Saya akan mencoba merangkum apa yang telah saya pelajari di modul 2.3 pendidikan guru penggerak. Supervisi akademik dilakukan untuk memastikan  pembelajaran yang berpihak pada murid sebagaimana tertuang dalam standar proses pada Standar Nasional Pendidikan Pasal 12. Sehingga penting kiranya bagi kita memastikan bahwa supervisi akademik yang kita jalankan benar-benar berfokus pada proses pembelajaran sebagaimana yang tertuang dalam standar proses tersebut.  Selain bertujuan untuk memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid, supervisi akademik juga bertujuan untuk pengembangan kompetensi diri dalam setiap pendidik di sekolah sebagaimana tertuang dalam standar tenaga kependidikan pada Standar Nasional Pendidikan pasal 20 ayat 2, yang berbunyi "Kriteria minimal kompetensi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional."  Untuk mewujudkannya diperlukan pemimpin sekolah yang dapat mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kompetensi diri dan orang lain dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.
Pendekatan yang tepat untuk digunakan adalah pendekatan yang diawali dengan paradigma berpikir yang memberdayakan. Pendekatan dengan paradigma berpikir yang memberdayakan mutlak diperlukan agar pengembangan diri dapat berjalan secara berkelanjutan dan terarah. Salah satu pendekatan yang memberdayakan adalah coaching sebagaimana Whitmore (2003) ungkapkan bahwa coaching adalah kunci pembuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerjanya. International Coach Federation mendefinisikan coaching sebagai"...bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif."
Selain coaching, ada beberapa metode pengembangan diri yang lain yang bisa jadi sudah kita praktikan selama ini di sekolah yaitu mentoring, konseling, fasilitasi dan training. Berikut adalah perbedaannya.
Tabel 1. Perbedaan antara
Coaching, Mentoring, Konseling, Fasilitasi dan Training
Untuk dapat membantu rekan sejawat kita untuk mengembangkan kompetensi diri mereka dan menjadi otonom, kita perlu memiliki paradigma berpikir coaching terlebih dahulu. Paradigma tersebut adalah fokus pada coachee, bersikap terbuka dan rasa ingin tahu, memiliki kesadaran diri yang kuat, serta mampu melihat peluang baru dan masa depan. Selain itu kita juga harus menggunakan prinsip coaching yaitu: kemitraan, proses kreatif dan memaksimalkan potensi. Ada tiga kompetensi inti yang harus dimiliki seorang coach yaitu kehadiran penuh/presence, mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. Dalam mengajukan pertanyaan berbobot harus dengan RASA (Receive Appreciate Summarize Ask). Â Dalam membangun percakapan yang memberdayakan kita dapat menggunakan alur TIRTA. Alur ini terdiri atas: 1) Tujuan; 2) Identifikasi; 3) Rencana aksi; dan 4) Tanggung jawab.
Dengan menggunakan paradigma berpikir coaching dalam supervisi akademik diharapkan dapat lebih memaksimalkan potensi guru dalam pembelajaran. Â Percakapan-percakapan coaching membantu para guru berpikir lebih dalam (metakognisi) dalam menggali potensi yang ada dalam diri dan komunitas sekolahnya sekaligus menghadirkan motivasi internal sebagai individu pembelajar yang berkelanjutan yang akan diwujudnyatakan dalam buah pikir dan aksi nyata demi tercapainya pembelajaran yang berpihak pada murid.
Setelah saya mempelajari modul 1 dan 2 saya dapat melihat bahwa untuk mewujudkan pendidikan sesuai pemikiran Ki Hajar Dewantara, yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat, sebagai pendidik kita perlu mengasah kemampuan akademik (melalui pembelajaran berdiferensiasi) dan kemampuan sosial emosional (melalui pembelajaran sosial emosional) serta bisa menjadi coach bagi rekan guru lain untuk mewujudkan pembelajaran yang berpusat pada murid. Karena jika ada lebih banyak guru yang melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada murid, maka tujuan pendidikan sesuai pemikiran Ki Hajar Dewantara akan lebih cepat terwujud.
Sebelum mempelajari modul saya tidak dapat membedakan beberapa pengembangan diri seperti mentoring, konseling, training, fasilitasi, dan coaching. Sekarang saya dapat membedakannya. Saya merasa senang karena dapat belajar tentang bagaimana membangun percakapan yang memberdayakan, bukan mengajari, bersama rekan sejawat. Saya bersyukur mendapat kesempatan untuk belajar banyak hal dalam pendidikan guru penggerak. Saya juga sangat yakin bahwa pemimpin sekolah yang dapat melaksanakan supervisi akademik dengan paradigma berpikir coaching akan dapat menghapus kesan buruk supervisi selama ini. Guru juga akan lebih dapat mengembangkan dirinya dalam mewujudkan pembelajaran yang berpusat pada murid.
Saya menyadari bahwa selama ini saya tanpa saya sadari sudah melakukan coaching bersama rekan guru. Di saat ada rekan guru yang sharing pengalaman mengajar murid pada materi tertentu. Hanya saja saya belum menggunakan alur TIRTA maupun paradigma berpikir coaching secara utuh. Ke depannya saya akan mencoba menerapkan paradigma berpikir dan prinsip coaching bagi murid-murid saya, serta rekan guru lain. Bukan hanya dalam pembelajaran tapi juga untuk pemasalahan lain yang ditemui.