Mohon tunggu...
M Alvian Putra S
M Alvian Putra S Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hukum

I Don't Pray For A Miracle, But I Make Them

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart - Dalam Sosiologi Hukum

9 Desember 2024   21:03 Diperbarui: 9 Desember 2024   21:10 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart menawarkan perspektif penting untuk memahami perkembangan hukum di Indonesia. Weber menekankan bahwa hukum merupakan hasil dari berbagai jenis tindakan sosial yang mencerminkan nilai-nilai dan interaksi masyarakat. Ia membagi tindakan sosial ke dalam empat kategori: tindakan tradisional, afektif, rasional instrumental, dan rasional berorientasi nilai. Tindakan tradisional, seperti hukum adat di Papua dan Sumatra, mencerminkan kebiasaan dan adat istiadat yang mengakar kuat di masyarakat. Di sisi lain, tindakan afektif didorong oleh emosi dan perasaan, seperti terlihat dalam penerapan hukum syariah di Aceh, yang mewakili ekspresi keyakinan religius komunitas setempat. Sementara itu, tindakan rasional instrumental berfokus pada efisiensi dan tujuan, sebagaimana diterapkan dalam kebijakan Omnibus Law untuk memperbaiki iklim investasi dan meningkatkan daya saing ekonomi. Adapun tindakan rasional berorientasi nilai menekankan pentingnya keadilan sosial, seperti dalam reformasi agraria dan perlindungan hak asasi manusia.

Weber juga mengembangkan konsep rasionalitas hukum, yang terbagi menjadi rasionalitas formal dan material. Rasionalitas formal tercermin dalam regulasi tertulis dan prosedur legal, seperti undang-undang dan kebijakan formal yang terus berkembang. Di sisi lain, rasionalitas material mengacu pada nilai-nilai moral atau agama yang mempengaruhi kebijakan publik, seperti penerapan prinsip syariah dan asas Pancasila dalam berbagai kebijakan pemerintah. Selain itu, Weber menekankan pentingnya birokrasi yang rasional dan profesional dalam sistem penegakan hukum. Birokrasi yang efektif tidak hanya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan hukum responsif terhadap perubahan sosial. Dalam konteks Indonesia, reformasi lembaga seperti KPK dan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah penting untuk memperkuat birokrasi hukum yang profesional.

Pemikiran H.L.A. Hart melengkapi perspektif Weber dengan penekanan pada struktur dan mekanisme hukum yang rasional. Hart memandang hukum sebagai sistem yang terdiri dari aturan primer dan sekunder. Aturan primer mengatur kewajiban dan perilaku masyarakat, seperti larangan mencuri dalam KUHP, sementara aturan sekunder mengatur proses legislasi dan perubahan hukum, seperti amandemen UUD 1945. Hart juga memperkenalkan konsep rule of recognition, yakni aturan pengakuan yang menentukan legitimasi semua aturan lainnya. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 berfungsi sebagai rule of recognition, di mana Mahkamah Konstitusi berwenang membatalkan peraturan yang bertentangan dengan konstitusi.

Hart juga mengakui bahwa dalam praktik, hakim sering kali menggunakan diskresi saat menghadapi kekosongan atau ambiguitas hukum. Diskresi ini memungkinkan penegak hukum menyesuaikan putusan dengan konteks sosial dan nilai-nilai lokal, seperti dalam kasus sengketa tanah adat. Meskipun Hart menekankan pemisahan antara hukum dan moral dalam kerangka positivisme hukum, praktik hukum di Indonesia tidak sepenuhnya terpisah dari nilai-nilai moral dan agama. Contohnya, penerapan hukum syariah di Aceh menunjukkan bahwa hukum di Indonesia sering berada di persimpangan antara positivisme dan moralitas.

Secara keseluruhan, pemikiran Weber dan Hart memberikan pemahaman yang komprehensif tentang dinamika hukum di Indonesia. Weber membantu kita melihat bahwa hukum bukan sekadar aturan formal, tetapi juga produk dari interaksi sosial, emosi, dan nilai-nilai moral. Di sisi lain, Hart memberikan kerangka kerja yang jelas tentang bagaimana aturan primer dan sekunder bekerja untuk membentuk sistem hukum yang konsisten dan adaptif. Sinergi antara kedua perspektif ini terlihat dalam reformasi hukum dan upaya memperkuat lembaga penegak hukum di Indonesia.

Kesimpulannya, pemikiran Weber dan Hart memberikan landasan yang kuat untuk memahami dan mengembangkan sistem hukum di Indonesia. Dengan mengintegrasikan aturan formal dan nilai-nilai sosial secara seimbang, Indonesia dapat membangun sistem hukum yang lebih adil, responsif, dan efisien. Reformasi lembaga hukum seperti KPK dan Mahkamah Konstitusi, yang didukung oleh birokrasi yang profesional dan penggunaan diskresi yang bijaksana, akan memastikan bahwa hukum tidak hanya mencerminkan kepastian dan efisiensi, tetapi juga keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun