[caption id="attachment_107587" align="alignright" width="225" caption="Liverpool, Summer 20** ©Mamak Ketol™ "][/caption]
Liverpool, musim panas, tahun 20**. Dua orang sahabat sedang berjalan kaki di sepanjang Hanover Street. Mereka baru saja meninggalkan Albert Dock - dermaga (Pangeran) Albert, selepas menonton pameran yang mungkin terjadi sekali seumur hidup. Tak hanya bagi Liverpudlians, bahkan bagi seluruh penduduk dan pendatang di negara Prince William itu sendiri.
Di antara kerumunan orang banyak, salah satu dari dua perempuan itu melihat seorang penampil jalan. Sosok lelaki “super kekar” itu berjalan mondar-mandir. Berjinjit. Sepertinya dia mengenakan stilts (semacam egrang mini dari besi), ditambah dengan kaca mata google hitam dan swim cap berwarna kuning. Berpakaian renang strip-strip seperti pakaian loreng napi yang biasa digambarkan di kartun atau komik.
Pria berbadan bongsor itu memegang bendera merah-kuning. Dalam konteks keamanan di wilayah pantai, area yang ditandai dengan dua bendera seperti ini artinya adalah: safe to swim and belly board – aman untuk berenang dan menggunakan papan luncur kecil yang biasa dipakai untuk menahan tubuh terutama perut sewaktu berselancar. Atraksi penampil jalan ini pasti ada hubungannya dengan pameran yang dilakukan di dermaga. Ya … betul, It’s all happening in Liverpool. Persis seperti yang terpampang di salah satu billboard di Jalan Hanover dari Ibukota Kebudayaan Eropa (European capital of culture) ini.
[caption id="attachment_107593" align="alignleft" width="225" caption="Let us be thankful for the fools. But for them the rest of us could not succeed (Mark Twain)."][/caption]
Rambu-rambu keamanan berenang ini berlaku di beberapa negara seperti Inggris, Australia, Kanada, Selandia Baru dan Filipina dan tentu saja setiap perenang atau peselancar harus mematuhi rambu-rambu ini kalau ingin selamat.
Keberadaan penampil jalan itu mungkin dilakukan atas inisiatifnya sendiri. Namun, boleh jadi merupakan hasil rapat sekelompok orang atau komunitas tertentu, misalnya komunitas peselancar. Apapun pesan dan kegiatan yang disampaikan oleh street performer ini adalah tanggung-jawab kelompoknya. Tanpa melibatkan penjaga pantai yang mungkin sedang bertugas di poskonya dan tanpa membawa-bawa corporate name yang bersangkutan.
Apabila ada sekelompok peselancar yang turun ke jalan dengan pakaian “preman” (bukan pakaian dinas), konsekuensi logisnya adalah, segala tindakan mereka, entah itu positif ataupun negatif, menjadi tanggung-jawab dan kebanggaan kelompoknya. Kalaupun ada dari pihak manajemen penjaga pantai yang diutus untuk turut berpartisipasi, tak berarti bahwa utusan itu mewakili atau mengatas-namakan perusahaan.
Adalah suatu kejanggalan apabila hasil rapat atau kegiatan “jalanan” diterapkan ke dalam sistem peraturan atau dibakukan menjadi do’s and don’ts nya company. “Tagging,” misalnya. kalau sudah ada kesepakatan internal antar anggota yang punya kesamaan selera, silahkan saja menghimbau anggotanya untuk menggunakan tag tertentu. Akan tetapi bijakkah melarang dan bahkan sampai meng-ultimatum seseorang untuk tidak menggunakan label tertentu karena tag tersebut berkaitan dengan nama negara AB (Antah Berantah)? Entahlah.
Mungkin ini yang dinamakan dinamika dunia maya. Dimana tiap-tiap orkestra lebih mementingkan genre musik dan fans mereka masing. Sementara itu, ada saja pemusik yang masih suka berakting bak dirigen. It’s happening in Liverpool. Maybe it's time to say goodbye?? [caption id="attachment_107595" align="alignright" width="225" caption="Penampil jalan ©Mamak Ketol™ "][/caption] Parodi Terakhir? Liverpool, Rabu 31 Maret 2010. Kedua sahabat itu, ♀☺ dan ♀☻sedang menikmati fish and chips di salah satu taman di pojok kota Liverpool. Mereka sedang membicarakan Mamak Ketol.
♀☺: Kau sudah dengar berita itu? ♀☻: Berita apa? ♀☺: Sarimin mau digantung Mamak Ketol. ♀☻: Maksudmu? ♀☺: Mamak Ketol mau berhenti nulis! ♀☻: Gila! Apa April Mop maju sehari? ♀☺: Tentu saja tidak. Ini serius. ♀☻: Ada apa gerangan? ♀☺: Persisnya aku tidak tahu. Mungkin Mamak sudah tidak satu selera lagi dengan TTM (Teman Teman Maya) nya. Mungkin juga karena lamaran itu. ♀☻: Lamaran? Lamaran apa? ♀☺: Hmmm… sebenarnya ini rahasia. Jangan bilang siapa-siapa ya .... Ada dua pihak yang jatuh cinta dengan tulisan Mamak. Mamak diiming-imingi fulus dan kemasyuran. To make the story short, Mamak sudah di-headhunted. ♀☻: Dan Mamak setuju? ♀☺: Dengan berat hati aku harus katakan “ya”. ♀☻: Why Mamak? Why …? ♀☺: Salah satu headhunter itu adalah penulis kondang W**** K****. Beliau memiliki perusahaan penerbit sendiri. Bukan penerbit besar, sebenarnya. Tapi … pihak penerbit dan editor memberi kelonggaran kepada Mamak Ketol. ♀☻: Kelonggaran bagaimana? ♀☺: Setiap “satu titik” yang diedit harus melalui persetujuan Mamak. ♀☻: Oh ya? Terus … bagaimana dengan honor nya? ♀☺: Sepertinya mereka sudah deal bahwa setiap rupiah dari royalty akan disumbangkan ke DKK. ♀☻: Apaan tuh? Dan Kawan Kawan? ♀☺: Ngaco! Dana Kemanusiaan Kompas lah. Sudah disepakati sumbangan itu akan ditulis atas nama NN. ♀☻: NN? Nyonya Ngocol? ♀☺: Elu kok dudul sih? Ya No Name dong. Mau diperpanjang menjadi Nick Name kek atau Nenek Nenek kek, what difference does it make? ♀☻: Hihihi … alasannya menggunakan NN? ♀☺: Agar supaya tangan kiri nggak tau apa yang dilakukan tangan kanan. ♀☻: Oh gitu … menurut elo, apakah kadar “ketulusan” seseorang dalam ber-sharing.connecting dapat diukur dan ditentukan dari apakah dia NN atau tidak? ♀☺: Entahlah … biarkan Sarimin yang menjawabnya. ♀☻: Kok Sarimin sih? ♀☺: Biar aja … toh dia sebentar lagi bakalan digantung sama Mamak. ♀☻: Hahaha … ♀☺: Hahaha …
Liverpool, 1 April, 2010. Sambil "menggantung Sarimin", Mamak Ketol bersenandung: Cause I'm leavin' on a jet plane Don't know when I'll be back again ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H