Pada Desember 2020, KPK menetapkan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap kesejahteraan untuk penanganan pandemi Covid-19 di wilayah Jakarta pada 2020.. Ini masih sebuah dugaan masih tahap pengumpulan data-data dan bukti. Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara belum terbukti sebagai tersangka, KPK masih menyelidiki kasus ini lebih dalam lagi
Pada tanggal 4 Desember 2020, Sempat ada ke keliruan data dalam proses penyelidikan. Hal ini membuat gempar beberapa media elektronik. Namun Hal ini dibantah oleh pihak KPK, mereka menyebut masih dalam proses. Yang memunculkan propaganda.
Ketika Tanggal 6 Desember, KPK menetapkan Mantan Mentri Sosial Juliari Batubara Sebagai tersangka Suap bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19. Penetapan tersangka Juliari dilakukan menyusul penangkapan KPK pada Jumat, 3 Desember 2020. Setelah Juliari ditetapkan sebagai tersangka, Juliari menyerahkan diri ke KPK malam itu..
KPK menduga ada 3 orang tersangka yang terlibat sama dalam kasus ini. KPK menetapkan Matheus Joko Santoso, Adi Wahyono, Ardian dan Harry Sidabuke sebagai tersangka selaku pemberi suap. Ke 3 orang ini masih dalam proses pemeriksaan KPK
Menurut KPK kasus ini bermula dari adanya program pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kemensos pada wilayah Jabodetabek tahun 2020. KPK Melaporkandengan nilai sekitar Rp 5,9 Triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan 2 periode. Juliari, Menteri Sosial saat itu, menunjuk Matheus dan Adi sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk pelaksanaan proyek dengan menunjuk langsung mitra dan diduga setuju untuk menetapkan iuran sosial untuk setiap paket pekerjaan yang harus disetorkan oleh mitra kepada Matheus. kementerian. Untuk setiap paket kesejahteraan, tarif yang disepakati Matheus dan Adi adalah Rp 10.000 per paket sembako dari nilai Rp 300.000 per paket kesejahteraan. Sejak Mei hingga November 2020, Matheus dan Adi menandatangani kontrak kerja dengan berbagai vendor sebagai mitra, antara lain Ardian I M dan Harry Sidabuke, serta PT RPI
Juliari dilaporkan mengetahui penunjukan PT RPI untuk salah satu mitra dan Adi menyetujuinya. Pada paket bantuan sembako periode pertama, diduga telah diterima fee sebesar 12 miliar rupiah yang penyalurannya dilakukan secara tunai oleh Matheus melalui Adi a Juliari. Dari jumlah itu, suap yang diterima Juliari diperkirakan mencapai Rp 8,2 miliar. Belakangan, Eko dan Shelvy N mengelola uang itu sebagai orang kepercayaan Juliari untuk memenuhi kebutuhan pribadi Juliari. Pada tahap kedua pelaksanaan paket bantuan sembako, uang iuran yang terkumpul sekitar Rs 8,8 miliar dari Oktober hingga Desember 2020 Juliari menerima suap Rp 17 miliar, menurut KPK. Juliari dikatakan telah menggunakan semua uang itu untuk keperluan pribadi. Juliari diduga melanggar pasal 12 (a) atau pasal 12 (b) atau pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengubah UU No. 31 sebagaimana telah diubah , atas perbuatannya tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sehubungan dengan pasal 55 ayat 1 sd 1 KUHP. Dalam sidang Senin (23/8) lalu, majelis hakim menjatuhkan vonis 12 tahun penjara kepada Juliari. Vonis ini satu tahun lebih tinggi dari tuntutan jaksa KPK, tetapi tidak memenuhi harapan aktivis antikorupsi yang percaya Juliari pantas mendapatkan hukuman yang lebih berat. Juliari juga didenda Rp 500 juta dan denda Rp 14,5 miliar. Ia juga divonis tidak menggunakan hak politik selama empat tahun. Namun, dalam salah satu pertimbangannya, juri memutuskan bahwa penghinaan publik terhadapnya harus meringankan hukuman Juliari.
"Terdakwa sudah muak dihina, dicaci maki, dan dipermalukan masyarakat," kata salah seorang juri, Yusuf Pranowo saat membacakan putusan. "Terdakwa dinyatakan bersalah oleh masyarakat, padahal ia belum tentu bersalah secara hukum sebelum suatu putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap," kata Yusuf. Feri Amsari menilai hakim belum secara jelas menilai kerugian yang diderita Juliari akibat penghinaan publik. Ia menilai majelis hakim juga gagal membaca kekhawatiran masyarakat terhadap korupsi, terutama di saat terjadi bencana alam seperti era penularan Covid-19. "Jika musyawarah itu benar, setiap penjahat akan mendapat keringanan hukuman," kata Feri. "Banyak protes masyarakat terhadap peristiwa korupsi. Setelah pejabat diberi wewenang, ternyata korupsi. Publik tentu kecewa, sedih, marah, marah dan melontarkan berbagai pernyataan. " Kenapa anti korupsi ini? pendirian? Alasan pengurangan hukuman? kata feri. Namun, juru bicara KPK Ali Fikri mengatakan bahwa 'komisi hakim telah menerima semua tuntutan jaksa terhadap Juliari. Meski ragu untuk mengomentari pertimbangan yang meringankan, dia menilai hakim sudah adil dalam menjatuhkan hukuman. "Hakim mempertimbangkan salah satunya untuk memasukkan keterangan terdakwa dalam pembelaannya," kata Ali. “Biasanya putusan hakim harus mempertimbangkan dua pihak, baik penuntut umum maupun terdakwa. "Dari sudut Badan Peradilan, hakim berhak mempertimbangkan alasan-alasan yang memberatkan dan yang meringankan, serta dalil-dalil kedua belah pihak," katanya. Dalam pengakuan bersalahnya, Juliari mengatakan bahwa kasus kesejahteraan telah menghujat partainya. "Saya mengerti bahwa sejak kasus ini muncul, gelombang penistaan dan penghinaan terhadap PDI-P telah datang dan pergi," katanya dalam sidang pada 9 Agustus.
Dalam pembelaannya, Juliari mengaku tidak berniat melakukan tindak pidana korupsi. Dia juga membantah telah menggunakan anggaran bansos. Kedua hal ini kemudian menjadi apa yang diyakini juri sebagai alasan penimbangan sidang Juliari. Namun, penghinaan publik seharusnya tidak menjadi alasan untuk meringankan hukuman para koruptor, kata Wa Ode Nurhayati, seorang politisi yang dihukum karena penyuapan uang untuk mengadaptasi infrastruktur daerah. Wa Ode dijatuhi hukuman enam tahun penjara dalam kasus ini. Dia dibebaskan pada 2017. Menurut Wa Ode, siapa pun yang dituduh korupsi selalu mengalami penghinaan publik. Stigma yang mengerikan, katanya, tetap ada bahkan setelah dia keluar dari penjara. “Saya tidak setuju dengan penghinaan yang mengurangi hukuman. Pertimbangan mantan Menteri Sosial itu sangat dramatis. Sumpahnya bukan hanya dalam kasus korupsi kesejahteraan sosial, tapi di banyak kasus lainnya,” ujarnya saat dihubungi. Wa Ode merasa KPK justru membentuk citra negatif terhadap orang-orang yang terlibat korupsi di Lapas. “Sejak itu saya telah mempersiapkan mental anak saya. Saya mengangkatnya dengan cara saya. Itu hal terberat bagi terpidana korupsi, apalagi seorang ibu,” ujarnya. Foto ini juga menemani Wa Ode yang kini mencoba kembali berpolitik. “Saya pernah mendukung pasangan dalam pemilu, tapi Kandidat langsung menyerang yang didukung oleh para koruptor,” kata Wa Ode. “Korupsi adalah bantal empuk untuk menyerang. Moral masyarakat telah dibentuk sedemikian rupa. Terus terang KPK sudah sukses,” ujarnya. Sehari setelah putusan dijatuhkan, Juliari masih belum memutuskan apakah akan mengajukan banding atas putusan hakim. Selain Juliari, kasus bansos juga melibatkan bawahannya di Kementerian Sosial yakni Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso dalam proyek bansos ini. Mereka menduga banyak aktor lain yang tidak terungkap dalam penyidikan KPK. KPK menyatakan akan melanjutkan penyidikan jika menemukan fakta hukum baru dalam putusan pengadilan terhadap Juliari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H