Penggunaan bahasa asing kadang dianggap sebagai ancaman nasionalisme bangsa. Bahasa asing disinyalir mengakibatkan berkurangnya atau bahkan memudarnya fungsi bahasa Indonesia sebagai jatidiri dan pemersatu bangsa. Dalam rangka bulan bahasa dan peringatan Sumpah Pemuda, mari kita kaji bersama, sejauh mana penggunaan bahasa asing di tempat umum dianggap “menodai” bahasa persatuan Indonesia, dan bagaimana kebijakan pemerintah terhadap penggunaan bahasa asing sebagai nama jalan dan label makanan. [caption id="attachment_305794" align="aligncenter" width="480" caption="Bir Bintang sebagai "Mexican Specials"? ©Mamak Ketol™"][/caption] Daftar menu Mexican Specials sudah pasti terdiri dari makanan khas Meksiko yang cukup populer seperti tacos dan nachos. Kata “Bintang” dan daftar harga dalam rupiah memberi petunjuk bahwa papan pengumuman ini ditemukan di Indonesia, tepatnya di daerah Sanur, Denpasar. Daftar menu yang lebih “sederhana” lagi dijumpai di sekitar Lovina, Singaraja. Special Today yang mencantumkan Guacamole, juga kudapan khas Mexico, seharga Rp 12.000,- ini ditempel begitu saja di atas papan menu yang terbuat dari kayu. Menu spesial hari itu ditulis di atas secarik kertas yang sudutnya digunting unik. Pengumuman ini ditempatkan di depan pintu masuk sebuah warung makan "sederhana". Dapat dipastikan bahwa pengelola kedainya ingin mengedepankan menu khusus hari itu. [caption id="attachment_305798" align="aligncenter" width="480" caption="Guacamole ;) ©Mamak Ketol™"][/caption] Apabila Mexican Specials dipajang ala kadarnya di pohon palem yang masih berada di lokasi restoran, penempatan Special Today pun masih di lahan dimana warung itu berdiri. Seandainya papan itu diletakkan di tempat umum, mungkin perlu izin tersendiri atau butuh biaya yang harus dikeluarkan. Sebagai orang luar, pelancong dan bukan abdi negara yang bekerja di Pemerintah Kota, aneh rasanya apabila Mamak Ketol, dengan alasan apapun, mengajukan protes atas penggunaan bahasa asing di lahan milik pribadi. Apalagi kalau sampai memeras otak untuk menelurkan solusi. Paling banter ya … curhat di Kompasiana, daripada “ngamuk-ngamuk” di teritori orang lain yang dapat berakibat adu mulut dengan sesama kompasianer. Namun, di negara yang konon demokratis ini, tentu saja setiap warga negara berhak mengeluarkan pendapat dan mengusulkan sebuah solusi untuk permasalahan yang ada di negara ini. Termasuk kritik atau masukan yang menyangkut penggunaan bahasa asing. Itupun kalau kita menganggapnya “keliru”. Lain di Denpasar/Singaraja, lain pula di Surabaya. Mengutip Surabaya Post, VivaNews (Senin, 8 Maret 2010) mengabarkan bahwa Pansus Nama Jalan DPRD Surabaya sedang bekerja keras untuk menghapus dan mengganti nama jalan yang berbau “asing”. Tentu saja ketentuan ini sudah dikonsultasikan ke Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Depdagri yang secara tegas menyetujui wacana ini dengan alasan bahwa “nasionalisme adalah salah satu faktor wajib untuk diubahnya nama jalan”. Pernyataan heroik bahkan keluar dari Sudirjo, salah satu anggota Pansus Nama Jalan yang juga anggota Komisi C DPRD Surabaya. Menurut Sudirjo, hal ini karena “Surabaya adalah Kota Pahlawan yang notabene harus memiliki semangat nasionalisme ganda.” Mungkin maksudnya nasionalisme warga Kota Pahlawan ini semestinya “dua kali lipat” dibanding warga kota lain. Selain itu, masih menurut Sudirjo, tindakan penertiban nama ini merupakan upaya untuk “membudayakan cinta produk Indonesia,” dan “agar masyarakat mengetahui dan tidak berpikir terlalu panjang terhadap sebuah alamat.” Adapun sasaran penertiban nama jalan ini mencakup seluruh wilayah Surabaya, termasuk kompleks perumahan elite. Intinya, para pengembang dan pemilik rumah akan terkena imbas dari aturan pemerintah yang berlaku. Karena saat itu masih pada tahap penggodokan, pihak Pansus mengundang berbagai pihak antara lain, pengembang dan pemkot untuk kemudian membicarakannya lebih lanjut dengan tokoh masyarakat. Hasil rapat terbatas ini kemudian diseminarkan. Setelah itu, hasil lokakarya ini akan diajukan ke DPRD untuk diparipurnakan. Selanjutnya, dengan persetujuan DPRD, Walikota Surabaya akan mengeluarkan SK. Proses ini akan memakan waktu sekitar 3-4 bulan. Meskipun sampai saat ini belum diperoleh informasi apakah SK nya sudah keluar atau belum, dapat kita bayangkan betapa panjangnya proses pengesahan suatu kebijakan. Label Makanan Berbahasa Indonesia dan Kesehatan Konsumen Sejak 1 September yang lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia pada produk makanan yang baru diproduksi dan diregistrasikan ke BPOM. Ketentuan ini berlaku bagi produk impor maupun lokal. Untuk produk makanan yang sudah beredar, dan masih menggunakan bahasa asing, diberi tenggang waktu hingga 1 April 2011. Bagaimana dengan sanksinya? Menurut Kepala BPOM, Kustantinah, ada sanksi berupa penarikan produk makanan tersebut dari peredaran. Adapun alasan penertiban label makanan ini adalah demi kesehatan konsumen. Lebih lanjut Kustantinah menjelaskan bahwa label harus jelas dan gampang dibaca, karena kandungan atau komposisi makanan yang tidak jelas dan sulit dipahami berpotensi membahayakan kesehatan konsumen. Sebelumnya, sudah ada Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 mengenai Label dan Iklan Pangan dimana ada aturan pencantuman label berbahasa Indonesia. Pada pasal 15 disebutkan agar label dicetak dalam bahasa Indonesia, angka arab, dan huruf latin. Pasal 16 menyebutkan bahwa penggunaan angka Arab dan huruf latin diperkenankan apabila padanan bahasa Indonesianya tidak ada atau apabila penulisan bahasa asing itu untuk keperluan eksport. Selain peraturan tahun 1999 itu, ada SK BPOM tahun 2004. Pasal 11 masih menegaskan bahwa label untuk produk pangan yang diperdagangkan di Indonesia harus dalam bahasa Indonesia, angka Arab, huruf latin. Selama tidak bertentangan dengan keterangan dalam bahasa Indonesia, penggunaan bahasa asing diperkenankan. Peraturan resmi sudah diperbaharui beberapa kali. Namun, produk makanan dengan label bahasa asing masih saja beredar. Dengan diterbitkannya SK BPOM tahun 2010, Kustantinah menegaskan bahwa: "SK ini untuk mengingatkan kembali kepada seluruh produsen dan importir untuk mematuhi ketentuan yang sudah ada.” Untuk lebih mempertegas SK BPOM, Kementerian Perdagangan akhirnya menerbitkan Permendag No.22/M-DAG/PER/5/2010 tentang kewajiban menggunakan label berbahasa Indonesia yang efektif berlaku pada tanggal yang sama yaitu 1 September 2010. Perlu diketahui bahwa ada mekanisme tersendiri untuk produk pangan khusus bagi diplomatik dan industri rumahan. Selengkapnya Kustantinah menjelaskan: “Kita juga harus hargai diplomatik dan untuk pangan olahan industri rumah tangga (PIRT) tidak perlu daftar, asal hanya untuk kebutuhan sendiri, sampel untuk registrasi dan penelitian.” Tiap-tiap PemKot mungkin mempunyai kebijakan tersendiri dalam penggunaan bahasa asing. Apabila di daerah wisata penggunaan bahasa asing lebih bisa "ditolelir", di wilayah Kota Pahlawan hal yang sama dapat mengurangi rasa "nasionalisme". Sementara itu pihak BPOM pusat dan daerah mengkhawatirkan penggunaan bahasa asing dalam kaitannya terhadap kesehatan masyarakat. Terlepas dari apakah masyarakat kita sudah terbiasa membaca label makanan baik itu yang berbahasa Indonesia atau berbahasa asing. So what? Mungkin itu pertanyaan kompasianer. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah, setiap kebijakan di satu permasalahan pasti ada tujuan, pencapaian dan kepentingan sendiri yang mungkin bertentangan dengan kebijakan di bidang lain. Lalu urusan Mexican Specials dan turunannya siapa yang ngurus? Meneketek ... Sebagai penonton, kita tidak sadar bahwa kita kadang beraksi seperti Jaka Sembung. Maunya kita tiket pertunjukkan David Foster seharga 25 juta, atau uang saku peserta studi banding ke Yunani sejumlah 26 juta perharinya itu "sebaiknya" disumbangkan ke korban bencana alam. Lalu kitapun tiba-tiba secara berjamaah membayangkan dan membandingkan betapa ironisnya antrian berburu sandal Crocs dibandingkan dengan antrian raskin. Ini bukan masalah tak punya nurani atau tidak tanggap dengan keadaan, tapi sesuatu yang berbeda dan nggak nyambung. Kalau sudah tidak nyambung lagi, mendingan gali kuburan sendiri di halaman sendiri, karena menurut Kompasianer Isk_harun "Gali got saja tunggu KePres", hehehe ... Kalau Kompasianer disarankan untuk segera menyelesaikan tugas belajar ketimbang ngompasiana atau berperan sebagai Leak Ngakak, bukankah seperti Jaka Sembung naik ojek? Referensi: Tempo, Detik, Suara Pembaruan, Viva News, dan Wikipedia.
Tulisan sebelumnya: Menguak Pondok Pekak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H