Saya masih ingat saat pastor itu mengatakan "forgive" lebih dari satu kali. Bagi saya itu menunjukkan seolah bahwa saya harus memaafkan dan memaafkan lagi dan lagi.
Kata itu seperti "kunci" dari semua masalah yang mungkin saya hadapi nantinya. Pokoknya saya merasa aneh dan tak percaya, apa iya memaafkan itu bisa menyelesaikan masalah?
Seiring waktu berjalan, ada saat-saat di mana pernikahan menghadapi ujian dan badai.Â
Di sini saya baru mulai sedikit paham maksud pesan pastor. Rasanya tak ada pernikahan yang mulus, kecuali dalam dongeng.
Hidup memang selalu memberikan pilihan, pun saat tak ada pilihan. Sesuai iman yang saya pegang, tak ada pilihan selain merawat pernikahan hingga maut memisahkan.
Mengapa saya lebih menyebut "merawat" dan bukan "mempertahankan"? Ya, karena bagi saya pernikahan seperti tumbuhan yang hidup. Dari biji atau tunas, dia harus bertumbuh terus supaya berbuah.
Kata "mempertahankan" bagi saya lebih terlihat ada beban dan keterpaksaan. Jadi, saya lebih suka dengan istilah merawat pernikahan.
Kembali ke masalah merawat pernikahan. Jujur, saya tak tahu bagaimana caranya. Sama seperti banyak orang, saya menjalani apa yang harus dijalani. Sesederhana itu.
Sayangnya, saat menjalani semua proses itu tidak sesederhana yang kita pikirkan. Ada kejenuhan dan berbagai konflik juga pikiran liar yang menggugat dalam hati.
Dari situlah, seringkali komitmen pernikahan menjadi goyah. Sesuatu yang kecil bisa menjadi besar dan sebaliknya. Cinta seperti tergerus karena kesalahan pasangan yang ada atau mungkin "diada-adakan".