[caption id="attachment_267386" align="alignleft" width="308" caption="Suporter Bonekmania saat mendukung Persebaya Surabaya di Solo beberapa waktu lalu. (Foto : Antarafoto.com)"][/caption] Bentrok antar suporter sepertinya menjadi hal yang biasa dalam dunia sepak bola di negeri ini, bahkan hilangnya nyawa pun dianggap bagian yang lumrah di setiap bentrok yang terjadi. Sebelumnya yang terbaru terjadi dua bentrok suporter, pertama di Provinsi Jawa Tengah. Derby Jateng yang mempertemukan dua klub Persip Pekalongan dan PSIS Semarang dinodai lempar batu antarsuporter. Di Jawa Timur, bentrok terjadi di Kabupaten Gresik antara suporter Persebaya Surabaya atau biasa disebut bonekmania dengan Aremania atau suporter Arema pada saat laga Persegres GU melawan Arema. Akibat bentrok itu, seorang bonekmania atas nama Muhammad Eric Setiawan (17) tewas setelah menjalani perawatan intensif di RSUD Ibnu Sina, Kabupaten Gresik, dan lima lainnya mengalami luka-luka. Bentrok ini, semakin menambah catatan kelam dan citra buruk persepakbolaan Indonesia yang hingga kini belum mendapatkan prestasi membanggakan bagi bumi pertiwi. Padahal, berbagai usaha untuk mengatasinya terus dilakukan, mulai dari penambahan personel keamanan di setiap pertandingan, penandatanganan kesepakatan damai antarsuporter, pembatasan kuota penonton hingga sanksi berat kepada tim. Namun, nyatanya kedamaian dan kenyamanan menonton sepak bola di negeri ini masih menjadi mimpi belaka, karena tidak ada solusi ampuh mengatasinya. Bila mengaca dari setiap kejadian, timbulnya bentrok antarsuporter itu karena kurang mengertinya suporter dalam memahami prinsip sepak bola yang hanya mempunyai tiga rumus, yakni menang, seri dan kalah. Sehingga, suporter hanya menjadi manusia primitif ketika berada di lapangan, karena hanya mewajibkan kemenangan bagi tim yang didukungnya. Selain itu, latar belakang mayoritas suporter di Indonesia yang berasal dari masyarakat akar rumput, dan efek domino dari kondisi krisis yang dialami Indonesia juga bisa menjadi penyebabnya, sehingga para suporter yang datang ke stadion akan meluapkan emosi secara berlebih yang juga merupakan simbol dari eksistensi. Dengan cara bernyanyi, menyuarakan yel-yel yang provokatif menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka, sehingga pertandingan sepak bolanya hanya menjadi nomor dua, karena tujuan terpenting datang ke stadion adalah mengejar simbol eksistensi. Kekerasan yang terjadi, juga bisa timbul dari dogmatisasi lingkungan yang hanya mengajarkan kebanggaan tanpa mengenal akibat atau resiko. Sehingga, suporter yang terbentuk hanya mengenal satu dimensi tanpa mengenal dimensi lain yang begitu luas, akibatnya suporter hanya akan menjadi kanibal bagi suporter lain yang berlawanan atau tidak sama dengannya. Oleh karena itu, perlu adanya kampanye suporter yang tertib dan santun setiap hari, sebab mengubah kekerasan antarsuporter di Indonesia, sama sama halnya mengubah budaya atau karakter yang selama ini terbentuk. Selain itu, perlunya pemahaman "filosofi pelangi" dalam setiap pribadi suporter, sebab keindahan pelangi bisa terbentuk karena adanya saling menghargai satu sama lain di antara banyaknya warna, dan tidak ada warna yang berjalan mendominasi atau merebut posisi warna lain, sehingga tampak berjalan berjajar pada posisinya masing-masing. Pelangi disebut indah karena di situ ada beberapa warna yang berjalan bersamaan dan saling menghargai, bila hanya ada satu warna maka bukan disebut pelangi, apalagi disebut indah. Perbedaan warna yang tercipta di pelangi bukan pula menjadi musuh bagi warna lain, sama halnya dalam perbedaan yang ada di setiap suporter, karena dalam setiap perbedaan selalu ada ladang amal atau ilmu pengetahuan bagi manusia yang memahaminya.(www.malikpunya.blogspot.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H