Mohon tunggu...
Malinda Sembiring
Malinda Sembiring Mohon Tunggu... Dosen - Nothing is impossible because anything is possible if you believe

PhD Student in Sustainability Accounting at The University of Auckland| Lecturer| Ig/twitter @mssembiring_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru Juga Harus Bisa Nulis!

9 April 2013   21:18 Diperbarui: 7 Oktober 2015   09:34 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="http://3.bp.blogspot.com/-fjX9EMG6lmo/UtdIXjuawjI/AAAAAAAAAeo/70vGfbi_ojc/s1600/penulis.jpg"][/caption]“Menulislah maka namamu tak akan terhapus dalam sejarah,” begitu besar porsi tulisan dalam pembentukan identitas manusia. Kartini salah satunya, disebut-sebut sebagai pelopor emansipasi wanita. Padahal banyak wanita-wanita hebat yang bisa saja dijadikan contoh teladan seperti Dewi Sartika, Ken Dedes, bahkan Cut Nyak Dien. Namun, baru disadari perbedaan mendasar tokoh wanita di atas adalah Kartini yang menulis.

Menulis bukan hanya pekerjaan orang-orang besar seperti Kartini atau sastrawan sekelas Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, dan Ismail Marzuki, tapi profesi apa saja yang hidup di sekitar kita saat ini. Tak terkecuali mereka yang biasanya duduk atau berdiri mondar-mandir di depan kelas, guru. Profesi yang disebut pahlawan tanpa jasa ini mestinya tak perlu kesulitan dalam menghasilkan banyak tulisan. Percaya atau tidak, lewat guru-guru ini lah lahir para sastrawan dan banyak penulis. Mestinya guru itu lebih mahir dibandingkan murid-murid mereka kan?

Selain mencatatkan nama dalam sejarah, guru-guru yang cakap menulis juga bisa menjadi contoh nyata dan penyemangat bagi murid-muridnya untuk mengembangkan kemampuan menulis. Di Sumatera Utara sendiri, sangat minim guru-guru yang punya kerja sampingan sebagai penulis. Tak usah bicara tentang menerbitkan sebuah buku, menulis tentang materi sendiri pun masih jarang terlihat. Padahal, tulisan tentang bidang yang dikuasai ini dapat mempermudah guru dalam menyampaikan materi dibandingkan menggunakan buku teks dengan bahasa teks yang kaku.

Hal ini yang sudah dilakukan salah seorang guru mata pelajaran fisika asal SMK Negeri 2 Pasuruan, seperti dilansir kompas.com, Chrisdiyanto yang tulisannya berjudul “Menyederhanakan Konsep” berhasil dimasukkan ke dalam buku berjudul “Guru Reflektif, Guru Pemimpin”. Guru yang mengaku memiliki blog berisi pikirannya tentang fisika itu mengatakan para guru harus menulis. Sayangnya, banyak guru yang tidak terbiasa menulis.

“Memang budaya menulis dibutuhkan kesungguhan. Harus bisa. Banyak teman-teman kesulitan dalam menulis artikel ilmiah. Mereka perlu difasilitasi, diajari menulis. Menulis itu sebenarnya sederhana. Apa yang kita ingat itu saja yang kita tulis dulu. Mungkin enggak tahu mau mulai dari mana, tulis apa aja yang kita ingat. Jadi kemudian setelah itu bisa mengatur alur,” tuturnya kepada Kompas.com.

Keuntungan lain bagi guru yang penulis adalah makin banyak ilmu yang didapatkan seorang guru, banyak menulis umumnya dibarengi dengan kebutuhan akan referensi. Di sini seorang guru menambah pengetahuannya dengan memperbanyak referensi sebagai bacaan sebelum menulis.

Murid-murid tentu tidak perlu bersekolah ketika semua ilmu bisa didapatkan lewat membaca. Namun tak demikian, diperlukan guru untuk mempermudah murid dalam mencerna pelajaran. Lewat apa? Lewat penyampaian guru tersebut di depan kelas dengan menggunakan bahasa yang lebih dekat dengan murid.

Tak dapat disangkal bahwa kurikulum yang ditetapkan bersifat nasional. Semua buku teks dicetak dengan menggunakan bahasa kaku a la Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kadang tak semua sekolah menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Beberapa diantaranya malah masih menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar. Jika guru yang ada tidak dapat menjelaskan dengan bahasa yang lebih sederhana, maka penyerapan ilmu pun pasti tidak maksimal.

Guru dengan kemampuan menulis umumnya akan memiliki retorika yang mumpuni ketika berhadapan dengan para murid. Tentu hal ini akan membuat suasana kelas lebih hidup. Bandingkan saja dengan guru yang hanya membaca buku teks tanpa memberikan penjelasan lebih rinci. Tentu banyak murid akan mengantuk dan bosan. Tujuan untuk mencerdaskan anak bangsa pun kembali harus pending.

Lantas apa lagi yang ditunggu? Kenapa masih saja tak kita temui guru dengan kemauan menulis? Banyak alasan yang dilontarkan ketika ingin mulai menulis. Waktu ditenggarai sebagai alasan sulitnya guru untuk produktif menulis. Padahal tak butuh waktu banyak untuk menulis, apalagi jika yang ditulis terkait dengan bidang yang dikuasai. Seorang guru bisa mulai menulis tentang bahan ajarnya, pengalamannya, atau pengetahuan yang didapatkannya selama mengajar. Belum lagi banyak buku referensi yang bisa dijadikan pedoman.

Ide menulis malah lebih gampang lagi, tentunya dapat ditemukan minimal dari bahan ajar. Seorang guru bisa pula menulis tentang bagaimana menerapkan pendidikan yang baik bagi anak-anak Sekolah Dasar yang tentunya berbeda dengan metode mengajar siswa Sekolah Menengah Atas.

Sementara media sosialisasi tulisan juga sangat luas. Mulai dari media cetak seperti surat kabar, majalah, buletin, dan jurnal hingga media elektronik seperti blog maupun situs pribadi. Media-media ini tentu dapat dimanfaatkan secara luas dan tingkat keterbacaan juga semakin tinggi.

Untuk alasan berikut ini, sepertinya guru tak bisa mengelak lagi untuk tidak menulis. Lewat peraturan terbaru Permendiknas Nomor 35 Tahun 2010 tentang “Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya”, yang didalamnya menyebutkan bahwa guru PNS yang akan naik pangkat/golongan dengan sistem Penilaian Kinerja Guru (PKG) yang salah satu syaratnya menyebutkan bahwa guru harus membuat minimal satu karya tulis ilmiah. Peraturan ini efektifnya akan diberlakukan mulai tahun 2013.

Lalu tunggu apa lagi? Mulai dari ide tulisan hingga media sudah tersedia. Bahkan aturan ‘paksa’ juga sudah diadakan. Tinggal bagaimana seorang guru memang benar-benar menyadari manfaat yang sangat besar dari menulis baik untuk diri sendiri maupun murid yang diajar. Kapan lagi kita bisa menghasilkan output yang berkualitas jika dalam proses saja masih biasa? Itu sebabnya guru juga harus bisa nulis!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun