Mohon tunggu...
Tyas Tyas
Tyas Tyas Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

ya...gitu deh pokoknya... ;)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ibu yang Aneh

26 Agustus 2013   11:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:48 1809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kadang, aku merasa seperti ibu yang aneh.

Ibu yang tidak seperti ibu-ibu pada umumnya, tidak ikut arus.

Dulu, saat anakku masih TK, kesibukannya hanya sekolah saja. Tidak seperti teman-teman TK lainnya yang les bahasa Inggris, kursus calistung sampai kumon. Sepulang sekolah, kegiatan anakku tak ada yang lain, selain bermain. Dia asyik menggambar di papan tulis mungil yang kami tempel di tembok, asyik main sepeda roda tiga di halaman depan rumah kami yang sepi dari kendaraan hingga bermain bola dengan teman-temannya.

Sementara teman-teman sekelasnya masih belum pulang ke rumahnya sepulang sekolah karena masih sibuk kursus, anakku sudah asyik bermain.

Kadang teman-temanku sesama ibu-ibu yang menyekolahkan anaknya di TK tersebut memandang aneh, pelit sekali mama si Chubby ini, masa anaknya tidak dikursuskan ini dan itu....bisa ketinggalan kereta loh. Entar gedenya mau jadi apa?

Biarlah..bagiku, masa kanak-kanak apalagi usia TK adalah masa bermain. Sekolah formal memang penting, supaya tidak ketinggalan dengan anak lain dan sebagai sarana bersosialisasi, tapi bermain sesukanya juga penting sebagai rangsangan kreatifitas anak dan ya memang itu dunianya saat itu, dunia bermain.

Aku lebih senang melihat anakku yang masih balita bermain riang daripada terus berada di ruang kelas untuk kursus ini dan itu sepulang sekolah...hmmm...pasti lelah dan membosankan.

Teringat jamanku kecil dulu, sepulang sekolah ya main....main rumah-rumahan pakai pasir, mengejar capung, main di peceren (selokan) mencari uget-uget (larva nyamuk) untuk pakan ikan, dan yang paling asyik memanjat pohon belimbing kemudian menikmati hasilnya di atas genteng, sambil tiduran memandang langit biru...indahnya..berangan-angan bisa terbang ke awan...hehe..

Beberapa tahun kemudian, kami pindah ke luar negeri, otomatis sekolah anakku ikutan pindah. Kebetulan di negara tempat tinggal kami ada sekolah Indonesia, tapi aku memutuskan untuk tidak menyekolahkan anakku di sana, tapi mendaftarkan dia di salah satu sekolah internasional yang letaknya agak jauh dari rumah. Saat itu Chubby masuk kelas 1 SD, masih kecil, tapi sudah kulatih mandiri, sekolah sendirian menumpang bis sekolah. Kami hanya mengantar ke halte bis terdekat.

Lagi-lagi aku dipandang nyeleneh. Lha wong ada sekolah Indonesia kok malah menyekolahkan anak jauh-jauh ke sekolah internasional. Dimana nasionalisme?

Memang lain kepala lain pendapat, lubuk hati siapa yang tahu?

Aku memang menyekolahkan anakku di sekolah itu, selain untuk melatih kemandiriannya, juga bermaksud untuk membiarkan dia bergaul dengan orang-orang dari berbagai bangsa dan agama, supaya anakku tahu betapa luasnya dunia ini dan betapa beragamnya manusia yang hidup diatasnya. Pergaulannya tidak hanya dengan itu-itu saja. Tidak hanya bergaul dengan teman-teman Indonesia, tapi juga dengan anak-anak dari berbagai belahan dunia. Supaya kelak daya pikir dan cara pandang anakku lebih terbuka luas dan open minded.

Saat itu teman-teman anakku terdiri dari berbagai bangsa, anak China, Chile, Amerika, Mesir, Iran, Srilanka, Korea Selatan, Bulgaria, Ghana, Syria, India, Kuwait, dan sebagainya. Bahkan hingga kini, Chubby masih keep in touch dan sering chatting dengan sahabatnya yang berasal dari Chile, Bulgaria dan Korea Selatan.

Chubby juga tahu berbagai ritual keagamaan dari agama dan bangsa lain. Supaya dia paham bahwa Tuhan tidak hanya menciptakan satu macam manusia saja, tapi bermacam ragam manusia dengan berbagai keyakinan yang dianutnya. Patuh pada ajaran agama itu penting untuk menuntun perilakunya, tapi jangan sampai picik. Manusia dipandang dari buahnya beragama, apakah membuahkan hasil berupa perilakunya baik atau tidak. That’s all.

Toh, aku masih tetap menanamkan jiwa nasionalisme. Anakku beberapa kali pentas menarikan tarian Jawa atau Sumatera apabila ada acara kantor. Terpaksa aku menjemputnya sebelum sekolah selesai, untuk latihan menari. Acara HUT RI juga Chubby ijin dari sekolah untuk ikut upacara. Bagaimanapun Chubby anak Indonesia, walau tidak lahir dan hidup di Indonesia.

Kembali dari luar negeri, Chubby saat ini bersekolah di sekolah swasta yang berlandaskan ajaran agama. Sekolah biasa, bukan swasta yang mahal. Ada satu hal yang aku suka dari sekolah ini. Selain bilingual (maksudnya bukunya memakai 2 bahasa, tapi guru-gurunya tetap berbahasa Indonesia....hahaha), sekolah ini juga menampung anak-anak yatim piatu dan anak-anak dari keluarga kurang mampu, dengan cara subsidi silang.

Dengan cara begini, Chubby tahu bahwa banyak anak-anak yang kurang beruntung dibanding dirinya. Anak seumur Chubby sudah bisa diajak berpikir hal yang lebih rumit. Misalnya, kenapa si A dulunya ditemukan di tempat sampah (sekarang menjadi penghuni yatim piatu. Bersyukurlah, karena banyak bayi tak beruntung yang ditemukan mati di tempat sampah.. L ), kenapa si B tak pernah halus pakaiannya (karena pakaiannya kering dicuci langsung dipakai lagi, tak sempat disetrika, saking sedikitnya punya baju seragam), kenapa sahabatnya si C selalu minta bagian makanan bekal Chubby (karena C tak punya uang saku, anak panti asuhan rata-rata tak ada yang memberinya uang saku).

Hidup tak selalu mudah dan indah. Ada manusia yang sudah merasakan kerasnya hidup, bahkan sejak pertama kali dia menyapa dunia.

Namun ada juga teman-temannya yang berasal dari orang tua kaya raya yang membekalin anaknya gadget canggih (hal ini tak dialami saat di luar negeri, di sekolah internasional banyak anak orang kaya, tapi gaya hidup orang tua mereka sederhana, tidak jor-joran membekali anaknya gadget canggih). Untung anakku sering kuajarkan untuk selalu melihat ke bawah, bahwa banyak anak kurang beruntung, jangan selalu melihat temannya yang gonta ganti gadget canggih. Melihat ke bawah membuat kita merasa banyak bersyukur. Karena di bawah ada batasnya, tanah, namun jika selalu memandang ke atas, maka kita hanya memandang langit, tak berbatas....

Sempat ada kerabat yang kebetulan bekerja di sekolah swasta yang berbau asing (franchise dari luar negeri), yang benar-benar bilingual (guru mengajar dalam bahasa Inggris), yang biaya masuknya puluhan juta dan uang SPP perbulannya udah jutaan. Kerabat ini menyayangkan, kenapa Chubby mesti sekolah di sekolah swasta macam itu...mending sekolah di tempat dia saja yang canggih.

Aku hanya senyum (namanya juga ibu yang aneh, tak ada yang tahu isi hatinya dan selalu punya maksud aneh yang tak bisa dipengaruhi orang lain).

Ah, tidaklah....biarlah Chubby sekolah disana saja, biar dia tahu hitam putihnya dunia...juga warna-warninya manusia, biar dia belajar bahwa hidup tak selalu mudah, bunga tak selalu indah...

Salam hangat,

Tyas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun