Mohon tunggu...
MAMA GAGA
MAMA GAGA Mohon Tunggu... Wiraswasta - MOMPRENEURSHIP

Hanya wanita biasa yang selalu ingin belajar hal yang baru, bukan wanita pekerja kantoran namun punya office hour 9 am till 9 pm, wanita yang lebih memilih makan bakso tetelan dibanding korean bbq

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Para Wanita Pendosa

5 Maret 2024   17:45 Diperbarui: 5 Maret 2024   17:47 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wanita itu lalu mengambil selembar foto dari balik bantalnya. "Ini Thole, anak saya," Ia memperlihatkan foto itu bangga. "Sekarang sudah kelas 1 SMA, mereka bilang anak saya pintar dan rajin," senyum terkembang di wajahnya. Minat mengobrol Evita seketika bangkit. Anak, topik paling menarik bagi seluruh para Ibu. Wanita itu masih memandang foto di tangannya, senyumnya perlahan memudar. "Sudah cukup lama kami berpisah, entah bagaimana rupanya sekarang, sampai saya lupa bagaimana rasanya rindu, semua kenangan tentang anak ini bagai buku usang yang harus saya baca berulang-ulang, agar saya tak lupa," sambil menghela nafas wanita itu menutup cerita. Evita lalu meminjam foto itu, memandangnya lekat-lekat.

Anak lelaki berkaos singlet, berkulit hitam berdiri tanpa alas kaki, menatap aneh dalam foto itu. Di belakangnya anyaman gedheg sebuah gubuk reyot menjadi latar sempurna dari potret kemiskinan. "Itu waktu Thole umur 4 tahun, masih tinggal sama simbok di kampung," terangnya. Anak itu begitu kurus, kaos singletnya entah sudah dipakai berapa kali, bernoda tanah dan kusam. Evita membayangkan, jikalau anak itu berdiri berdampingan dengan putri kecilnya, Sofie, bak sebuah paradoks nyata tersaji.

Anaknya tak pernah menggunakan singlet lusuh bekas noda tanah, anaknya tak pernah tak beralas kaki, dan anaknya selalu tersenyum saat difoto, bukan ekspresi aneh penuh keheranan. Anaknya selalu tidur nyaman di atas ranjang empuk, berpendingin ruangan dan bebas nyamuk, bukan dalam gubuk gedheg berlantai tanah. Sekonyong-konyong Ia sadar, betapa besar dosanya selama ini, mengusahakan kenyamanan Sofie, dan pura-pura buta dengan nasib anak-anak seperti Thole.

"Entah apakah saya masih diberikan kesempatan untuk menemuinya lagi, mungkin Tuhan pun tak akan mengijinkannya. Thole sudah lama menganggap ibunya mati, lagipula ibunya memang akan mati, tinggal menunggu sipir dari pulau sebrang datang menjemput. Mungkin esok atau lusa, saya pun tak tau pasti," lanjut wanita itu pilu.

Evita membeku, emosinya bergejolak, dunia betul-betul kejam. Dosa apa yang diperbuat wanita ini hingga ia harus mati? Ditelitinya wajah wanita itu, mencoba menemukan cela-cela kejahatan disana. Namun tidak, Ia tak menemukan apapun, hanya sosok wanita rapuh, yang tampak lelah dengan kehidupan, tampak sudah kalah dan menyerah. "Saya juga wanita pendosa, bertaruh nyawa membawa barang haram masuk ke negri ini, saya hanya ingin mencukupi kebutuhan Thole di kampung, sayangnya di pertaruhan itu saya kalah," tutupnya seolah menjawab tanda tanya di benak Evita.

Mereka berdua duduk bersisian, kedua bahu saling menyentuh, dan kini kedua hati wanita itu pun terpaut. Benak Evita dipenuhi kepedihan, baru saja tadi Ia mengeluhkan nasibnya, merasa dunia begitu tak adil, tak mengijinkannya memeluk Sofie kecil di hari ulang tahunnya. Lalu, Tuhan menegurnya. Menyajikan kisah pilu wanita ini. Kesadarannya tergugah, seharusnya Ia bangkit berdiri untuk kaumnya, para wanita, para ibu, para tulang rusuk yang terpaksa menjadi tulang punggung.

Malu, dirinya malu telah menyia-nyiakan kedigdayaannya di ruang kekuasaan, seharusnya ia tetap menggenggam erat-erat idealismenya, seharusnya ia memikirkan anak-anak seperti Thole, bukan malah menari-nari gembira di ruang-ruang rapat tertutup parlemen.

Adzan subuh berkumandang, menyelinap masuk di sela-sela terali. Merdu bak nyanyian para malaikat, menjanjikan sejuta pengampunan dari Tuhan Sang Maha Adil. "Saya sholat dulu Jeng, mau ikut nggak ?" tanya wanita itu sambil merapikan ikatan rambutnya. Evita menggeleng lalu menelungkupkan wajah. "Saya malu pada Tuhan," gumamnya lirih. Wanita itu menyentuh lembut lengannya, "Berprasangka baiklah pada Nya, doa seorang ibu untuk anak-anaknya tak pernah gagal menembus langit," terang wanita itu bijak lalu bangkit berdiri. Evita menatap kepergian wanita itu, tiba-tiba saja tekadnya muncul membulat. Ia yakin masih bisa melakukan sesuatu, untuk Thole, Sofie, dan anak-anak para wanita pendosa lainnya, kelak ketika Ia keluar nanti. Dan sebagai permulaan, Ia akan menebalkan muka, bersimpuh memohon ampunan pada Tuhan.

"Tunggu Bu, saya ikut berjamaah."

              

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun