Dia biasa kupangil Boy. Selain bermata biru, dia juga berdarah biru. Sebelum dia menginjakkan kakinya ke Pulau Dewata, keturunan bangsawan asal Belgia itu bukanlah pelukis terkenal di negaranya, apalagi di dunia. Dia “hanyalah” seseorang yang berbakat seni dengan gelar insinyur. [caption id="attachment_98177" align="aligncenter" width="680" caption="Patung memorial Le Mayeur dan Ni Pollok ©Mamak Ketol™"][/caption] Apabila Gauguin hijrah ke Tahiti untuk mencari inspirasi. Lelaki matang itu melanglang buana ke Bali untuk pertama kalinya di tahun 1932, ketika berusia 52 tahun. Pelukis itu kemudian menyewa rumah di desaku - banjar Kelandis, Denpasar. Rumahnya berseberangan dengan Pura Dalem Prajurit, tempatku biasa menari. Di sinilah Boy melihatku untuk pertama kalinya. Kala itu … usiaku 15 tahun. Boy sangat tertarik untuk menjadikanku sebagai model lukisannya dan meminta pimpinan sanggar agar aku boleh berpose untuknya. Hampir tiga tahun aku menjadi sosok yang paling sering dilukis oleh Boy. Selama itu pula Boy dengan tekun mengajari aku membaca dan menulis. Hamparan pasir di Pantai Sanur menjadi papan tulis dan rantingpun menjadi alat tulisnya. Karena Boy dan pergaulanku, aku fasih berbahasa Inggris, Jerman dan Prancis. Di awal tahun 1933, Boy mengadakan pameran lukisan di Singapura. Lebih dari 30 lukisan dan pastel yang dipamerkan, tentu saja termasuk lukisan diriku. Hampir semua lukisan Boy laku terjual. Pameran yang lumayan sukses itu membuat Boy semakin dikenal dan lukisannya menjadi koleksi orang-orang dari mancanegara. Rencananya Boy hanya akan tinggal di Bali selama 8 bulan, namun akhirnya menghabiskan sisa hidupnya di sana. Dari hasil pameran di Singapura, Boy membeli tanah seluas 32 are di daerah Pantai Sanur, dan membangun rumah merangkap studio lukis. Rumah itu dilengkapi dengan taman yang indah pada masa itu, dan sering mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. [caption id="attachment_98179" align="aligncenter" width="480" caption="Taman dan bangunan utama di depannya terdapat Balai Bengong ©Mamak Ketol™"]
[/caption] Rumah pantai itu memiliki arsitektur Bali yang kental. Pilar dan jendelanya berhiaskan ukiran Bali. Boylah yang merancang ukirannya. Ada tiga ruang utama: ruang tamu, ruang keluarga dan studio tempatnya bekerja. Ada 10 lukisan dipajang di ruang tamu yang dilengkapi dengan perabotan antik khas Bali, pernak-pernik dari perak, patung, dan buku. Ruang keluarga dipenuhi dengan lukisan gaya Eropa, sementara itu lukisan-lukisan yang berukuran besar disimpan di studio. [caption id="attachment_98178" align="aligncenter" width="480" caption="Salah satu pintu masuk museum: Harap lepas alas kaki - no camera, please ©Mamak Ketol™"]
[/caption] Hubungan kerja antara kami yang tadinya hanya sebatas model dan pelukis pun berubah. Pada tahun 1935, ketika usiaku mencapai 18 tahun, Boy menikahiku. Setelah berkeluarga aku masih sering berpose untuk suamiku. Sebagai model seumur hidup, ada satu permintaan suamiku. Permintaan itu adalah agar aku tak pernah melahirkan anak. Menurut suamiku perubahan bentuk tubuhku akibat melahirkan dan menyusui anak tak baik bagi seorang model seperti aku. Aku sadar, kadang … dimatanya, aku hanya objek lukisan. Karena cinta dan pengabdianku pada suamiku, aku berusaha untuk memahami keinginannya, meskipun hatiku galau. Aku lebih “beruntung” dibandingkan dengan Kubil dari desa Klandis Kedaton yang pernah menjadi model Emilio Ambron (1905 – 1996). Oleh
Theo Meier, pelukis asal Swiss, Kubil sempat ditengarai menaburkan guna-guna ke dalam spaghetti Ambron dengan harapan dinikahi oleh pelukis asal Italia itu. Pada tahun 1941, Boy kembali mengadakan pameran di Singapura. Kali ini, selain lukisan-lukisan yang dihasilkannya di Bali, Boy menggelar hasil goresannya di Belgia, India dan Venice. Ketenaran Boy semakin menanjak. Begitupun kehidupan kami. Ketika perang pecah, pasokan kanvas dan alat lukis dari Belgia sempat terhenti. Kedatangan Jepang di Sanur mengharuskan suamiku menjadi tahanan rumah. Suamiku pun memanfaatkan cat air dan bahan yang ada seperti, tripleks, dan karung goni sebagai media lukisannya. Semasa perang, pariwisata di Bali lumpuh total. Namun, bangkit kembali ketika KPM (
Koninklijke Paketvaart Maatschappij = perusahaan pelayaran Belanda 1888 – 1967) beroperasi di perairan Bali. Turisme di Bali, dan di Indonesia secara umum, mulai menggeliat pada tahun 1942. Paket wisata yang ditawarkan Belanda memasukkan rumah kami sebagai salah satu tujuan wisata tambahan. Bisa dibayangkan betapa sibuknya kami meladeni turis mancanegara yang baru saja merapat di Pantai Sanur. [caption id="attachment_98180" align="alignleft" width="300" caption="Ni Pollok, Le Mayeur dan Gipsy - direproduksi di Kompasiana tanpa tujuan komersil (photographer unknown)"]
[/caption] Hampir setiap literatur yang terbit pada saat itu menyebutkan kehangatan dan keramah-tamahan kami kala menyambut dan menjamu para tamu berbagai bangsa itu. Salah satu yang paling kuingat adalah pemberitaan tentang kecantikan dan “kepolosanku”. Ya … aku, dan juga wanita-wanita di Bali, sudah terbiasa bertelanjang dada dalam keseharian kami. Publikasi ini tentu saja membuat Belanda panas-dingin. Untuk mengesahkan penjajahan dan untuk menunjukkan “kemajuan” peradaban di Bali, “ketelanjangan” ini tentu saja bisa mencoreng Belanda di mata dunia. Namun, di sisi lain, Belanda masih berkeinginan untuk meningkatkan pariwisata di Bali, meskipun dengan mempromosikan kepolosan wanita Bali. Alhasil, propaganda
Belanda semasa penjajahan “kunjungi Bali, sebelum semuanya tersentuh peradaban” pun menjadi senjata yang ampuh untuk mendatangkan turis. Kesehatan Boy menurun ketika dia terjatuh dari punggung Gipsy, kuda piaraan kami. Kakinya patah dan mengharuskannya menggunakan tongkat. Pada tahun 1958, aku menemani suamiku yang menderita kanker telinga untuk berobat ke negara kelahirannya. Dua bulan kemudian, Boy meninggal dan dimakamkan di sana. Ada pria lain yang mengisi hidupku. Dia adalah seorang dokter asal Italia bernama Federico Alliney. Kami sempat menikah, namun ketidakpastian hukum membuatnya harus pulang ke negaranya. Perkawinan antar bangsa kerap menjadi pembicaraan. Mitos tentang guna-guna seperti yang dialami Kubil terkadang “dihidupkan” kembali. Namun, sebagai perempuan Bali aku bisa menepis anggapan usang mengenai wanita-wanita yang dilecehkan pada jamanku.
Sumber: NTDIndonesian @ You Tube
Catatan: 1. Boy adalah panggilan Ni Nyoman Pollok (1917 – 1985) terhadap suaminya Adrien-Jean Le Mayeur de Merpres (1880 – 1958). 2. Catatan ini adalah pemahaman Mamak Ketol atas sosok Le Mayeur. Penokohan “aku” hanyalah gaya penulisan, dan BUKAN pandangan Ni Pollok pribadi terhadap Le Mayeur. 3. Kartu pos (foto hitam putih) adalah koleksi pribadi, dan untuk penerbitan di Kompasiana, bagian dada Ni Pollok dengan sengaja Mamak Ketol tutup. Referensi: Emilio Ambron (Bruce W. Carpenter, 2001), Artists on Bali (Ruud Spruit, 1997), dan Bali Enchanted Isle (Helen Eva Yates, 1933).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Catatan Selengkapnya