Pernikahan beda budaya itu penuh dinamika. Kadang membuat kesal namun tak jarang membuat tertawa. Dua belas tahun bersama tentu banyak peristiwa dan banyak pelajaran berharga. Budaya Jawa dan Toraja saling berjalan beriringan. Izinkan saya menuliskan ceritanya.
Peristiwa ini terjadi 3 tahun yang lalu ketika ibu mertua berpulang ke pangkuanNya. Awalnya saya usulkan untuk memakai kavling kami saja di daerah Karawang, namun ternyata diputuskan untuk dibawa pulang ke kampung di Sulawesi.
Berhubung si bungsu masih bayi, saya tak ikut serta. Di rumah duka saja si bungsu terus rewel dan menangis, betapa repot kalau harus naik pesawat dan perjalanan darat hampir 9 jam. Saya sendiri tak yakin kuat.
Selama di kampung, suami selalu memberi kabar perjalanan dan acara. Di hari kedua dan ketiga belum ada keputusan kapan dimakam. Aneh, begitu batin saya. "Kenapa harus rapat melulu? Yang dibahas apa aja sih? Ribet amat!"
Di hari selanjutnya juga sama. Malah membuat tandu untuk mengusung peti nantinya. Tandu tersebut diukir dan bisa memakan waktu 3 hari untuk membuatnya. Ongkosnya tentu tidak murah. Hmm... bertele-tele banget ya?
Kira-kira seminggu kemudian baru ada kejelasan acara. Jadi dua hari acara pesta adat, baru hari berikutnya misa requiem di gereja dan pemakaman.
Pada hari acara, suami sering secara random videocall. Saya makin bingung. Bagaimana tidak bingung melihat suasana acara adat yang lebih seperti pesta pernikahan? Ada panggung, tempat menerima tamu, dan dapur dadakan dengan jumlah orang yang memasak banyak.
Sebenarnya dikatakan kaget sekali tidak juga. Dulu almarhum mertua pernah menunjukkan video acara yang sama, rambu solo' salah satu kerabat. Sayangnya, waktu itu saya sudah ngeri duluan melihat kerbau yang ditebas dengan parang. Jadi, pemahaman saya cuma sampai pada masalah kewajiban membeli kerbau dan babi.
Memang, semua orang tahu acara pesta adat kematian suku Toraja itu unik. Hanya bagi saya tetap saja tak menyangka akan seperti ini yang terjadi di depan mata. Bagi saya, orang Jawa, agak susah untuk melogika dan "mencerna" perbedaan budaya ini.
Bayangkan, kita kehilangan orang terkasih kok malah pesta? Kok malah makan-makan? Tak ada kesedihan. Sementara kami orang Jawa, ketika ada kematian, untuk minum air putih saja tak sanggup. Saya sering datang ke rumah duka atau pemakaman, jika ada makanan saya tak sanggup menelan. Biasanya saya memilih untuk tidak mengambilnya.