Mohon tunggu...
Malindo Andhi Saputra Marpaung
Malindo Andhi Saputra Marpaung Mohon Tunggu... konsultan -

Assistant Researcher @ Pusat Studi Infrastruktur (Infrastructure Study Center), Regional Development, Faculty of Geography, Gadjah Mada University. Concern in Political, Social, Economy and Development subject @MalindoAndhi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ke Mana Yogjakarta?

9 September 2014   06:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:14 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Macet...macet... dan macet, pemandangan tersebut bukanlah sesuatu yang sulit ditemukan di YogJakarta dewasa ini, apalagi pada peak hour (jam sibuk). Jalan-jalan YogJakarta saat ini sudah terlihat sangat sempit dan over capacity untuk menampung banyaknya kendaraan bermotor yang ada. Hal ini bukan hanya terjadi di dalam kota YogJakarta saja, melainkan dipinggiran perkotaan YogJakarta sebut saja di Jalan Kaliurang dan Jalan Seturan yang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Sleman. YogJakarta memang berubah, bukan hanya wajah, melainkan jiwanya pun sudah berubah, perubahan ini ibarat sebuah air minum mineral yang berubah menjadi minuman bersoda. Baik tampilan kemasan hingga isinya telah berubah drastis.

Tampilan yang berubah secara fisik jelas terjadi dengan kecepatan dan percepatan yang menakjubkan, seperti yang telah digambarkan sebelumnya jalanan sudah penuh sesak dengan kendaraan bermotor, bukanlah jalanannya yang berubah melainkan kendaraannya yang bertambah, dari sudut pandang saya, pendatang terutama mahasiswa yang mengenyam pendidikan di YogJakarta sebagian besar merupakan kalangan menengah ke atas, hal ini cukup wajar mengingat negara kita sedang naik level menjadi negara menengah dari sisi pendapatan. Wajah lainnya yang berubah yaitu maraknya pembangunan fisik seperti mall, hotel, apartemen, ruko dan toko yang mulai memenuhi bagian kosong dari setiap tapak lahan kosong di kota pendidikan ini, sangat sulit menemukan keberadaan tanah kosong di dalam kota.  Dampak keterbatasan lahan terlihat jelas di daerah pinggiran kota yang secara umum sudah masuk wilayah perkotaan YogJakarta yang perubahannya terbilang luar biasa, sawah-sawah yang tadinya masih ditanami padi, kini berlahan-lahan menjadi bangunan megah. Berdasarkan data diketahui bahwa terdapat puluhan pembangunan hotel baru yang 80 % telah dilaksanakan pembangunannya, terdapat 4 pusat perbelanjaan baru dan puluhan bahkan mungkin ratusan perumahan skala kecil yang dibangun di YogJakarta dan pinggirannya.

Tampilan fisik ini tentunya merupakan pemicu berubahnya isi ataupun jiwa dari YogJakarta, kota yang tadinya nyaman kini berubah menjadi kota yang “menjengkelkan” akibat kemacetan, polusi baik udara maupun suara, kenyamanan YogJakarta dipertanyakan. berdasarkan survei Ikatan Ahli Perencana Indonesia tahun 2014 dalam Indonesian Most Livable City Index 2014 , posisi YogJakarta merosot jauh dari yang awalnya merupakan kota dengan tingkat livable teratas kini merosot menjadi peringkat ke 4 dibawah Balikpapan Solo, dan Malang. Kota yang awalnya terkenal dengan kenyamanannya telah berubah menjadi "sangar". Saat ini bukanlah kenyamanan kota yang telah merubah watak para pendatang melainkan para pendatang tampaknya memegang peranan dalam mengubah jiwa YogJakarta. Berbagai kekerasan, pertikaian, dan gesekan masyarakat terjadi, penyebabnya tentu saja dipicu para pendatang hingga yang terbaru kasus mbak flo yang melakukan penghinaan terhadap kota yang terkenal ramah terhadap orang luar ini.

Saya tidak bisa membayangkan menjadi apa kota YogJakarta 10 tahun mendatang jika tidak dilakukan tindakan pencegahan sejak dini, bisa dipastikan permasalahan yang lebih kompleks akan muncul dimasa depan. Kemacetan akan menjadi-jadi, kenyamanan bukanlah menjadi daya tarik lagi, dan pastinya image kota berpendidikan akan menghilang berlahan dengan sikap-sikap intoleran yang tidak teratasi. YogJakarta sedang kehilangan jati dirinya, terlalu banyak melihat keluar sehingga lupa diri. Pembangunan memanglah penting, fisik memanglah menarik, tapi ibarat mencari pasangan bukankah hati atau jiwa juga tidak kalah pentingnya. Kita tidak ingin berada disamping wanita cantik yang jiwanya kotor atau tidak sehat bukan ?. Saat ini dibutuhkan perencanaan yang lebih matang, kompleks dan melihat kepada jati diri YogJakarta yang sebenarnya, untuk apa kita menuangkan gula terus menerus ke dalam teh yang telah manis, bukankah nantinya bisa menyebabkan penyakit bagi yang meminumnya?. Aturan, pembatasan bahkan penghentian dan disiplin diperlukan untuk mencegah penyakit yang tidak diinginkan datang di masa depan. Saat ini kita mungkin sudah menyadari gejalanya dan mari mulai berfikir dan kemudian bertindak. Kembalikan jogjaku, jangan biarkan dia menghilang tanpa jejak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun