Di bulan ke-1 keberadaannya di Kompasiana, Mamak Ketol telah menerbitkan 10 tulisan. Sementara di bulan ke-2 dan ke-3, secara kuantitatif, jumlahnya menurun menjadi 9. Mempertahankan angka 9 inilah yang Mamak Ketol “maksakan” eh maksudkan dengan CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali). [caption id="attachment_108808" align="alignleft" width="238" caption="HL (Helo Lebay) Sumber: www.kompasiana.com/mamakketol"][/caption] Hari ini tepat tiga bulan Mamak Ketol ber-rumah di Kompasiana. Dari tanggal 1 Maret s/d tanggal 1 April, tercatat ada 3 tulisan Mamak Ketol yang jadi headline (dari 9 artikel yang diterbitkan): Botanic Garden: Sisi Lain dari Ubud (08/03/10). Yang Tertinggal dari Air Sanih (16/03/10). dan April Fools’ Day: It’s Happening in Liverpool (01/04/10). Jujur, waktu menulis ketiga tulisan tersebut, tak ada pikiran untuk mengejar HL. Justru tulisan Andai Costeau Menyelam di Air Sanih lah, yang sempat Mamak Ketol harapkan jadi HL (ternyata tidak). Sementara parodi April Mop yang diterbitkan dengan H2C (Harap Harap Cemas), malahan dijadikan HL. Disadari atau tidak, setiap Kompasianer pasti mempunyai motivasi tertentu dalam menerbitkan suatu tulisan. Bagaimana dengan ke depannya? “Apa yang menjadi tujuan jangka panjang setelah anda menulis di sini?” Pertanyaan ini adalah bagian dari perangkat “kuesioner” yang diajukan oleh George Moeda dalam Survey: Kompasiana vs Facebook. Satu pertanyaan yang membuat Mamak Ketol gelagapan. Jangankan yang jangka panjang, yang jangka pendek pun Mamak Ketol kadang tak punya. Yang pasti, tujuan utama Mamak Ketol menulis bukan semata-mata untuk menjadi HL, meskipun pernah memikirkannya. Menjadi HL tidak otomatis mengundang pembaca ataupun komentar. Bandingkan dua artikel tentang satu lokasi wisata ini: ARTIKEL Air Sanih (HL) memperoleh 138 klik dengan 31 komentar, sementara REPORTASE Air Sanih mendapatkan 171 kunjungan dengan 65 tanggapan. Kuantitas komentar pun tak menjamin kualitas tulisan dan diskusi di kolom tanggapan. Bagaimana dengan kualitas penulisnya? Apakah menjadi penulis handal yang menjadi tujuan jangka panjang Kompasianer?
Sumber: Kompasiana
Membaca headline yang berjudul Menulis Tanpa Membaca, Bisa?, Taufik H. Mihardja, salah satu anggota “(blog) jurnalis” yang juga direktur eksekutif Kompas.com, membahas tentang aktifitas dan konsep membaca yang seharusnya dapat mendorong seseorang untuk menulis. Di akhir tulisannya, Taufik H. Mihardja bahkan memotivasi Kompasianer dengan mengucapkan: “Maka selamat membaca, semoga kita semua menjadi penulis handal!” Tulisan itu dikomentari Mamak Ketol:
Sumber: Kompasiana
Tanggapan yang Mamak Ketol tuliskan tentu saja berhubungan dengan teks atau tulisan yang dimaksud, BUKAN untuk, misalnya, mempertanyakan kebijaksaan Taufik H. Mihardja dalam mengelola KOMPAS.com. Dalam komentarnya, Mamak Ketol memberikan contoh bahwa di lingkungan dimana pun kita berada, tersedia banyak “bacaan”, seperti papan reklame, plat mobil dan spanduk. Sebetulnya, sudah ada beberapa tulisan seputar nama rumah makan, nama jalan dan papan pengumuman. Salah satunya adalah Larangan Buang Sampah. Paska pembekuan akun FA (31/03/10), ketika membaca ulang tulisan Taufik H. Mihardja (30/03/10) untuk penulisan artikel ini, Mamak Ketol jadi berpikir ulang: Bisakah menulis tanpa membaca? Bisakah berkomentar tanpa membaca? Seseorang menitipkan link di profil Mamak Ketol dan menghimbau Mamak Ketol untuk “mempertimbangkan” tulisannya berkaitan dengan insiden “pembredelen”. Sesungguhnya, tulisan tersebut sudah Mamak Ketol baca sebelum link tersebut “diteriakkan” ke Mamak. Hanya saja, maaf, Mamak Ketol tidak meninggalkan jejak. Mamak Ketol tidak memberi tanggapan, karena dari awal Mamak Ketol tidak MEMBACA (hasil) BACAAN Kompasianer FA yang konon diduga menjadi biang kerok. Di sisi lain, secara pribadi, Mamak Ketol sendiri takut terjebak dalam tindakan berakting sebagai Tuhan, hakim ataupun dirigen. Artikel-artikel solidaritas sejenis pun bermunculan, mulai dari perumpamaan bertindak sebagai Tuhan, bersifat sempit hati, hingga protes dengan cara menghapus tulisan satu demi satu di tengah malam. Bagaimana Kompasianer menyikapi “gejolak” ini? Ajakan “Menjaga Rumah Sehat” sudah sering didengungkan. Kalau rumah sudah “sehat” untuk apakah gerangan dijaga? Mungkin kedengarannya egois tapi, menurut hemat Mamak Ketol, untuk saat ini, mungkin lebih baik memikirkan bacaan dan tulisan di rumah Mamak Ketol sendiri. Agar bulan depan masih bisa CLBK di rumah yang sama ... Duh … pusingnya. Udah ah … mau membaca dulu. Eiiit … tunggu dulu … tiba-tiba saja Mamak Ketol mendapat “wangsit” tentang “tujuan jangka panjang” Mamak Ketol di Kompasiana. Mau tau? Menekan tombol “publish” sambil menikmati CLBK. (Tulisan simpati untuk FA). Tulisan terkait: Bulan ke-1: Kompasiana Where U and I Meet Bulan ke-2: Kelirumologi Cinta?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H