RISA
Aku adalah manusia bodoh. Betapa susahnya untuk seorang Risa berkata "tidak". Betapa susahnya untuk seorang Risa menjadi cewek jutek. Betapa lembeknya aku! Aku memang bodoh.
Cerita sebelumnya : klik disini.
Tiap kali aku dimintai alamat dan nomor telepon orang selalu kukasih. Akhirnya, aku susah sendiri. Banyak telepon yang masuk. Banyak juga yang bermain ke asrama. Kuliahku bisa kacau!
"Ris, ada yang mau ketemu?" kata Nina temanku seasrama.
"Nin, tolong tanyain namanya? Pleaseeee..." sahutku. Tuh, kan aku jadi menyusahkan teman.
Lima menit kemudian, Nina sudah nongol. "Agung, " katanya.
"Bilang lagi tidur dong, Nin.." pintaku memelas. Aku sudah lupa siapa lagi cowok bernama Agung.
"Yah, tadi sudah kubilang kamu ada. Sudah temuin aja, orangnya kulihat boleh juga!" katanya sambil mengedipkan mata.
Duh. Aku menggaruk-garuk kepala. Beginilah nasib manusia bodoh. Sebelum kubuka pintu, aku baru ingat Agung yang kutemui di bis seminggu lalu. Hmmm... benar saja. Ternyata Agung si anak ekonomi. Aku jadi canggung.
"Hai Ris.. sibuk ya?" sapanya berbasa-basi.
"Enggak kok, yuk duduk..." sahutku. Kuajak dia duduk di ruang tamu asrama.
Aku biasa saja. Cuma tak bisa kupungkiri, ada semburat rasa yang tergambar di wajah Agung. Sepertinya dia menyukaiku. Aku tahu.
***
AGUNG
Sore ini aku ingin menemui Risa. Duh, gila! Aku sungguh terpesona dengan perempuan mungil itu. Senyumnya manis melebihi madu.
Aku membawa sesuatu yang spesial untuknya. Untuk seorang Risa penakhluk keangkuhan seorang Agung.
Sampai di asrama Risa, aku sedikit grogi. Seperti ini rasanya ujian skripsi? Astagaaa...
Kini Risa sudah di depanku. Ya Tuhan, inikah rasanya cinta? Melihat seulas senyumnya saja, aku mati kutu.
"Yuk duduk..." katanya menyahut sapaan kakuku.
Setelah ngobrol, aku makin yakin aku telah jatuh cinta. Risa yang ramah dan lembut. Seorang perempuan yang telah memantik sisi romantisku.
"Risa, tutup mata dong..." pintaku.
"Ah, nggak.. mau ngapain?" tanyanya.
"Please, aku mau kasih sesuatu..." sahutku. Risa tersipu. Dia menutup kedua matanya.
Aku keluarkan bunga itu dari tasku. Semerbak wanginya menguar di ruangan. Kusodorkan bunga dalam gengamanku.
"Buka mata, tuan Putri..." kataku. Risa membuka matanya. Matanya terbelalak.
"Ini apa? " tanyanya.
"Ini bunga edelweis, Ris! Spesial untukmu... Sebut namaku ya ketika kamu mencium wangi bunga ini, " kataku. Risa tersipu dengan muka memerah. Dia makin cantik.
"Hmmm... aduh, kenapa repot? Ini dari mana? Aku belum pernah melihat edelweis..." katanya lembut.
"Ris, ini bunga abadi. Aku ambil di gunung Sindoro. Perjuangan, Ris.. aku petik di dekat jurang! " kataku menjelaskan.
"Duh, serem sekali!" timpalnya.
"Demi kamu, Ris... Aku pun ditegur sama kating. Ini bunga yang dilindungi, tidak boleh dipetik. Aku juga baru tahu..." lanjutku.
Risa terdiam. Aku tahu mungkin aku terlalu terburu mengungkapkan semua ini. Tapi apa dayaku, aku ingin Risa tahu bahwa aku telah jatuh cinta padanya.
Sebelum aku pulang, Risa tersenyum padaku. Aku lega. Setidaknya ada tunas harapan untukku.
"Besok pagi olahraga di stadion yuk! Aku jemput jam 7 ya?" ajakku.
"Duh, besok nggak bisa. Aku misa pagi jam 6. Maaf ya? Sore aja kalau mau, " jawabnya.
"Ya udah, aku jemput sore ya?" sahutku mengiyakan.
bersambung
Cerita selanjutnya : klik disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H