Tipologi lainnya yaitu menurut Bemelmans-Videc, Rist dan Vendung dalam bukunya berjudul “Carrots, sticks, and sermons: Policy instruments and their evaluation” (1998) yang berpendapat bahwa instrument kebijakan dapat diklasifikasikan sebagai sticks, carrots, or sermons. Sticks tools bersifat memaksa perilaku individu atau masyarakat, carrots permintaan pemerintah bersifat tidak memaksa, dan sermons, mengkomunikasikan informasi untuk meyakinkan masyarakat. Nudge tidak bisa diklasifikan secara tegas menurut tipologi ini. Nudge lebih condong kepada sermons daripada sticks tapi juga mengandung unsur carrot.
Perlunya terobosan baru
Jika disarikan, pemerintah memerlukan terobosan guna mengubah perilaku alokasi non-productive spending. Permasalahan makin serius jika perilaku ini sudah membudaya di organisasi. Peraturan nan rigid berikut konsekuensinya tak bisa mencegahnya. Ada saja area abu-abu yang bisa dimanfaatkan. Karenanya perlu upaya membangun kesadaran sendiri dari birokrat, jika dilakukan dengan self awareness dalam jangka panjang bisa jadi hasilnya akan beda.
Beragam opsi kebijakan bisa diambil. Salah satunya dengan mengubah perilaku pengambil keputusan dalam mengalokasikan anggaran dengan nudging. Setelah dijejali berbagai peraturan memaksa dan mengikat, nudge menjadi opsi intervensi pemerintah mengurangi belanja tidak produktif. Insight dari nudge bisa digunakan memperbaiki desain kebijakan publik utama nya dengan memahami perilaku manusia. Pendekatan ini kian mendapatkan perhatian baik dari akademisi maupun praktisi dalam desain kebijakan. Terutama di lingkungan dimana sudah terlalu banyak peraturan namun masih kurang efektif dalam menyelesaikan permasalahan.
Kebijakan klasik melandaskan pada asumsi rasionalitas individu dalam pengambilan keputusan, padahal kenyataannya manusia dipengaruhi bias kognitif, seperti default pilihan dan kecenderungan orientasi jangka pendek. Oleh karenanya, menurut Thaler dan Sunstein dalam karyanya yang sering menjadi rujukan berjudul “Nudge: improving decisions about health, waealth and happines” (2008), lingkungan pengambilan keputusan perlu diubah sedemikian rupa sehingga memungkinkan individu mampu membuat desirable choices. Keduanya berpendapat manusia cenderung rasional dan secara konstan berbuat untuk kepentingan pribadinya, memaksimalkan kesejahteraannya. Manusia mengambil keputusan berdasarkan apa yang paling menguntungkan baginya. Jika dihadapkan pada pilihan, manusia cenderung mengambil pilihan menghindari kerugian dibanding mendapatkan keuntungan. Ini juga mengacu pada kecenderungan manusia untuk lebih menekankan keuntungan atau manfaat segera dibandingkan menundanya. Seperti contoh klasik me-nudge pilihan orang agar memilih makanan lebih sehat dalam suatu perjamuan dengan mengubah urutan penyajian makanan. Contoh lainnya gambar lalat yang kita jumpai pada urinoir pria, membantu menjaga toilet tetap bersih.
Pendekatan lainnya menurut Lehner, Mont dan Heiskanen pada artikel berjudul “Nudging - a promising tool for sustainable consumption behaviour?” (2016) dilakukan dengan mengubah choice of architecture. Ini mengacu pada struktur lingkungan informasi atau fisik yang mempengaruhi bagaimana pilihan dibuat. Terdapat empat pilihan choice of architecture berbeda menurut House of Lords (2011), provision of information, changes to physical environment, changes to default policy, dan penggunaan norma social and salience. Provision of information meliputi kebijakan yang menyediakan informasi dan masukan, juga kebijakan yang fokus pada framing dan penyederhanaan informasi. Perubahan lingkungan fisik, termasuk kebijakan mengubah lingkungan seperti perubahan susunan makanan atau minuman. Adapun perubahan default kebijakan mencakup perubahan default pilihan. Terakhir nudge yang mengadalkan norma sosial dan salience, dengan menyediakan informasi perbandingan atas yang dilakukan pihak lain (House of Lords, 2016 p. 10).
Beberapa pendekatan nudging bisa menjadi alternatif mengurangi perjalanan dinas yang tidak produktif atau kurang memberikan dampak langsung bagi masyarakat. Kita bisa belajar dari pengalaman negara lain menerapkan pendekatan ini. Misalnya, seperti yang dilakukan pemerintah India dengan mengirimkan email remainders kepada pegawai yang akan melakukan perjalanan dinas, mempertimbangkan pentingnya menghemat anggaran dan menyarankan menggunakan virtual meeting sebagai alternatif. Di lingkungan akademik, seperti Belgia sudah jamak, kampus mengkonfirmasi jika pilihan traveling bukan pilihan opsional, bisa dilakukan melalui virtual meeting, sebelum seseorang akan melakukan traveling. Meskipun pilihan ini dibungkus framing kebijakan eco-friendly, demi tidak ikut mengotori lingkungan karena penggunaan moda transportasi yang dipilih.
Pendekatan lain dilakukan pemerintah lokal Belanda dengan melakukan gamification dan pemberian reward kepada unit kerja yang berhasil menghemat biaya perjalanan dinas, bisa berupa pengakuan atau tambahan anggaran guna menjalankan project internal. Upaya ini terbukti menjadikan unit berlomba menjalankan penghematan anggaran.
Framing penghematan perjadin sebagai tabungan pembauaran pajak seperti dilakukan oleh pemerintah Australia New South Wales. Hal ini mendorong pejabat publik untuk melihat penghematan anggaran berkontribusi kepada masyarakat. Atau mengambil langkah UK Beharvioral Inshights Team sebagai “Nudge Unit” yang menghasilkan dan mengaplikasikan behavioural insights dalam memberikan masukan kebijakan dan perbaikan pelayanan publik dengan melakukan peer comparison data perjadin dan average cost per unit. Hal ini mampu menghasilkan pilihan keputusan perjalanan dinan lebih bijak sehingga menurangi keseluruhan beban biaya perjalanan dinas.
Pun tidak ada garansi upaya seperti ini akan berhasil. Perbedaan konteks sektor publik menjadi salah satu faktornya. Tiap negara punya kekhasan sektor publik termasuk dalam manajemennya. Tentunya tidak salah juga jika langkah seperti ini bisa menjadi pilihan pendekatan tools kebijakan untuk diterapkan di Indonesia. Keuntungan seperti lebih hemat sumber daya, tidak menimbulkan resistensi, tidak menambah beban administrasi, tetap memberikan kebebasan memilih pengambil kebijakan, dan dapat membantu membangun kebiasaan dan perubahan perilaku jangka panjang, tidak sekedar reaksi sesaat kerena ancaman sanksi atau insentif keuangan. Pada akhirnya, permasalahan ini tidak bisa diselesaikan sendiri melainkan perlu melibatkan seluruh pihak dalam ekosistem kebijakan, terutama k/l sebagai penyusun dan pengguna anggaran. Terlalu sering melakukan penyesuaian anggaran di awal pelaksanaan anggaran dalam jangka panjang bisa menimbulkan distrust atas kualitas dan kredibilitas proses perencanaan dan penganggaran, selain menjadi tambahan beban administrasi dalam pengelolaan keuanga publik. Rationalitas pengambil kebijakan mungkin dipengaruhi value dan insentif untuk mempengaruhi pengambil keputusan para birokrat. Perlunya mekanisme membuktikan hubungan antara belanja perjalanan dinas dengan delivery atau result, termasuk siapa yang akan mendapatkan manfaat dari delivery-nya.
Notes: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi tidak mewakili institusi dimana bersangkutan bekerja.