Mohon tunggu...
Nur Kumalasari
Nur Kumalasari Mohon Tunggu... -

Likes Movies, Books, Sports, Musics and else

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kutitip Cinta Kepada Tuhan (1)

17 Desember 2012   09:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:29 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Robert Pattinson memelukku erat, dekapannya semakin dalam, seperti berujar agar aku tetap disisinya dan tidak lagi ragu pada keputusanku, selamanya melupakan sahabat kecilku yang belakangan baru kuketahui adalah manusia setengah serigala. Dia semakin rapat memelukku, dingin tubuh vampirnya makin kurasakan, hembusan nafasnya di telingaku seperti angin kutub selatan, aku membalasnya lebih erat, yakin bahwa hatiku memang murni kepadanya, dan ketika wajah kami semakin dekat.

Gubrag, bantal guling yang sedari tadi kupeluk terlempar ke lantai seperti tubuhku yang barusan terjun bebas mendarat diatas permadani yang terhampar disamping ranjang tidurku. Ternyata cuma mimpi, sebagai manifestasi dari mantengin Breaking Dawn sebelum tidur. DVD player dan tv di kamar masih hidup, sepertinya aku ditonton tv tadi malam. Mami tidak berisik seperti kebiasan subuhnya, karena tahu kalau aku sedang cuti shalat, dan karena itupun aku kembali naik ke tempat tidur, menarik selimut lalu melanjutkan mimpi.

Mami dan Onah Monica, asisten rumah tangga mami yang telah mengabdi lama kepada mami dan mengaku setia menggandrungi Agnes Monica sibuk dengan aktifitas dapur, mami bolak balik mengambil bumbu untuk membuat nasi goreng, irisan kol dan daun sawi dimasukkan berbarengan plus tambahan cabe rawit sebagai pelengkap. Mbak Onah disamping dapur khusyuk memeras cucian yang dia angkat dari dalam mesin cuci setelah putaran waktu berhenti. Wajahnya basah keringat, campuran dari kelelahan mencuci dan keletihan menopang tubuhnya yang makmur sentosa loh jinawi. Mulutnya tidak henti menggumamkan lagu sik asik Ayu ting ting, sebuah inkonsistensi ketika mengaku fans Agnes Monica tapi mulutnya hoby menyenandungkan dangdut, padahal mami sudah seringkali menasehati untuk tidak bernyanyi saat kerja, tapi mami akhirnya menyerah karena mungkin itulah kiat Mbak Onah untuk tidak dikuasai lelah.

Mami selesai membuat nasi goreng, mengambil serbet dan mengangkat wajan berisi aroma super sedap menuju meja makan minimalis dibawah tangga, membaginya menjadi empat porsi, seperti biasa. Mbak Onah lanjut menjemur di halaman belakang. Langkah mami terdengar menaiki tangga mendekat ke pintu kamarku.

“Sarah” teriak mami dari luar, mencoba menghargai privasiku untuk tidak langsung menerobos, padahal pintu kamar tidak pernah terkunci.

Aku masih setengah sadar, tapi kuputuskan untuk terus lelap.

“Sarah, udah jam enam, nanti terlambat, kebiasaan”

Mami begitu saja sudah dikasurku, menarik selimut dan mengguncang tubuhku.

“Iya, dikit lagi mi, gak usah bohong, Sarah tau ko sekarang masih setengah enam”

“Dasar, udah cepet bangun nanti keburu disamper”

Mami pergi meninggalkan kamar setelah sebelumnya mengambil tumpukan pakaian kotor di dalam box anyaman bambu yang ada didepan kamar mandi.

Setengah jam untukku adalah waktu yang sangat lumayan untuk menambah tidur, bahkan aku bisa melakukannya untuk lima menit sekalipun, jadi sudah menjadi hal biasa untuk mami berteriak tiap pagi di hari sekolah, satu lagi, aku berharap tamu langganan pagi ini datang sedikit lebih siang karena jika dia datang pasti tidur tambahanku akan menjadi tidak berkualitas.

“Assalamualaikum”

Seperti pagi yang kemarin, malaikatpun tidak berpihak padaku pagi ini, sengaja menolak do’aku yang baru saja selesai aku terawangkan, karena sayup kudengar ucapan salam ala bule amrik dari bawah, tamu langganan is in the house!

“Waalaikumsalam” Jawab mami

“Pasti belum bangun kan mi”

“Mana bisa bangun kalo cuma sama mami, udeh jadi Job desc kamu disini”

“Laksanakan mi” ucapnya tegas, dan cepat langkahnya meniti tangga, secepat aku mengunci pintu kamar.

Tanpa mengetuk dia langsung berniat membuka pintu, tapi pintu kamarku sudah terlanjur kukunci, puas hatiku tidak mendapat gangguan darinya pagi ini. Aku kembali rebah di tempat tidur memaksakan mata untuk merem tapi ketika aku hendak merapatkan selimut sesosok tubuh menarik dan melipatnya begitu saja. Huff, sepertinya aku lupa mengunci jendela, makhluk itu pasti memanjat lewat tangga bambu dari depan, tangga yang sengaja dia buat untuk kemudahan aksesnya di kamarku.

“Bangun, hari ini kita ada ulangan Fisika” serunya, konsentrasiku tertarik, masih tetap malas.

“Bohong, udeh kaga mempan kalo pakai trik ini” jawabku malas menutup wajah dengan guling. Dia tidak menyerah lalu membuka tirai jendela dan membiarkan berkas cahaya yang perlahan terang menyilaukan mataku.

“Pilih bangun sendiri apa aku gendong ke kamar mandi” tantangnya berdiri di sisi ranjang, kedua lengannya siap mengangkatku.

“Bangun sendiri, ampun, ampun” aku beranjak dari ranjang langsung masuk ke kamar mandi, dan seperti kebiasaannya ketika aku selesai mandi pasti tempat tidurku sudah rapi olehnya.

Mami, Mbak Onah dan Dimas sudah standby di meja makan, masih dengan langkah malas aku turun menuju mereka yang sudah lebih dulu berkumpul mengelilingi meja makan, kursi Mbak Onak seperti lebih kecil diantara yang lain sehingga tubuhnya penuh sesak diatasnya, Mami tenang menyuap satu sendok nasi kedalam mulut, disamping kursi kosongku Dimas lahap menghabiskan porsinya.

“Numpang sarapan kok langganan” ledekku sambil meneguk susu coklat.

“Usil deh” jawabnya singkat tidak menanggapi, mungkin karena seringnya aku meledeknya dengan kalimat ini.

“Yeh emang bener, dirumah kamu tuh ada koki internasional tapi tetep doyan nenangga”

“Aku sudah telfon dad, Kemarin udeh aku sudah suruh balik ke hotel, mau dia bikin masakan ala apapun lebih enak masakan mami, ya mi” bantahnya melirik mami.

“Wah mi, besok mesti kasi bill ke dia mi, keenakan makan gratis mulu”

Mami tersenyum

“Aku bayar pake besarnya cinta aku ke mami” jawabnya kembali mengerling mata ke mami.

“Gubrag, modus deh!”

“Berantemnya kalian adalah menu sarapan paling menyenangkan untuk mami”

Ujar mami santai tidak lepas tersenyum, kami tertawa berbarengan termasuk Mbak Onah yang diam-diam menambahkan telor ceplok keatas piringnya.

“Mas Dimas, poto berdua lagi donk, poto yang kemaren mbak kasi liat ke arisan pembantu komplek pada iri gitu ngeliat mbak poto sama mas Dimas, pada ikutan minta poto Mas Dimas, mereka asal Bloothooth akhirnya malah kehapus Mas, poto lagi ya”

Permintaan Mbak Onah panjang kaya kereta jabotabek, mami meladeni dengan tertawa keras, Dimas makin bikin tingkah ngeselin dapet pujian gratis dari Mbak Onah. Meski Dimas belum menanggapi tapi Mbak Onah langsung duduk mendekat dan mengambil pose-pose gerahin mata. Mbak Onah bisa dibilang pemuja Dimas, kalau sudah bertingkah kadang bikin kesal tapi juga menghibur, banyak pembantu komplek yang iri dengan kedekatan mbak Onah dan Dimas, Mbak Onah bilang pekerjaan selelah apapun akan hilang kalau sudah melihat Dimas. Sudah sering memang karena wajah indo bulenya, Dimas menolak tawaran dari beberapa agency model untuk gabung, tapi Dimas memang tidak interest, karena itu tanpa pikir panjang dia selalu menolak tawaran-tawaran itu, terlebih ketika dia bertanya saran mami soal modeling yang memang tidak istimewa menurut mami. Mami untuknya seperti Tuhan, tidak ada kata tidak untuk ucapan apapun yg keluar dari mulut mami.

Dimensiku didetik itu melompat jauh pada ingatan tujuh tahun lalu, bahwa tidak ada hari kulalui tanpa sisipan kehadirannya sejak aku duduk di kelas satu Sekolah Dasar, sejak hari ketika Dimas berdiri kebingungan didepanku, hari ketika ku jatuh dari sepeda di panas yang terik tidak jauh dari rumah. Tidak tahu kapan dan bagaimana, tau-tau Dimas sudah berdiri didepanku, bingung melihat darah yang merembes di lututku, saat itu aku menangis histeris, air mata dan ingus berbarengan mengotori wajahku, tapi Dimas tidak lama berdiri, dia lalu berjongkok didepanku, mengambil sapu tangan handuk dari saku kemejanya lalu menutup lukaku, aku terus menangis tapi dengan keunikannya dia berusaha menenangkanku.

“Where is your Home” itu menjadi kalimat pertama yang dia katakan kepadaku

Aku mengerutkan dahi tidak mengerti ucapannya.

“Your Home Please, let me take you to your home” dia mengulang pertanyaannya.

Aku memilih menangis lagi, histeris memanggil mami.

“Home, rumah” Dia tetap berusaha, aku sesegukan antara bingung dan merasakan sakit dengkulku. Tapi kemudian aku menunjuk sebuah rumah dua lantai bercat putih tidak jauh dari tempatku sekarang.

“Okey, let me help you”

Dimas memegang lenganku, dia melingkarkannya dibahu. Lalu memapahku berdiri dengan susah payah, saat itu tubuh kami sama-sama kecil jadi bukan hal mudah untuk memapahku berdiri, tapi dia berhasil melakukannya. Tertatih aku dan Dimas berjalan ke rumah, aku tidak henti meneriakkan mami sepanjang tangisku, tapi entah darimana saat itu sebagai anak kecil dia telah memberikan rasa aman.

Mami yang mungkin mendengar teriakanku sudah ada didepan rumah, berhambur menyambutku, wajah mami panik tapi saat itu Dimas entah kemasukan pria dewasa darimana dia malah tua menenangkan mami.

“She’s Oke, please don’t cry lets us take her to the hospital”

Mami menurut mengangguk

“Thank You, Who is your Name?”

“Dimas”

“Thank You Dimas, wait here for a moment, I will get the car as soon, please”

“Its oke, im Here”

Aku masih menangis tidak mengerti apa yang mami dan Dimas bicarakan, tapi saat itu Dimas duduk di sisiku, masih didepan rumahku, sementara mami mengeluarkan mobil dari garasi. Setelah memarkirkan mobil mami cepat menggendongku ke dalam mobil, tapi begitu mami mau masuk mobil Dimas kembali bersuara.

“May I join with You” pintanya pada mami

“But Your Parents?”

“I will calling them in the way”

Mami begitu saja mengangguk, lalu dia masuk dan duduk disampingku. Sepanjang perjalanan dia tidak lepas dari menekankan sapu tangannya di lukaku, saat itu darahku masih terus rembes sepertinya lukaku memang cukup besar sehingga saat itu darah tidak berhenti keluar, sesekali Dimas melirikku memberikan senyum yang tidak kumengerti, tapi menenangkanku, mami pun tidak lepas bolak balik menengok ke belakang sambil tetap berkonsentrasi mengemudi.

Aku mendapatkan sepuluh jahitan dibawah dengkul, setelah cukup pulih dokter langsung memulangkan aku, ingatanku masih teramat jelas ketika Dimas mengambil alih kursi roda yang mami dorong, dia terus mendorongku sampai masuk mobil. Seperti telah menjadi tetangga yang lama Dimas terus berada di rumah menemaniku berbaring di sofa, sampai tidak lama berselang Maminya datang menjemput di rumah. Saat itu hati anak kecil milikku seperti berikrar bahwa dia adalah sahabat terbaikku, dan satu bulan setelah kejadian itu Dimaslah yang menemaniku sekolah, terkadang menggunakan sepeda, bombardir mini miliknya atau malah diantar supir pribadinya, semenjak kehadirannya aku seperti diambil alih dari mami, banyak tugas-tugas mami yang terwakilkan olehnya.

Kata-kata Dimas hari itu masih tergores tajam dalam ruang memoriku saat ditanya oleh daddy nya soal sekolah, dia cuma jawab sekolah yang sama seperti Sarah, pun ketika Dimas harus masuk kelas dua dia kembali menolak dan memohon kepada dad untuk menempatkannya di kelas satu bersamaku.

Ayah Dimas asli New York Amerika, bekerja sebagai staff di Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia, sementara mami asli Kelahiran Jakarta, Dimas lahir dan besar di New York, baru ketika papanya dipindah tugaskan ke Jakarta Dimas ke Indonesia.

Lamunanku akan kilas balik tujuh tahun lalu tersadar ketika Dimas menyuapiku satu sendok nasi goreng, tanpa dikomando mulutku langsung menganga.

“Ngelamun aja” ujarnya santai, sambil kembali hendak menyuapi satu sendok lagi ke mulutku.

“Kenyang”

“Tanggung” Dimas memaksa, kembali membuat mulutku menganga.

“Anak pintar” ujarnya puas.

Senyum haru mami tertangkap sudut mataku, ada air mata yang hampir jatuh tapi sigap ditepis mami seraya bangkit dari duduknya. Aku memilih pura-pura tidak tahu dan mengikuti Dimas mencium punggung tangan mami cabut ke sekolah.

Dimas adalah satu-satunya laki-laki dikeluarga kami, dia bukan keluarga tapi dia telah menjadi bagian dari anggota keluarga. Papi dan mami bercerai sejak aku masuk Sekolah Dasar, alasan mereka baru kuketahui saat aku berseragam biru, sebuah alasan yang membuatku berhenti menyalahkan mami karena tidka mampu bertahan pada papi, alasan yang seketika membuat jarak yang lebar antara aku dan papi, praktis setelah hari itu aku sangat jarang berkomunikasi dengan papi, bicara seperlunya untuk keperluan sekolah, atau jika tidak begitu memaksa aku memilih menyelesaikan sendiri.

Continue ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun