Mohon tunggu...
Malta Nur Doa
Malta Nur Doa Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan di Bidang Pemasaran dan Periklanan. Pengalaman di Agency Multinational selama 6 tahun.

Dengan pengalaman hampir 6 tahun di dunia Media Agency, PR Agency dan Riset. Saya punya passion untuk mengembangkan mendukung gerakan social clean energy, sepeda dan education. Saat ini saya bekerja di IPG Mediabrands Indonesia. Silahkan cek profileku di link berikut : https://www.linkedin.com/profile/view?id=84697214

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Transportasi Berbasis Aplikasi vs Organda (Si Taksi Biru)

14 September 2015   22:09 Diperbarui: 14 September 2015   22:11 1224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa yang tidak mengenal Go-Jek, Grab Taxi dan Uber? Sebagian besar masyarakat di Jakarta mengenalnya. Sebuah pasar transportasi yang menggiurkan para investor muda dengan segala inovasinya. Ya bisnis transportasi adalah bisnis tiada akhir. Semua orang membutuhkannya.

3 hal utama yang ditawarkan oleh bisnis baru ini. Kemudahan akses, setiap orang dengan smartphonenya bisa memesan transportasi ini tanpa terkecuali. Keakuratan informasi yang berisi siapa identitas pengemudi, posisi dimana dan harga yang akurat. Kenyamanan dimana setiap driver tidak ditarget kecuali target yang dia buat sendiri dan mereka dinilai oleh para penumpang.

Sejak kapan sih konflik transportasi ini bermula? Dan motif apa dibalik konflik transportasi berbasis aplikasi dengan Organda. Ketua Organda terpilih saat ini Adrianto Djokosoetono terpilih menjadi Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) 2015-2020 dalam musyawarah nasional, di Yogyakarta. Direktur Blue Bird Group itu mengalahkan inkumben Eka Sari Lorena Soerbakti.

Apa hubungannya konflik Organda (baca Blue Bird) dengan polemik transportasi berbasis aplikasi? Dan konflik ini sebenarnya baru beberapa bulan ini meruncing. Sebenarnya dari hasil observasi saya wawancara dengan beberapa driver dari masing-masing baik Uber, Grab, Blue Bird dan Go-Jek. Perlu diketahui asal mula kegaduhan ini dari Ketua Organda yang notabene adalah bosnya Blue Bird sendiri. Konflik ini bermula dari persaingan bisnis. Maklum Blue Bird biasa di atas angin monopoli pasar transportasi sekarang ada pesaing baru dan mulai goyang. Apalagi dia baru saja Go-Public. Apa kata investor di pasar saham nantinya kalo dia kehilangan kepercayaan dengan harga saham yang mulai dan terus menurun? Sementara para driver Blue Bird dan pelanggan kelas atas Blue Bird banyak yang beralih ke Uber. Sementara perusahaan competitor taksi lain (khususnya Express) semakin mengerus market share nya Blue Bird berkat bantuan aplikasi Grab Taxi.

Kesalahan Organda adalah fokus menyerang market Uber. Padahal jumlah driver Uber hanya 6000, bandingkan dengan blue bird di Jakarta yang memiliki 21,000 armada (bukan driver). Jumlah yang kecil untuk sebuah kompetitor perusahaan "taksi". Sementara pelanggan Uber itu kecil hanya mereka yang memiliki kartu kredit sementara pembayaran taksi cash flownya terbesar adalah uang tunai. Sehingga sangat terlihat ada motif yang "unusual" lebih dari sekedar persaingan bisnis. Jika murni persaingan bisnis, mengapa tidak menyerang Grab Taxi? Secara nyata jumlah armadanya head to head dengan Blue Bird. Dengan segala promo dan kemudahannya.

Perlu diketahui Blue Bird melarang drivernya ikut dalam program Grab Taxi. Sehingga mereka hanya mengandalkan layanan panggilan via telpon dan aplikasi miliknya sendiri untuk pemesananya. Kalah inovasi? Mau tidak mau motif hukum ditempuh? Mungkin strategi itu yang tengah dilakukan saat ini. Ingatkah dulu pertama kali ketika Android menginvasi pasar smartphone dan mengganggu penjualan Apple? Apple menggugat Android bukan? At the end apakah Android hilang dari pasaran?

Kita harus menerima bahwa market transportasi telah berevolusi. Transportasi berbasis aplikasi sudah terbentuk pasarnya dan semakin banyak yang membutuhkan. Walaupun seandainya Uber dan Gojek dilarang akan ada pemain-pemain baru menggantikan kekosongan mereka.

Pesan saya pilihan ada di jempol kita mau pilih yang mana. Ingatlah dari semua kasus yang "menjebak" Uber tidak ada 1 pun driver ditahan dan tidak ada 1 denda pun dikenakan. Mengapa? Karena operasi penahanan yang dilakukan oleh oknum tersebut juga tidak punya payung hukum. Mengingat UU yang mengatur tidak ada. Bagaimana mungkin dibilang melanggar, jika aturannya saja belum ada dengan jelas dan detail mengatur.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun