Mencuatnya kasus First Travel menjelang musim haji 2017 cukup mencoreng dunia usaha travel haji dan umrah di Indonesia. Banyak yang mengaitkan kasus ini dengan ya hidup mewah pemilik First Travel. Pembahasan kasus ini bahkan merembet juga ke demo 212 dan kasus penistaan agama yang menimpa Ahok.
Di tengah pergunjingan hangat tentang kasus ini, ada pertanyaan penting yang seharusnya menjadi fokus perhatian pelaku usaha, khususnya pemilik atau pengelola bisnis travel haji dan umrah: Apa yang salah dari pengelolaan dana jamaah di First Travel dan bagaimana agar perusahaan-perusahaan travellain bisa terhindar dari masalah serupa?
Gaya hidup mewah tim manajemen First Travel menjadi sorotan publik dengan didasari dugaan bahwa ke sanalah dana jamaah dilarikan. Ada juga yang berhipotesa bahwa First Travel menerapkan skema Ponzi karena biaya layanan yang ditawarkan murah. Investasi yang salah untuk memutar dana ditengarai juga menjadi salah satu penyebab masalah.
Mari kita bahas satu per satu tiga dugaan akar masalah di atas.
Tidak dipungkiri memang gaya hidup Andika dan Anniesa Hasibuan seperti yang bisa dilihat di akun Instagram mereka cukup 'wah' bagi standar rata-rata orang Indonesia. Tapi mari lihat pertanyaan ini dari sudut lain: Apakah pengusaha travel haji dan umrah tidak mungkin punya gaya hidup di atas rata-rata orang kebanyakan? Dari sudut pandang ekonomi di mana permintaan (demand) akan jasa pelayanan travel haji dan umrah selalu melampaui suplai dan terus meningkat dari tahun ke tahun, hal ini sebenarnya mungkin-mungkin saja. Yang penting, pendapatan perusahaan lebih besar dari pengeluaran dan manajemen menarik kompensasi (bisa dalam bentuk gaji, dividen atau bonus) dalam jumlah yang wajar sehingga roda bisnis perusahaan masih bisa terus berputar.
Pertanyaannya sekarang apakah manajemen keuangan semacam ini yang berlaku di First Travel? Ataukah gaya hidup para pemiliknya didanai dari uang hak calon jamaah yang tercampur aduk dengan keuangan pribadi? Penyelidikan polisi masih berlanjut mengenai hal ini. Namun melihat banyaknya rekening bank yang diselidiki untuk mengusut kasus ini, kemungkinan besar sistem manajemen keuangan di First Travel memang tidak terlalu baik. Hal ini diperkuat oleh pernyataan salah satu mantan karyawan First Travel baru-baru ini.
Seorang pengusaha travel haji dan umrah Indonesia yang ditemui penulis memberi pandangan alternatif tentang dugaan bahwa First Travel menerapkan skema Ponzi karena murahnya biaya layanan yang ditawarkan. "Mungkin saja biaya umrah ditekan sehingga paket yang ditawarkan sekitar 15 juta. Misalnya, biaya tiket pesawat bisa ditekan dengan men-chartersatu pesawat sekaligus," ujarnya. Namun ia juga menambahkan bahwa cara menekan biaya semacam ini juga cukup beresiko, karena bisa jadi jumlah jamaah yang bisa diberangkatkan tidak sepadan dengan biaya yang sudah dikeluarkan di awal. Jika manajemen keuangan perusahaan tidak dikelola dengan hati-hati, keuangan perusahaan bisa jebol.
Sangkaan investasi ke koperasi Pandawa memperkuat dugaan bahwa manajemen keuangan internal First Travel tidak dikelola dengan profesional. Jika benar dana jamaah diinvestasikan ke koperasi tersebut, manajemen First Travel akan terbukti kurang mawas resiko sehingga tidak hati-hati dalam mengelola dana yang dipercayakan oleh para kliennya. Iming-iming bunga 10% yang ditawarkan koperasi Pandawa seharusnya sudah cukup mengundang kecurigaan karena di ilmu manajemen keuangan berlaku istilah "high risk, high return". Dengan kata lain, imbal balik atau keuntungan yang tinggi selalu ditemani dengan resiko yang tinggi.
Apa hikmah yang bisa dipelajari oleh para dari kasus ini?
Pertama, sebaiknya asosiasi pengusaha travel haji dan umrah seperti AMPHURI dan HIMPUH mengadakan sosialisasi dan pelatihan manajemen keuangan secara rutin bagi para anggotanya. Yang kedua, manajemen yang baik manajemen yang baik membutuhkan sistem.
Seperti yang dikatakan oleh mantan pegawai First Travel, beliau mengatakan bahwa "sistem kerja dan pengelolaan keuangan  perusahaan tidak sesuai standar travel umrah, tur, dan domestik. Selain itu, ada yang janggal dalam sistem pembagian kerja. Satu divisi dengan divisi lainnya  bisa bertukar pekerjaan, padahal tidak sesuai dengan kompetensinya. Akta keuangan juga tidak punya seperti pengalaman saya di travel sebelumnya".