***
Tiga bulan setelah percakapan di tukang sayur, bu Bangun tak pernah lagi tampak belanja. Rumahnya selalu tertutup. Kata pembantunya, bu Bangun sedang ke rumah anak pertamanya.
Bu Tegar heran dengan sikap bu Bangun. Bahkan pak Bangkit pun tak pernah tampak lagi di rumah. Mobilnya tak pernah terlihat di garasi depan rumahnya.
"Bu, aku mau kondangan ke desa Sumber Jaya. Ada kondangan anak karyawan disana. Dadakan ini. Nggak apa, ayo ikut!" kata pak Kukuh, suami bu Tegar. Bu Tegar segera bersolek dengan rambut yang disasak tinggi.
Sepanjang jalan menuju hajatan, bu Tegar celingukan mencari minimarket atau toko kelontong yang besar.
"Cari apa sih, Bu?" tanya pak Kukuh.
"Itu warung kelontong besar, cabang minimarketnya pak Bangkit. Kata bu Bangun di Sumber Jaya sini, pak!" sahutnya.
"Nggak ada. Disini adanya warung kecil. Mana ada warung besar atau minimarket. Susah laku, lagian kasian warung kecil bisa mati, " kata pak Kukuh.
Tiba di tempat hajatan, seperti biasa mereka langsung bersalaman dengan mempelai dan orangtuanya. Tetiba bu Tegar mencubit lengan pak Kukuh.
"Itu, kok kayak pak Bangkit?" katanya lirih.
Pak Kukuh bergeming. Dia merasa tak enak bisik-bisik di keramaian. Akhirnya mereka menyalami mempelai, yang tak lain salah satunya adalah pak Bangkit, tetangganya sendiri.