[caption id="attachment_197352" align="alignleft" width="300" caption="Pada hari Minggu, Pak Kusir ... bekerja ©Mamak Ketol™"][/caption] CABE deh! Setiap hari Minggu aku dan Pak Kusir selalu mangkal di bundaran itu. Cari penumpang. Sudah tiga tahun terakhir ini aku menemani Pak Kusir mencari tambahan belanja. Dengan enam orang anak, dua diantaranya masih duduk di sekolah dasar, tentu saja Pak Kusir yang sudah “banyak” cucunya itu harus mencari inisiatif untuk “mengakali” barang-barang kebutuhan pokok yang diterbangkan angin. CABE deh! Dari jam 05:00 hingga kira-kira jam 09:00 aku dan Pak Kusir berkeliling-keliling membawa penumpang ke berbagai tempat termasuk City Market. Heran aku … beberapa tahun belakangan ini banyak sekali kosa kata “asing” yang dipakai di kompleks perumahan ini. Kalau cuma mau ber-Inggris-ria nggak perlu jauh-jauh ke Broadway atau West End, seperti yang "diusulkan" oleh Kapitan Joe. Sanur dan Kuta pun mungkin sudah "lewat"! Mau baca-baca dan cakap-cakap bahasa Inggris bisa datang ke kampungku. Hiiii... yeeehhhh...! CABE deh! You know what? Yang namanya City Market itu adalah semacam pasar tradisional yang tidak becek dan memiliki atap. Yang dijualpun hanya sebatas barang-barang keperluan sehari-hari. Jajanan pasar yang digelar di beberapa lapak dan bermacam-macam makanan untuk sarapan pagi bisa dijumpai di “pasar kota” ini. Rawon Setan? Disini tempatnya! Ngapain jauh-jauh ke New York! Hiiii... yeeehhhh...! CABE deh! Pagi tadi aku dan Pak Kusir dikontrak oleh seorang mamak-mamak peot. Menurut pengakuannya, dia mau pergi ke pasar untuk membeli cabe. “Ke pasar berapa, Pak?” tanyanya. “Pasar yang mana?” Pak Kusir balik bertanya. “Pasar yang lurus itu,” katanya sambil menunjuk ke arah belakang. “Tiga puluh ribu.” “Tiga puluh ribu hanya satu kali jalan?” "Ya … kan jauh.” "Jauh dekat, naik angkot paling lima ribu." "Kan lain, neng." “Kira-kira berapa lama sampai ke sana?” “Wah nggak tentu, tergantung kudanya. Jalannya lambat atau cepat” “Bapak antar saya ke pasar, bolak-balik lima puluh ribu?” “Boleh.” “Tapi Bapak nanti turunkan saya sebentar di pasar, saya mau beli cabe.” “Ayo naik.” “Sebentar Pak, boleh foto ya …” CABE deh! Sebelum naik delman, mamak-mamak itu memotret delman beserta Pak Kusir nya. Hmmm … wajahku tertangkap kamera ngga ya …? Begitu pintu delman dikunci, mamak-mamak itu langsung berceloteh. Dia bertanya tentang banyak hal. [caption id="attachment_197409" align="alignright" width="225" caption="Aku dengan kacamata-ku ©Mamak Ketol™"][/caption] CABE deh! Mamak-mamak itu menanyakan tentang aku. Pak Kusir itu ternyata ember juga ya … . Pak Kusir membuka rahasia, bahwa aku disewanya dari juragan kuda dan Pak Kusir harus membayar Rp 40.000,- setiap kali menyewa aku. Dia juga menanyakan perihal kacamataku. Apa dia naksir sama kacamata kuda? Pak Kusir yang ramah itu menjelaskan bahwa kacamata kuda kupakai agar aku tidak cepat kaget kalau melihat ada kendaraan di dekatku. Bayangkan aja … kalau aku sampai terkejut aku bisa lari sekencang-kencang nya dan … tau sendiri akibatnya! Sebagai pengguna, pada saat kacamata kuda menutupi mata kami, pada saat itulah telinga dan matahati kami menjadi terbuka lebar. Berbeda dengan kacamata rayban yang membutakan etika. Dari balik kacamata hitam, mata menembus lapisan tipis - yang hanya mengenai permukaan saja. Sementara itu ada kesempatan untuk "jelalatan" dengan dalih mengawal atau mengawasi, seperti bodyguard dalam cerita-cerita James Bond. CABE deh! Setelah lewat jam 09:00, aku dan Pak Kusir biasanya masuk ke dalam kompleks perumahan untuk mencari penumpang. Pengguna jasa delman ini biasanya anak-anak. Tentu saja tidak semua perumahan memperbolehkan kami masuk. Menjelang tengah hari biasanya tugasku menemani Pak Kusir selesai. Itulah saat-saat yang sangat kutunggu-tunggu. Setelah lelah bekerja setengah-harian, aku akan disuguhkan satu porsi rumput segar. Minumannya? Tentu saja satu porsi air gula merah! Meskipun aku adalah kuda sewaan, Pak Kusir harus mengeluarkan uang untuk membeli setengah kilogram gula merah yang dapat dipakai untuk dua kali minum. Harga gula merah 1 kg adalah Rp 10.000,-. [caption id="attachment_197356" align="alignleft" width="300" caption="Cabe merah sekilonya Rp 40.000,- ©Mamak Ketol™"][/caption] CABE deh! Mamak-mamak cerewet itu banyak sekali pertanyaannya. Dia menanyakan pekerjaan tetap Pak Kusir. Pak Kusir itu ternyata seorang petani. Adapun yang ditanam di lahan milik pribadi yang seluas 3000 meter itu adalah padi. Setahun bisa panen dua sampai tiga kali tergantung cuaca. Masalahnya adalah kekeringan dan kebanyakan air (hujan). Sebentar lagi Pak Kusir akan panen. Tentu akan ada tambahan penghasilan lain, karena selain menggarap lahan sendiri, Pak Kusir mengerjakan ladang orang lain juga. CABE deh! Penumpang kami yang mengaku bertujuan untuk membeli cabe di pasar itu akhirnya membuka pembicaraan tentang CABE. “Pak harga cabe naik itu kenapa, ya …?” “Kurang tau ya … mungkin panen cabe nya gagal karena cuaca.” “Kalau di rumah, ibu suka masak pake cabe?” “Ya … pasti. Karena kalau makan tidak ada cabenya itu … seperti ada yang kurang.” “Kenapa ya … orang Indonesia suka makan cabe?” “Mungkin sudah hobi,” jawab Pak Kusir sambil tersenyum. “Ibu pernah ngeluh nggak Pak tentang harga barang-barang yang naik?” “Ya … biasa-biasa saja.” “Ibu kerja juga?” “Nggak, cuma netek.” CABE deh! Cabe lagi, cabe lagi. Naik lagi, naik lagi. Naik tajam harganya dibanding sembako lainnya. Tapi analisa Pak Kusir itu benar. Di rumah juragan kuda hari Kamis yang lalu, aku sempat mendengar ibu Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu yang diwawancarai salah satu stasiun TV. Apa yang dikatakan oleh ibu itu “persis” seperti analisa Pak Kusir. Kenaikan cabe yang oleh sejumlah media dikatakan “tajam”, oleh Bu Menteri dikatakan sebagai “siklus normal” usai panen di bulan Februari. CABE deh! Menurutku, bulan-bulan July (dan Agustus) yang biasanya musim kering ini justru lebih banyak hujannya. Apabila patokannya adalah panen kedua, kenaikan harga cabe “wajar” disebut “normal”. Namun, apabila menjelang panen berikutnya musim hujan terus bertahan … apakah keadaan ini dapat dianggap “normal”? CABE deh! Kami sudah sampai di City Market. Penumpang kami turun dan mengingatkan kami bahwa dia hanya sebentar untuk “membeli cabe”. Meskipun hanya menunggu sebentar saja, aku merasa bete banget. Aku bertemu dengan langganan Pak Kusir yang mau naik langsung ke delman. Tentu saja Pak Kusir menolak dengan halus dan mengatakan bahwa delmannya sudah disewa pulang-pergi. Untunglah tak lama kemudian mamak-mamak itu datang. Kami pun pulang menuju bundaran di mana kami tadi mangkal. Begitu ibu-ibu itu turun, Pak Kusir sudah mendapat penumpang! Ternyata pelanggan yang kami temui di City Market itu mengikuti kami dengan motor. Dua penumpang balita naik ke delman bersama ibunya, sementara Sang Ayah melaju dengan sepeda motornya ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H