Di kelas 1 SMA, saya sempat terjebak dalam kebingungan memilih jurusan yang akan saya jalani selama dua tahun. Saya memiliki keluarga dengan latar belakang pendidikan tinggi dan berkecimpung di dunia akademik.Â
Ayah saya seorang dosen fisika dan kakak yang sedang menempuh pendidikan di program studi Kimia. Saya merasa tertekan dengan banyaknya pilihan dan keinginan yang terus berganti setiap saat. Nilai-nilai saya relatif baik di kedua bidang. Saat itu, SMA hanya menawarkan dua program, yaitu Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).Â
Pengalaman buruk saya dengan matematika membuat guru  mata pelajaran tersebut menyarankan saya mengambil jurusan IPS. Sementara itu, ayah saya mengungkapkan ketertarikan untuk melihat saya menjadi sarjana ekonomi.
Berbagai kemungkinan seolah membanjiri pikiran saya; rasa takut akan kesempatan yang kecil membuat saya ragu untuk langsung beralih ke jurusan IPS. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengikuti saran guru dan mendaftar di kelas XI IPA 1---kelas yang diisi oleh teman-teman dengan nilai rapor tertinggi. Namun, tekad saya untuk menemukan jalan yang sesuai semakin menguat. Setelah berdiskusi dengan wakil kepala sekolah yang juga guru fisika, saya mengambil langkah berani untuk pindah ke Kelas XI IPS 1.
Setelah hanya sehari berada di kelas baru, perasaan terjebak mulai menghantui saya. Ketertarikan saya terhadap dunia statistik memunculkan keinginan untuk mendaftar di sekolah kedinasan bidang statistik, tetapi kenyataan pahit bahwa mereka hanya menerima lulusan jurusan IPA menghantam saya. Dalam kebingungan ini, saya kembali menghadap guru untuk meminta pindah jurusan lagi. Meskipun peluang tampak tipis, tekad saya untuk mencari jalan keluar tidak surut.
Akhirnya, keputusan yang tepat menghampiri saya. Seorang teman di kelas IPA 1 memilih untuk tidak melanjutkan dan pindah ke kelas lain, membuka kesempatan bagi saya untuk kembali. Dengan gembira, wakil kepala sekolah menginformasikan bahwa saya bisa pindah kembali ke kelas IPA 1. Teman-teman dari kelas tersebut menyambut saya dengan hangat, dan dalam momen itu, saya merasakan harapan baru muncul dalam perjalanan yang penuh ketidakpastian ini.
Namun, perjalanan saya tidak berhenti di situ. Di akhir kelas XII, saya kembali dihadapkan pada berbagai pilihan perkuliahan yang membingungkan. Selama di SMA, saya tidak pernah membayangkan bahwa saya akan berakhir di bidang akuntansi. Saya adalah seorang siswa jurusan IPA, yang bermimpi untuk mengejar psikologi atau bahkan kedokteran. Di satu titik, saya juga mempertimbangkan untuk masuk ke pertanian. Sejujurnya, saya memiliki begitu banyak ide tentang apa yang ingin saya capai, tetapi pada saat yang sama, saya tidak yakin tentang satu pun dari pilihan tersebut.
Akuntansi terasa seperti bidang yang menuntut disiplin, struktur, dan ketelitian---kualitas yang tidak saya anggap mencerminkan diri saya. Saya adalah orang yang cenderung berantakan, spontan, dan tidak terlalu suka dengan aturan. Namun, ada sesuatu dalam akuntansi yang membuat saya merasa bisa membawa keseimbangan ke dalam hidup saya, meskipun itu jauh dari rencana awal saya.
Ketika saya tidak lulus ujian masuk universitas untuk psikologi, saya akhirnya masuk ke sekolah vokasi, di mana akuntansi menjadi mata pelajaran yang menonjol. Dalam hati, saya berpikir, "Mengapa tidak?" Rasanya praktis, seolah-olah sesuatu yang dapat saya gunakan terlepas dari arah hidup saya selanjutnya. Namun, jauh di dalam diri, saya menginginkan lebih.
Saya mengambil ujian lain, berharap bisa masuk Universitas Indonesia, tetapi takdir membawa saya ke Universitas Sumatera Utara. Melihat kembali perjalanan itu, saya menyadari bahwa akuntansi bukan hanya tentang angka atau aturan.Â