Menanggapi perkembangan terakhir sepak bola Indonesia, pasca terhindar dari sanksi FIFA 14 Desember lalu, Save Our Soccer (SOS) menegaskan bahwa Task Force tidak efektif lagi dalam proses penyelesaian kisruh sepak bola di Indonesia, untuk itu harus dibubarkan. Hal ini disampaikan oleh juru bicaranya Apung Widadi (18/12/2012).SOS juga menyampaikan beberapa poin disebut mereka sebagai langkah strategis dalam memperbaiki persepakbolaan di Indonesia.
Poin-poin tersebut adalah:
Pertama, Task Force harus bubar. Dengan keputusan FIFA secara tidak langsung tugas Task Force telah selesai, karena sesuai tugas utama agar PSSI tidak di sanksi telah tercapai. Selain itu, Task Force juga membebani APBN yang berujung pada pemborosan uang negara dan di masa depan organisasi tersebut cenderung membahayakan masa depan PSSI karena diduga akan menjadi senjata "intervensi" bagi PSSI di kemudian hari dan akhirnya sanksi FIFA itu benar-benar tiba.
Kedua, KPSI sebagai organisasi ilegal harus dibubarkan. Jika pemerintah dan stakeholder sepak bola berpikir jernih, masalah utama sepak bola kita yang terjerumus dalam konflik adalah kehadiran KPSI yang ilegal sebagai bentuk balas dendam dan kekecewaan pasca kongres Solo (2011). Secara hukum dan peraturan yang ada dalam sistem keolahragaan di Indonesia, organisasi tersebut tidak diakui dan ilegal. Oleh karena itu, Menpora dan Menteri Hukum dan HAM atas nama bangsa dan negara harus segera membubarkan KPSI.
Ketiga, restrukturisasi PSSI sekarang juga. Hampir 20 bulan PSSI mengelola sepakbola Indonesia, hasil saat ini sangat mengecewakan. Bahkan tidak lagi mempunyai karakter organisasi yang dapat mengharumkan nama bangsa dengan berprestasi diluar negeri. Kinerja PSSI dari pengelolaan keuangan, manajemen timnas, pengelolaan media, pembinaan usia muda hingga masalah kompetisi sangat mengecewakan -- bahkan terkesan menghianati amanat reformasi sepakbola Indonesia tahun 2010.
Menurut SOS, saat ini kinerja PSSI buruk karena sumber daya dan pengurusnya tidak mampu bekerja. Bahkan banyak "benalu" organisasi yang menghambat pencapaian janji reformasi. Masih banyak pengurus juga yang bermental mafia, bermain dua kaki antara PSSI dan KPSI, main mata dengan penjudi dan masih sangat rentan akan suap. Tradisi buruk sejarah hitam sepakbola kita belum hilang, karena penyamun dan penjahat sepakbola juga sebagian masih bercokol di PSSI. Oleh karena itu, menjadi momentum yang pas saat ini untuk restrukturisasi PSSI. Merampingkan organisasi dan memecat "benalu-benalu" yang melemahkan PSSI.
Keempat, wujudkan kompetisi profesional tanpa APBD, menjelang unifikasi kompetisi antara LPI dan LSI masih sarat akan bau busuk adanya indikasi APBD kembali dipakai untuk mendanai klub sepakbola menjalani kompetisi. ISL disinyalir masih akan mengandalkan APBD sebagai mesin uang klub. Modusnya melalui APBD-Perubahan tahun 2012 dan APBD tahun 2013. Tentu saja ini menghianati reformasi sepakbola Indonesia, harus segera dihapuskan dan diberi sanksi tegas. Jika klub memakai dana APBD harus di sanksi tidak boleh ikut kompetisi resmi.
Kelima, Presiden harus segera memilih Menpora yang netral dan mampu menyelesaikan konflik sepakbola Indonesia. Sepakbola indonesia bergerak di bawah naungan undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN). Penanggungjawab atas UU tersebut adalah Menpora. Dalam hal tersebut, Menpora mempunyai nilai strategis untuk menyelesaikan konflik sepakbola. Pertimbangan inilah yang harus menjadi dasar Presiden memilih Menpora.
REFERENSI:Â Detiksport. com
Wassalam
Malonda Gaib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H