Mohon tunggu...
Malinda Sembiring
Malinda Sembiring Mohon Tunggu... Dosen - Nothing is impossible because anything is possible if you believe

PhD Student in Sustainability Accounting at The University of Auckland| Lecturer| Ig/twitter @mssembiring_

Selanjutnya

Tutup

Money

Mereposisi Kesadaran Wajib Pajak Lewat Wajib Zakat

4 September 2015   10:00 Diperbarui: 4 September 2015   10:58 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pajak vs Zakat/google image"][/caption]

Masalah pajak masih terus terjadi hingga saat ini. Apakah seputar rendahnya kemauan masyarakat wajib pajak dan badan wajib pajak untuk melaporkan penghasilan, maupun rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap pengelola pajak. Permasalahan lain pun timbul, tatkala seorang wajib pajak juga terikat dengan kewajiban zakat. Tak jarang hal ini menimbulkan perdebatan panjang yang berujung kelesuan wajib pajak untuk menunaikan kewajiban terhadap negara. Pajak dan zakat pun terus diperbandingkan dan dikaji banyak pihak, sebagian menyatakan pajak dan zakat harus dilaksanakan karena menyangkut kewajiban terhadap negara dan agama. Pihak lain menyatakan pajak saja sudah cukup.

Kesadaran masyarakat yang rendah untuk membayar pajak memang tak lantas bisa diubah dengan aturan-aturan yang ditetapkan direktorat jenderal pajak. Perlu pemahaman dan tindakan solutif yang tidak memberatkan wajib pajak maupun pemerintah sebagai pihak yang hidup dengan pajak yang dibayarkan masyarakat. Menarik ketika kita memasukkan unsur zakat sebagai umpan penyemangat wajib pajak karena umumnya masyarakat lebih nyaman menjalankan kewajiban agama dibandingkan aturan negara.

Menilik presentasi kaum muslimin di Indonesia yang sangat besar, mereposisi kesadaran wajib pajak lewat wajib zakat sangat memungkinkan untuk dilakukan. Apa lagi banyak masyarakat awam yang sering salah kaprah dan merasa dirugikan akibat kewajiban ganda membayar pajak dan zakat.

Sebelum berbicara lebih dalam mengenai bagaimana mereposisi kesadaran wajib pajak, ada baiknya kita membahas secara harfiah mengenai pajak dan zakat serta bagaimana keduanya dapat saling dikaitkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pajak.

Pajak sebagai salah satu kewajiban yang harus dibayarkan oleh masyarakat atau badan berstatus wajib pajak memiliki beberapa definisi. Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2007, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Secara etimologi, dalam Pajak Menurut Syariah oleh Gusfahmi, pajak dalam bahasa arab disebut dengan istilah dharibah yang berasal dari kata dasar dharaba, yadhribu, dharban yang artinya mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan, atau membebankan.

Penyebutan dharibah menunjukkan pajak sebagai beban tambahan setelah adanya zakat. Dharibah di sini berfungsi sebagai sumber baru yang pemanfaatannya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena kebutuhan tersebut tak dapat diambil dari sumber lain seperti zakat yang sudah diatur siapa yang berhak mendapatkannya.

Sementara itu, zakat berasal dari kata zaka, berarti tumbuh yang subur. Makna lain seperti yang disebutkan dalam Alquran adalah suci dari dosa. Jika kita kaitkan dengan harta, maka harta yang dizakati itu akan tumbuh berkembang, bertambah karena suci dan berkah (Gustian Djuanda: 2006).

Secara definisi, dalam Pajak Menurut Syariah oleh Gusfahmi, Mazhab Maliki mendefinisikan zakat sebagai, “Mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nisab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq)-nya. Dengan catatan kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl (setahun), bukan barang tambang dan bukan pertanian.” Sedangkan Mazhab Hanafi mendefinisikan zakat sebagai, “Menjadikan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus, yang ditentukan oleh syariat karena Allah SWT.”

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa zakat diperuntukkan kepada mereka yang berhak menerimanya, yang dalam Alquran Surah Al-Taubah Ayat 60, dijelaskan zakat diperuntukkan bagi delapan golongan terdiri atas fakir, miskin, pengurus zakat, para Muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang yang sedang dalam perjalanan. Selain delapan golongan ini, tidak boleh diberikan zakat termasuk untuk urusan perekonomian negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun