Tulisan ini saya dedikasikan untuk Ary Amhir yang Hidup Damai Bersama Kanker. Ary Amhir adalah travel writer favorit saya di Kompasiana. Kompasianer yang konsisten dan peduli dengan perempuan dan kaum marginal. [caption id="attachment_94623" align="alignleft" width="225" caption="Nyepi dimulai dari nol ©Mamak Ketol™"][/caption]
Karena suatu keperluan aku harus pergi ke Singaraja, ibukota kabupaten Buleleng di utara Bali. Sendirian. Kompasianer tentu ingat bentuk pulau Bali. Secara geografis, Buleleng adalah kabupaten yang terluas dibanding 8 kabupaten lainnya. Disini, transportasi gampang dan tidak menyesatkan karena rutenya dari barat ke timur mulu. Di waktu luangku, aku menyempatkan diri menjelajahi objek wisata yang murah meriah. Salah satu incaranku adalah Air Sanih.
Aku berangkat dengan berbekal brosur dari dinas pariwisata setempat. Informasi tentang Air Sanih dilengkapi dengan gambar kolam renang yang tampak seperti kolam renang umumnya. Hanya ada sebaris kalimat yang berbunyi: It’s a natural swimming pool fed by a natural spring located a few meters from the beach. Sungguh, sepotong foto kecil berukuran 6 cm x 3,5 cm, dan gambaran singkat tentang Air Sanih itu tak cukup membuatku memiliki pre-konsepi apapun terhadap pemandian alami ini. Tambahan, aku tak punya pengalaman mandi atau sekedar mengunjungi tempat wisata sejenis. Kalau kolam air hangat alam sih sudah pernah di beberapa tempat sebelumnya.
Dalam angkot, aku tersenyum-senyum sendiri mengingat kalimat John Collier Jr. dan Malcolm Collier: We see what we want to see, as we want to see, as we want to perceive it. (Visual Anthropology: Photography as a Research Method, 1990).Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara Pak supir angkot yang kutumpangi:
[caption id="attachment_94545" align="alignright" width="300" caption="Melewati tanaman bambu ©Mamak Ketol™"][/caption] “Ini Air Sanih, Bu.” “Ini? Sebelah mana … ?” tanyaku. “Itu ...tinggal nyebrang saja.” Oh iya, aku lupa menceritakan, bahwa sebenarnya aku sedang dalam perjalanan pulang dari Pura Purwasidhi Ponjokbatu menuju Lovina dan aku memutuskan untuk singgah ke Air Sanih. Info yang kuperoleh dari pegawai pos pariwasata itu adalah bahwa Air Sanih terletak tepat di pinggir jalan dan dilalui angkot. Jam hampir menunjukkan setengah dua ketika aku memasuki Yeh Sanih – dengan perut “dangdut-an". Aku sempat melihat sekilas plang kantin di samping loket tapi, aku memutuskan untuk melihat situasi di dalam terlebih dahulu. Sepi. Ini kan tempat wisata, pasti ada tempat makan yang memadai, pikirku. Aku melangkahkan kaki ke arah kiri. Aku melewati pohon bambu dan menemukan sebuah bale. Sayang, ada “penghuninya”. [caption id="attachment_94547" align="alignleft" width="300" caption="Menapaki pasir hitam ©Mamak Ketol™"][/caption]
Aku melanjutkan langkahku. Kutemukan sederetan lapak. Hanya dua yang buka. Keduanya saling berdekatan. Warung kecil semi permanen itu tak lebih besar daripada sebuah loket. Tak ada makanan (nasi) yang dijual. Hanya minuman hangat dan dingin yang diseduh dari kemasan dalam sachet. Aku melangkahkan kakiku mengikuti pesisir pantai. Dari atas tembok pembatas aku melihat air laut yang cukup tinggi dengan ombak putih berbuih yang saling kejar. Ibu penjaga salah satu warung itu menjelaskan bahwa pada sore hari airnya surut dan pengunjung bisa turun ke bawah.
Di ujung sana aku melihat ada dua warung kecil, juga bersebelahan. Mereka menjual bakso. Ternyata hanya itu tempat makan yang ada di kompleks pemandian. Tak ada alternatif lain. Pada saat itu aku sudah memutuskan untuk makan di kantin dekat pintu masuk. Tentunya akan lebih praktis apabila aku makan pas mau pulang saja, pikirku. Tiba-tiba saja tas punggungku mulai terasa semakin berat dan aku berkeinginan untuk duduk dan berteduh. Aku lantas berbalik arah ke deretan warung yang telah kulewati sebelumnya. Aku ambil jalan pintas melewati kolam teratai. [caption id="attachment_94549" align="alignright" width="300" caption="Kolam teratai yang bening ©Mamak Ketol™"][/caption] Setelah memesan es jeruk dalam kemasan, aku mendapat konfirmasi dari Ibu penjaga warung itu bahwa kantin di dekat loket itu merupakan satu-satunya warung yang menjual makanan pada hari itu. Ibu itu kemudian menawarkan apakah aku menginginkan nasi bungkus. “Nasi bungkus?” tanyaku. “Nanti saya belikan di depan,” katanya tanpa menjelaskan “depan” itu dimana. “Ah, nggak usah, Bu. Kan nggak tau kapan dan jam berapa nasinya dibungkus,” jawabku dengan dudul-nya. “Oh, nasinya baru dibungkus kalau ada yang pesan,” jawab Ibu itu. Akhirnya setelah menekankan “jangan terlalu pedas,” Ibu itupun melesat pergi sambil berkata: “Titip (warung) ya …”. [caption id="attachment_94551" align="alignleft" width="300" caption="Kuncup teratai ©Mamak Ketol™"][/caption]
Tak lama kemudian, nasi campur ala Bali itu kusikat dalam sekejap dengan menggunakan sendok pinjaman dari si Ibu. Aaah ... akhirnya cacing-cacing di perutku berhenti juga "ber-dangdut-ria". Setelah membayar nasi, segelas es jeruk dan dua bungkus kacang pilus, aku memutuskan untuk membasahkan diri di kolam. Tak lama setelah itu, aku pulang. Kulewati sisi kolam teratai. Tampak seperti kurang terawat. Tapi tetap saja tampak indah dan alami di mataku. Bunganya masih kuncup.
Sesampai di penginapan, di Lovina, aku menggenggam dan memandangi sebungkus kacang pilus yang tersisa. Belum sempat kubuka. Satu bungkus harganya hanya lima ratus rupiah. Aku ulangi, lima ratus rupiah. Sebungkusnya lagi sudah kumakan di Air Sanih. Kacang yang pada saat itu sulit untuk masuk kerongkonganku. Makan siangku di Air Sanih diwarnai dengan kisah kehidupan berdagang sang Ibu. Dari penuturan beliau aku jadi tahu bahwa barang dagangannya adalah pinjaman. Ibu itu mengambil atau lebih tepatnya meminjam barang jualan dari satu toko dan menjualnya di Air Sanih. Pihak Air Sanih tidak mengutip sewa untuk tiap warung. Akan tetapi pada hari-hari libur, ditarik retribusi ala kadarnya. Para penjual tetap yang berjualan di lokasi pemandian dapat menyimpan barang dagangan mereka di satu tempat khusus, tanpa harus membawanya pulang ke rumah. Konon “gudang” sederhana itu dibangun secara patungan oleh para pedagang. Di bungkus kacang itu, aku melihat bayangan wajah ibu pedagang di Air Sanih. Perasaan bersalah itu muncul lagi. Aku tak bisa membeli lebih banyak “kacang-kacang pilus.” Aku sedang dalam perjalanan dan aku tak memerlukan satu dus kacang! Entah berapa rupiah untung yang diambil si Ibu dari sebungkus kacang seharga lima ratus rupiah … Catatan: Di tulisan sebelumnya, saya membuat artikel singkat mengenai Air Sanih sebagai objek wisata pemandian alami. Reportase itu dilengkapi dengan beberapa gambar yang, oleh beberapa Kompasianer, dikatakan “indah” dan “keren”. Bahkan ada Kompasianer yang terbayang-bayang dan akan menjadikan Air Sanih sebagai tujuan wisata “must see”. Mengutip kembali perkataan “duo” Collier, saya jadi bertanya-tanya, apakah persepsi Kompasianer tentang Air Sanih tetap sama atau berubah dari bayangan Kompasianer sebelumnya setelah membaca tulisan ini? DO we REALLY WANT see what we want to see, as we want to see, as we want to perceive it?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H