia hidup di Ubud. Aku beruntung dapat hidup bebas di Hutan Monyet, Padangtegal. Aku membayangkan betapa sedihnya apabila aku harus di kerangkeng di Kebun Binatang atau Taman Safari. Pasti membosankan. [caption id="attachment_97021" align="alignright" width="225" caption="Sarimin makan nasi goreng dengan sayur dan telur mata sapi ©Mamak Ketol™"][/caption] Populasi keluarga Long-tailed Macaque merupakan primata di Asia Tenggara yang berhasil dan belum terancam punah. Kerabat kami hidup dan berkembang di wilayah yang bervariasi seperti hutan primer, hutan sekunder, hutan bakau, perkebunan serta pedesaan. Keberlangsungan hidup keluarga besar kami ditunjang oleh asupan makanan yang bervariasi, termasuk “sampah rumah tangga" (manusia). Seperti yang ditulis di Ecology Asia: Its success is largely due to a varied diet of fruits, leaves, small mammals and birds, shellfish and crabs, as well as human leftovers. Jadi sesungguhnya, bagi bangsa monyet, makanan sisa itu berguna bagi kelangsungan hidup kami. Asalkan kami tidak dipaksakan untuk menikmati makanan yang bukan menjadi konsumsi kami. Lain halnya dengan makhluk hidup yang bersayap. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) misalnya, sudah dinyatakan langka. Menurut KOMPAS, di Jawa Barat populasi burung ini tinggal belasan pasang. Sesuai dengan namanya, elang ini hanya di jumpai di pulau Jawa. Selain di Kebun Raya Bogor, Elang Jawa diduga hidup di Gunung Pancar, Gunung Salak, Gunung Gede Pangrango, dan Gunung Halimun. Celakanya, hidup keluarga elang ini lebih tergantung pada hutan primer. Penanaman pohon mungkin tak dapat mencegah berkurangnya Elang Jawa. Perubahan iklim, kerusakan ekosistem hutan primer dan dampak pestisida menjadi kendala kelangsungan hidup Elang Jawa. Sangat memprihatinkan. Aku hidup tentram di rumahku di Monkey Forest. Pihak pengelola menawarkan program Adopsi Pohon. Setiap individu yang berminat dapat mengadopsi satu pohon untuk ditanam di Ubud. Bibit pohon ini dihargai Rp. 150.000 plus sertifikat. Aku berharap anak-cucuku kelak dapat hidup di lingkungan yang lebih ramah dengan persediaan makanan yang alami juga. Sehingga aku si Sarimin, tak perlu pergi ke pasar …
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI