Mohon tunggu...
GOOD THINGS
GOOD THINGS Mohon Tunggu... -

♥ Mamak Ketol ♥ PEREMPUAN bersarung yang suka gonta-ganti nama sesuai judul tulisan terbaru ♥ "Nothing shows a man's character more than what he laughs at."(Goethe) ♥

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sarimin Goes to London!

26 Maret 2010   17:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:10 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Apa pasal? London Dairy Health Conference: The Miracle of Fresh Monkey Milk lah yang membawa Dr Sarimin Ketol, ke Queen's College London. Sebagai keynote speaker, Sarimin terima bersih semuanya: tiket pulang pergi, akomodasi on campus selama dua malam plus breakfast, lunch, dinner termasuk gala dinner pada malam terakhir.

Selain menjadi pembicara utama, di luar acara konferensi, pada hari kedua, Sarimin bertindak sebagai penguji eksternal di college yang sama. Tentu saja tesis doktoral yang diujinya berkaitan dengan susu monyet. Kebetulan kandidat doktor tersebut, Hot Asi Takasimura, adalah sebangsa si ekor panjang, seperti Sarimin juga.

[caption id="attachment_102944" align="alignright" width="300" caption=""Jadi jangan makan yang monyet tidak suka. Padahal belum tentu manusia tidak suka apa yang monyet tidak suka ( ? )" (Yayat, 2010)"][/caption]

Catatan perjalanan Sarimin dimulai di maskapai penerbangan Alap-Alap. “This is your pre-ordered vegetarian meal, sir,” kata pramugari itu ramah. “Thank you,” jawab Sarimin singkat, sambil menegakkan sandaran kursinya. “Um … excuse me, do you have pidada by any chance?” tanya Sarimin sopan, sambil berhalusianasi tentang pidada. “Pardon me? Piña colada, did you say, sir?” “Well, never mind, forget it,” jawab Sarimin sambil tersenyum, teringat Yayat, salah satu TTM (Teman Teman Maya) nya Mamak Ketol.

“Sir”. Ya sebutan itu tentu saja tidak mengacu pada gelar bangsawan “Sir” (dengan huruf besar). Namun sapaan “sir” dengan huruf kecil, jamak dipakai sebagai pengganti kata “Pak” dalam bahasa Indonesia. Kata yang bukan monopoli warga atau pendatang di English speaking country. Bahkan di Inggris Raya sekalipun, dimana Sir Elton John berdomisili. “Sir” dengan huruf kecil bisa saja dipergunakan di udara, di wilayah awang-awang yang merupakan unknown territories. Adapun penggunaan 'sir' dalam dunia maya, khususnya dalam jejaring sosial sangat jarang dilakukan.

Sebagai semi-vegetarian, Sarimin bukan vegetarian “sejati”. Sarimin mengkonsumsi ikan, daging putih terutama ayam, telur dan semua produk olahan dari susu seperti yoghurt, keju dan es krim.

Rasa lapar membuat Sarimin segera membuka paket vegetariannya: ada salad dengan taburan keju serut, dua macam roti, satu vegetarian berisi bayam dan yang satu lagi “polos” tapi hangat, plus vegetarian butter. Ada dua macam salad dressing dalam sachet yang diselipkan: French Dressing dan Thousand Island. Sarimin tak menyentuh keduanya. Selain itu ada potongan buah-buahan, susu dan jus apel.

Jam menunjukkan pukul 7:15 waktu setempat ketika Sarimin tiba di penginapannya di kompleks Queen’s College. Setelah mandi, Sarimin merebahkan tubuhnya sejenak. Makan malam tersedia dari jam 7:00 s/d jam 9:00. Sekitar jam 8:00 Sarimin berangkat menuju restoran kampus. Cuma 5 menit jalan kaki. Sarimin melangkah dengan sedikit bergegas. Berbekal tiket vegetarian berwarna hijau yang ber-tanggal.

Dinner malam pertama dilewati Sarimin tanpa kesan. Menu restoran milik Queen’s College malam itu tidak memberikan banyak opsi. Pilihan Sarimin jatuh pada Vegetarian Risotto.

Sebelum meninggalkan restoran, Sarimin mengutil satu yoghurt dan dua buah pisang yang secepat kilat dimasukkannya ke dalam tas punggungnya. Untuk breakfast besok pagi, kalau kalau aku malas untuk untuk bangun, pikirnya dalam hati. Sarapan pagi tersedia dari jam 7:00 s/d 9.00 – masih terlalu pagi untuk Sarimin, apalagi setelah perjalanan lintas samudra. Alokasi waktunya sebagai pembicara dari jam 10:00 – 12:00.

Alarm HP membangunkan Sarimin pukul 7:30. Udara musim semi masih cukup dingin. Rasa lapar dan bayangan hot breakfast mengalahkan rasa kantuknya. Yoghurt dan satu pisang sudah dimakannya di kamarnya semalam, setelah makan malam yang kurang sukses.

Kurang lebih jam 8:00 Sarimin sudah sampai di gedung R, dimana restoran itu berada. Berbeda dengan kemarin malam, tak ada antrian di depan pintu restoran. Selain konferensi tentang dairy products (susu dan produk olahannya), ada beberapa konferensi yang para pesertanya makan di restoran yang sama. Semua konferensi itu berafiliasi dengan Queen’s College. Clicker yang bertugas menghitung para diners menanyakan name badge Sarimin. Oh ternyata Sarimin belum memakainya. Sarimin merogoh saku jas. Menunjukkan identitasnya dan segera menyematkan papan namanya.

Sarimin langsung menuju hot counter. Full English breakfast sudah pasti ada. Lengkap dengan black pudding, pork sausage, cumberland sausage dan bacon. Sarimin tak berminat untuk makan cereal pagi itu. Menu special diets tak selalu dipajang di counter dan harus diminta atau dipesan sebelumnya. Sarimin memesan dua veggie sausage dan satu ikan asap yang pagi itu adalah (ikan) haddock sebagai tambahan jamur kancing, fresh roast tomatoes dan dua fresh fried eggs. Omelette dan scrambled eggs tampak tertata rapi dan menggoda. Sarimin paham bahwa omelette itu makanan jadi, ready made dan asalnya frozen. Sementara telur orak-arik itu dimasak dari kemasan dalam bentuk bubuk. Dia menggelengkan kepalanya ketika ditawarkan oleh pramusaji.

Viva Monkey Milk Viva voce atau lebih dikenal dengan viva saja adalah nama lain dari“sidang” untuk mempertahankan tesis atau disertasi. (Di Inggris, tesis mengacu pada karya ilmiah tingkat doktoral, sementara disertasi dipakai untuk tingkat master.) Penggunaan kata viva dalam bagian ini untuk menekankan dan mempromosikan susu monyet: hidup susu monyet.

“Rhesus Monkey Milk: An Alternative to Cow Milk” itu adalah judul tesis yang diuji. Dua pertanyaan “pemanasan” yang diajukan Sarimin a.l.: “What is the area in which you wish to be examined?” Dan “What have you done that merits a PhD?” dijawab Hot Asi, kandidat doktor itu, dengan tangkas.

Secara singkat dan padat, Hot Asi memaparkan bahwa ia lebih suka ditanya seputar Rhesus Monkey Milk. Lebih lanjut Hot Asi menjelaskan bahwa hasil experimennya merupakan satu terobosan baru dalam dunia monyet. Sintesa yang disimpulkan dari hasil percobaannya belum pernah diteliti sebelumnya. Hot Asi menambahkan bahwa sudah ada penelitian sebelumnya yang menelaah tentang Human Milk vs Rhesus Monkey Milk. Sementara topik riset Hot Asi adalah Rhesus Monkey Milk vs Cow Milk.

Terobosan penting yang dilakukan Hot Asi sungguh membuat Sarimin dan Dr Harumi Shihomoto (penguji internal) terkagum-kagum atas keorisinilan penelitian Hot Asi. Hot Asi juga mematahkan paradigma bahwa susu manusia hanya cocok untuk anak manusia dan susu sapi hanya cocok untuk anak sapi.

Hot Asi memberi ilustrasi bahwa apabila monyet di Muara Angke tidak menyukai buah pidada lagi, itu artinya kemungkinan buah tersebut sudah tercemar oleh pestisida atau limbah sabun atau limbah kimia. Dalam konteks suaka margasatwa di daerah itu, ada baiknya manusia tidak makan buah pidada yang tumbuh di lingkungan Muara Angke. Jadi … apabila monyet menyukai susu monyet, dapat diartikan bahwa susu monyet itu aman dan layak dikonsumsi oleh manusia juga. Apakah ini yang dinamakan logika bengkok? Kita tidak berbicara mengenai logika, tapi tentang satu penelitian yang sudah diuji secara empiris oleh Hot Asi.

[caption id="attachment_102960" align="aligncenter" width="500" caption="Trio (Anak) Macan menyusu pada induk anjing"][/caption]

Hot Asi membeberkan bahwa di Provinsi Anhui, China, penggunaan anjing untuk menyusui anak harimau atau anak beruang sudah lazim dipraktekkan oleh pengelola kebun binatang di negara tirai bambu itu. Hot Asi juga menambahkan bahwa di pelosok hutan di Kalimantan, anak-anak monyet yang kehilangan induk disusui dengan susu botol yang berasal dari susu sapi.

Salah satu pertanyaan menarik diajukan oleh Dr Harumi Shihomoto, penguji internal yang berasal dari Queen’s College, tapi bukan dari fakultas Hot Asi. Ketika ditanya: What is the relevance of your contributions to other researchers? Hot Asi menyebutkan bahwa apabila rhesus monkey milk memiliki sumber protein yang lebih tinggi dari susu manusia; dan apabila kasein rhesus milk lebih kompleks dari susu manusia, maka susu monyet menjadi alternatif pengganti susu sapi yang jitu. Jadi susu monyet ini, menurut Hot Asi, layak dikonsumsi oleh manusia. Aha!

Penelitian Hot Asi juga menguraikan beberapa miskonsepsi tentang asupan susu serta kandungan kalsium yang dibutuhkan oleh mahluk hidup. Berbeda dengan hasil penelitian Dr. Hiromi Shinya, Hot Asi berpendirian bahwa selain menjadi primadona sumber kalsium, susu mengandung vitamin D, protein, phosphor, zinc, magnesium, copper, vitamin C dan K.

Uniknya, sebagai individu yang Lactose intolerance (tidak tahan atau alergi makanan yang mengandung laktose atau susu), Hot Asi tetap merekomendasikan siapa saja untuk mengkonsumsi susu, baik itu susu sapi, ASI ataupun susu monyet. Alasan pribadi Hot Asi untuk menjauhi makanan atau minuman yang mengandung susu dikarenakan oleh tubuhnya yang tidak dapat mentolelir susu, bukan kampanye terselubung untuk menjalani hidup vegetarian, khususnya ovo-vegetarian yang mengkonsumsi telur tapi tidak makan/minum yang mengandung susu.

Party Setelah dua jam disidang, Hot Asi dinyatakan lulus dengan “minor corrections”. Hot Asi diberi waktu dua minggu untuk memperbaiki tesisnya. Di koridor, di luar ruang sidang, sudah tertata rapi makanan ringan: mini sandwiches dan bermacam-macam salad dan jus buah pidada yang ditanam secara organik. Pesta kecil untuk merayakan keberhasilan Hot Asi. “Dr Ketol ,,, it’s a privileged to have you as my examiner, and you too Harumi,” sapa Hot Asi kepada kedua pengujinya. “The pleasure is mine, but please just call me Sarimin. I learn a lot from your thesis. You can start thinking about publishing your findings. Which aspects of your thesis do you think could be published?” “Sarimin, I think I will publish … (bla … bla … bla …)” Dan pembicaraan pun berkembang semakin akrab tanpa mengurangi rasa hormat satu sama lain. Tanpa embel-embel Mr/Mrs, Dr atau professor, masing-masing saling menyapa dengan menggunakan first name. Praktek ini sudah jamak dilakukan di universitas-universitas di negara dimana bahasa Inggris dipergunakan. Setidak-tidaknya berlaku di UK (United Kingdom/Inggris), Amerika dan Canada. Memang, untuk pertemuan pertama, lumrah apabila seorang mahasiswa memanggil dosennya dengan sebutan Mr/Mrs atau sebutan profesinya. Akan tetapi, apabila si dosen memberi sinyal bahwa dia boleh dipanggil dengan nama depannya saja, tentu saja tak perlu ada “kesenjangan” itu lagi. Hal ini berlaku di dalam dan di luar ruang kuliah atau seminar.

Catatan: Tulisan ini adalah fiksi belaka. Meskipun ada kota bernama London, tapi tak ada Queen’s College (yang ada King’s College). Sarimin hanyalah seekor monyet yang dalam khayalan Mamak Ketol bergelar doktor. Jadi jangan harap ada namanya di LinkedIn atau di Google Scholar – sampai kapalan juga nggak bakalan nemu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun