Baru melangkah menuju jalan raya, penuh sesak terasa seperti hari pertama masuk sekolah. Kebetulan saya tinggal di ibu kota salah satu provinsi. Saya pikir libur panjang Natal akan sepi seperti libur panjang Idul Fitri. Namun nyatanya berbeda. Kepadatan kendaraan menjadi pemandangan berdebu sejak pagi kemarin.
Tidak dipungkiri bahwa libur hari raya sejatinya tak hanya dinikmati oleh pemeluk agamanya saja. Banyak orang yang mudik dari tempat merantau untuk menikmati libur yang panjang, baik itu untuk bercengkerama dengan keluarga atau untuk merealisasikan itinerary liburan yang sudah dirancang. Maka tak heran bila jalanan, tempat hiburan, ataupun tempat wisata, penuh sesak dengan pengunjung.
Bagi saya, Natal adalah moment untuk berkumpul bersama keluarga. Terlebih bila libur Natal yang cukup panjang seperti tahun ini. Mulai dari hari Sabtu, Minggu, Senin yang terjepit, lalu tanggal 25 yang bertepatan dengan hari Selasa. Sebuah keberuntungan tersendiri karena kehangatan dan esensi berkumpul menjadi lebih intens karena waktu yang cukup terbilang panjang.
Berada di lingkungan keluarga yang memiliki keberagaman agama yang dianut, membuat saya selalu menerapkan toleransi. Kata yang berasa dari Latin 'tolerare' yang berarti sabar dan menahan diri, didefinisikan dalam KBBI sebagai bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Salah satu toleransi yang saya lakukan di sini otomatis adalah toleransi beragama.
Menurut saya, toleransi itu penting, terlebih toleransi beragama. Dalam keadaan sekarang, nilai-nilai tersebut semakin terdegradasi. Padahal nyatanya, sejak duduk di bangku sekolah dasar, kita semua selalu hafal isi Pancasila sila pertama. Namun ternyata, nilai-nilai luhur pancasila yang sudah dirumuskan, lantas mengabur begitu saja dan hanya melekat dalam buku pelajaran.Â
UUD 1945 pasal 29 ayat 2 pun sudah sangat jelas memperkuat pentingnya untuk saling toleran antar umat beragama. Mirisnya, dalam scoop satu agamapun, terkadang sikap toleran tidak pernah terjalin.Â
Kita bisa dengan mudahnya menikmati dan menanti-nanti libur hari raya meskipun bukan hari raya agama kita. Namun, mengapa banyak sekali yang sulit untuk menghargai perbedaan. Padahal, kita bisa hanya menerapkan toleransi positif, yaitu menghargai pemeluk atau penganut yang berbeda dengan kita apabila menerapkan toleransi ekumenis dirasa cukup sulit. Hal yang cukup sederhana, bukan?
Ada secarik harapan yang saya panjatkan saat merasakan deru pagi di libur Natal kali ini. Kedamaian. Semua orang mengendarai kendaraan dengan mood yang baik. Semua orang tahu bahwa kemacetan lalu lintas pasti tidak akan dapat dihindari tapi tetap saja kita memberikan sumbangsih polusi untuk udara sekitar demi suatu hal yang dicari yaitu kedamaian saat berkumpul dengan keluarga.
Bila suatu hal bisa menghangat karena libur panjang, saya rasa sebuah perbedaan pun akan terlupakan oleh satu tujuan yang sama: menciptakan kedamaian. (MRD)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H