Mohon tunggu...
GOOD THINGS
GOOD THINGS Mohon Tunggu... -

♥ Mamak Ketol ♥ PEREMPUAN bersarung yang suka gonta-ganti nama sesuai judul tulisan terbaru ♥ "Nothing shows a man's character more than what he laughs at."(Goethe) ♥

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Copyright? Cape Deh!

16 April 2010   14:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:45 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_119383" align="alignright" width="300" caption="Copyright - Dok. Pribadi/©Mamak Ketol™"][/caption]

Dalam tulisan Mamak Ketol yang berjudul Lima Kompasianer TER***, terdapat hasil wawancara (imajiner) antara Mamak Ketol dengan Kompasiana. Potongan tanya-jawab itu menyinggung permasalahan copyright. Berikut adalah cuplikannya:

Kompasiana: Mamak mencantumkan tanda ‘©’ dalam foto Kembang Api. Ada maksud tertentu? Mamak Ketol: Apa pun yang sudah dipublikasikan di ranah publik seperti Kompasiana ini misalnya, sudah menjadi ‘milik’ publik. Mamak tak keberatan apabila kelak ada netters yang berniat untuk menggunakan foto tersebut tanpa tujuan komersil. Tentunya dengan mencantumkan sumbernya dengan lengkap dan tepat. Tak cukup hanya mencantumkan ‘hasil googling’ atau ‘sumber: kompasiana’. Ada atau tidaknya symbol ‘copyright’ itu tak menjadi soal. Ini mah masalah NETIQUETTE. Maaf kalau analoginya kurang tepat, tapi … kalau kita memperdebatkan sumber (sekunder) dari buku Gurita GJA, semestinya kita ‘menuntut’ para penulis yang tidak dapat menyebutkan sumber foto atau sumber kutipan dengan jelas. Fair toh, adil toh?

What the Heck is Copyright?

Sumber Video: You Tube/BelYaun

Video berdurasi 10:14 menit ini merupakan parodi film animasi Disney yang menjelaskan tentang Copyright Law dan Fair Use. Film (kartun) plesetan berjudul A Fair(y) Use Tale ini dibuat oleh Eric Faden, professor dari universitas Bucknell, dan idenya diprakarsai oleh Craig Staufenberg.

Film yang diiringi instrumental lagu Rose Leaf Rag ini menggunakan cuplikan scene dari 27 film animasi layar lebar produksi Disney. Adapun judul-judul film animasi tersebut antara lain Aladdin, Bambi dan Dumbo. Parodi film ini menampilkan klip berikut percakapan asli dari tiap-tiap karakter animasi Disney. Cuplikan-cuplikan film animasi itu diedit sedemikian rupa sehingga menjadi satu kesinambungan. Ada beberapa adegan yang sengaja diulang untuk penekanan. Karena video iniadalah “guntingan” dari film kartun milik Disney, Eric Faden sang “produser” merasa perlu untuk membuat disclaimer di awal film tersebut: The following film is not associated with, authorized by, or should be confused by: Walt Disney Pictures.

Film pendek ini terdiri dari 4 bab: (1) definisi copyright (2) What things can be copyrighted (3) Copyright Duration & the Public Domain (4) Fair Use dan (5) Why use Disney cartoons? Bagaimana dengan hak cipta di Indonesia? Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002, pasal 29, dalam Bab III tentang Masa Berlaku Hak Cipta disebutkan: "berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia". Sementara itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Bab VI tentang Nama Domain, Hak Kekayaan Intelektual dan Perlindungan Hak Pribadi pasal 25 menyebutkan: "Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan."

Seberapa pentingnya kah hak cipta itu? Apakah untuk sekedar menghargai karya cipta orang lain atau untuk melindungi hak kekayaan intelektual siapa saja termasuk karya kita sendiri (meskipun “jeleknya amit-amit”)?

Menghargai Karya Cipta Daripada repot-repot memikirkan copyright law, fair use, atau UU ITE, ada baiknya kita mencermati peringatan tentang pencantuman sumber yang menjadi agenda Kompasiana. Himbauan Admin Kompasiana agar Kompasianer mencantumkan sumber gambar atau foto dimulai di akhir bulan Maret dan akan terus digalakkan di bulan April. Himbauan itu disampaikan di kotak sapaan setiap Kompasianer yang “bermasalah”. “Sapaan” seragam dari Admin itu terekam oleh Markus Budiraharjo pada tanggal 31 Maret 2010 jam 02:07.

Dengan bergulirnya April, Admin Kompasiana mengubah jalur pemberitahuan ini dengan mengirimkannya melalui (ikon) amplop alias kotak pesan. Salah satu Kompasianer yang memperoleh “surat cinta” itu adalah Firman Seponada. Reaksi positif diungkapkan Seponada sebagai berikut: “Apalagi Admin Kompasiana tampak menghargai perasaan saya, misalnya mengirim peringatan lewat kotak pesan bukan melalui kotak sapa. Admin agaknya tidak bermaksud mempermalukan saya dengan peringatan itu.”

Plagiarisme dan copyright adalah dua hal penting yang cukup membuat kita capeee deh. Wikipedia mencatat bahwa plagiarisme berkaitan dengan masalah etika, sementara copyright berhubungan dengan hukum: “Plagiarism—using someone's words, ideas, images, etc. without acknowledgment—is a matter of professional ethics. Copyright is a matter of law, and protects exact expression, not ideas.” Hal ini sudah dicontohkan oleh pernyataan dan sikap Seponada yang patut diacungi jempol:

Tetapi, setelah saya renungkan, apa yang saya lakukan itu keliru. Bahwa, se-publik apapun barang, tetaplah ada pemiliknya. Mencantumkan sumber ilustrasi merupakan bentuk penghargaan kita kepada si empunya. Ini bukan soal akan diperkarakan atau dituduh plagiat. Melainkan perkara menghargai karya cipta orang.

Untuk urusan etika mungkin sebaiknya diserahkan ke individu masing-masing. Maksudnya, saya tidak dalam posisi untuk menghakimi apakah seseorang itu “beretika” atau tidak. Namun, dalam konteks Kompasiana, ke depannya, “hukuman” yang akan diberikan oleh Admin Kompasiana adalah penghapusan “gambar/foto/video yang tidak dilengkapi keterangan sumber.” Suatu sanksi yang “ringan”, karena “hanya” lampirannya yang dihapus. So what? Terserah, apakah kita memilih mencantumkan sumber ilustrasi karena takut akan sanksi, atau menerapkannya karena kesadaran atau penghargaan kita atas hak cipta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun