Bagaimana Kabar Manusia Indonesia ?
Kepriben Kabare Manungsa Brebes?
Oleh:
Malik Nur Halilintar
dalam Leadership Training dan Pelantika Pengurus OSIS Kabupaten Brebes tahun 2018 tanggal 29 September 2018
Ketika saya membicarakan sebuah narasi dengan judul yang menanyakan kabar manusia Indonesia maupun manungsa Brebes jelas sekali ada dua focus utama yaitu focus pembahasan manusia dan Indonesia maupun Brebes. Namun konsep manusia dalam narasi ini tidak menunjuk kebagai suatu konsepsi manusia yang individual, tapi lebih tepat merujuk kepada konsep generalisasi setiap insane manusia; atau sesuatu tentang masyarakat yang mendiami suatu wilayah geografis dan budaya yang khas, yaitu Indonesia dan lebih khusus Brebes. Â Arah pembahasan narasi ini pun ditujukan bukan menanyakan kabar seperti basa-basi sosial untuk mendapatkan kabar sehat, namun untuk mengetahui bagaimana karakteristik manusia-manusia di Indonesia dan Brebes secara umum dan sosial. Pembahasan dalam keilmuan Psikologi Sosial dapat diidentikkan dengan 'konsep diri masyarakat'.
Konsep diri setiap insane yang secara umum menjadi suatu ciri khas sebagian besar manusia di suatu wilayah terbentuk melalui suatu proses sosial yang panjang, sehingga kita tidak ragu menyebutnya sebagai budaya; hasil ciptaan manusia yang telah dianggap menjadi standar yang umum untuk diimplementasikan. Kesamaan suatu konsep diri dan mentalitas sebagian besar manusia di suatu wilayah memang dapat kita analisis berdasarkan faktor geografis karena mendiami suatu kesatuan iklim wilayah yang sama, sehingga membentuk suatu mekanisme penyesuaian diri dengan lingkungan yang sama dan membentuk pribadi yang hampir sama. Seperti contohnya manusia-manusia yang mendiami wilayah pegunungan dengan iklim dingin memiliki kemampuan menyerap oksigen yang tinggi dan nafasnya menjadi panjang. Adaptasi fisiologis tersebut berdampak pada pengaruh psikologis manusia yang menjadi lebih tenang dalam jiwa dan pikiran yang pada akhirnya memberikan dampak sosial kecenderungan masyarakat pegunungan untuk memiliki perilaku yang damai dan tidak suka berselisih. Namun jika kita membicarakan tentang Brebes maupun Indonensia jelas bukan hanya factor geografis saja yang mempengarhi karakteristik umum masyarakatnya. Melainkan suatu factor lainnya, yaitu factor sosial yang telah berpengaruh dalam membentuk mentalitas masyarakat secara umum. Faktor sosial itu tercermin dari suatu perjalanan panjang rangkaian peristiwa demi peristiwa yang telah dilalui bersama oleh suatu masyarakat; mengalami senasib sepenanggungan. Sehingga factor sosial tersebut secara siklus mempengaruhi mentalitas-mentalitas individu.
Pertanyaannya bermetamorfosis lebih spesifik menjadi 'bagaimana kabar mentalitas masyarakat Indonesia? Kepriben kabare mentalitas manungsa Brebes?' Indonesia sudah memiliki suatu rentang waktu sejak kemerdekaanya untuk zelfbestur (bahasa Tjokroaminoto tentang pemerintahan sendiri) 73 tahun. Artinya kemerdekaan itu juga diimplementasikan dengan suatu upaya yang bebas untuk membangun manusia Indonesia, terutama jiwanya untuk menjadi manusia Indonesia yang diharapkan. Membangun sebuah mentalitas masyarakat adalah mudah, namun justru mengevaluasi dan mengoreksi mentalitas masyarakat adalah pekerjaan yang sangat sulit. Hal tersebut dikarenakan adanya suatu proses yang begitu panjang yang dilalui masyarakat dari sabang sampai Merauke jauh sebelum Indonesia merdeka. Mentalitas bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejak zaman kerajaan-kerajaan, zaman kolonialisme, hingga zaman pasca kemerdekaan. Sehingga masing-masing periodesasi masa menjadi suatu factor yang tidak dapat dikesampingkan dalam mempengaruhi mentalitas bangsa Indonesia.
Manusia Indonesia
Menelusuri jejak teoritis tentang karakteristik masyarakat Indonesia tidaklah mudah. Karena tidak adanya informasi akademis yang melimpah membahas tentang topic tersebut. Namun dapat kita temukan suatu ulasan budaya dari Mochtar Lubis; seorang wartawan Indonesia senior dan penulis yang menyampaikan ceramahnya pada tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki Jakarta mengenai 'Manusia Indonesia'. Dalam ceramah budaya tersebut Mochtar Lubis mengungkapkan 6 karakteristik utama manusia Indonesia. Enam karakteristik utama manusia Indonesia tersebut adalah sebagai berikut:
Hipokrit atau Munafik. Salah satu cirri manusia Indonesia yang cukup dominan adalah lain di muka lain di belakang. Manusia Indonesia menjadi takut untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya dia pikirkan dan rasakan atau tentang fakta yang sebenarnya terjadi akibat khawatir dan takut mendapatkan balasan berupa hukuman dari para penguasanya atau pimpinannya, sehingga Asal Bapak Senang (ABS) menjadi suatu falsafah hidupnya.Sehingga sangat mudah dijumpai 'pelacuran intelektual' di Indonesia. Â Jejak budaya yang sangat membedakan kita dengan Negara lainnya adalah tidak populernya budaya debat ilmiah. Sehingga setiap ada pembahasan suatu topic persoalan kita tidak lebih banyak dan terbuka membahasnya bersama dengan orang-orang lainnya. Namun konskuensipada akhirnya manusia Indonesia banyak yang membicarakan orang lain di belakang nya saja. Penampilan sosialnya menggunakan topeng yang alim, namun begitu mendarat di Singapura, Hongkong, dan Las Vegas langsung terjun ke kasino-kasino dan tempat-tempat klub malam. Kita mengutuk suatu korupsi, malah kita sendiri kadang melakukannya.
Enggan dan segan untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Apabila terjadi suatu kesalahan manusia Indonesia tidak segan untuk mengatakan bahwa 'itu bukan salah saya', 'akan saya buktikan saya tidak bersalah', 'itu salah bawahan saya', 'saya hanya melaksanakan perintah atasan', itulah kata-kata yang paling sering muncul orang-orang yang terjerat korupsi atau permasalahan lainnya. Lain dengan budaya malu yang sangat tinggi di Negara lain, apabila terindikasi melakukan korupsi langsung mengundurkan diri tidak menunggu terbukti terlebih dahulu di Pengadilan. Sebaliknya jika ada suatu keberhasilan atau prestasi, orang Indonesia seakan-akan otomatis segera mengklaim bahwa itu hasil kerjanya, membusungkan dada menihilkan peranan orang dan pihak lainnya.
Manusia Indonesia berjiwa feodal. Manusia Indonesia memberikan suatu respon penghargaan kepada orang lain bukan berdasarkan kemampuannya, melainkan berdasarkan strata sosial yang disandang oleh orang lain. Jika dia orang kaya, pejabat akan lebih dihargai dan otomatis dihargai oleh siapa pun. Berbeda dengan intelektual yang memang memiliki kualitas pemikiran jarang dihargai masyarakat Indonesia. Memang feodal identik dengan kerajaan, tapi ternyata pada kenyataannya istilah raja hanya digantikan menjadi istilah presiden, menteri, gubernur, bupati, Jendral dengan pola perilaku sosial yang sama. Yang berkuasa sangat tidak suka mendengar kritik dan orang lain amat segan untuk melontarkan kritik terhadap atasannya. Yang sangat sering terjadi adalah hanya pemaksaan kehendak atasan kepada bawahan tanpa adanya suatu proses demokratis.
Percaya pada takhayul. Sampai sekarang walaupun sudah banyak yang bersekolah dan di masa modern pun, banyak diantara manusia Indonesia yang tetap percaya pada kekuatan irrasional jimat, mantera, dan lambing. Mereka sangat percaya kepada para dukun yang dipercayai dapat memanipulasi kenyataan.
Manusia Indonesia bersifat artistic. Masyarakat Indonesia lebih banyak hidup dengan naluri dengan perasaanya yang memberikan suatu dampak  positif tinggginya minat seni yang artistic. Sejak ratusan tahun lalu orang-orang Indonesia dari beragam budaya menghasilkan suatu karya seni rupa, music, suara, sastra yang sangat tinggi keindahannya. Musik, seni tari, dongeng menunjukkan daya imajinasi yang sangat kaya dan subur dengan daya cipta yang tinggi.Ciri inilah yang menjadi modal berharga dan potensi yang harus dikembangkan untuk menjadi sumber harapan keunggulan bangsa Indonesia di masa depan.
Manusia Indonesia punya watak yang lemah dan karakter yang kurang kuat. Para kaum intelektual dan terpelajar Indonensia menjadi sangat mudah untuk menuruti keinginan para penguasa tidak berani menyampaikan suatu kajian keilmuannya yang menyatakan saat tindakan penguasa adalah tidak benar. Contoh yang paling mudah adalah ketika Pemerintah melakukan pinjaman hutang luar negeri untuk pembangunan infrastruktur, para ekonom banyak yang mengamini dan mendukung langkah tersebut. Tidak memberikan suatu perbandingan opini berdasarkan kajian keilmuan ekonomi. Singkatnya manusia Indonesia lebih banyak bermentalkan bebek bukanlah elang. Â
Selain enam ciri manusia Indonesia tersebut, Mochtar Lubis juga mengungkapkan cirri-ciri lainnya yang dimiliki masyarakat Indonesia, yaitu sebagai berikut:
Manusia Indonesia adalah manusia yang susah untuk hemat, bukan seorang economic animal. Tidak pandai memepersiapkan masa depan ekonomi.
Manusia Indonesia mendambakan menjadi priyayi, jadi Pegawai Negeri adalah idaman utama, karena memiliki status sosial yang tinggi. Mereke senang bekerja di tempat yang 'basah' menghindari yang 'kering'.
Manusia Indonesia ingin menjadi kaya, pintar, dan sukses secara instan dan gemar mengambil jalan pintas.
Manusia Indonesia kini menjadi orang yang kurang sabar dan senang menggerutu.
Manusia Indonesia pencemburu dan dengki terhadap orang lain yang memiliki kelebihan darinya.
Manusia Indonesia adalah manusia tukang tiru.
Banyak kata-kata mutiara yang melimpah-limpah, namun tidak menghayatinya dan mengamalkannya.
Selain itu terdapat antropolog Indonesia; Kontjoroningrat yang menambahkan mentalitas Indonesia adalah memiliki 'mentalitas menerabas'. Mentalitas menerabas adalah pola pemikiran dan perilaku ingin mendapatkan hasil selekas-lekasnya; secepat-cepatnya walaupun harus melanggar aturan apapun dan menghalalkan segala cara demi keinginannya terpenuhi dengan cepat. Hingga ada ungkapan yang cukup terkenal adalah di Indonesia 'Peraturan dibuat untuk dilanggar'. Contohnya adalah kebiasaan 'suap' demi mempercepat birokrasi adalah contoh paling konkret. Plagiarisme atau mencontek hasil karya orang lain juga contoh mentalitas menerabas di bidang pendidikan.
Sudah cukupkah kita mengenali sikap dan mentalitas buruk orang Indonesia? Mochtar Lubis juga mengungkapkan ada beberapa karakterisktik positif orang Indonesia secara umum. Ciri-ciri positif manusia Indonesia diantaranya adalah:
Manusia Indonesia pada dasarnya berhati lembut dan suka pada kedamaian.
Manusia Indonesia memiliki rasa humor yang cukup baik. Mereka dapat tetap tertawa dalam kesulitas dan penderitaan.
Manusia Indonesia mudah dan cepat untuk mempelajari segala sesuatu.
Manusia Brebes
Ternyata saya merasakan lebih sulit lagi menggali konsep tentang mentalitas masyarakat Brebes. Secara umum menurut analisis saya mentalitas masyarakat Brebes secara umum tidak berbeda jauh dengan mentalitas manusia Indonesia.
Geografis sosiologis masyarakat Brebes yang dikenal terletak di daerah pantura dengan karakteristik bahasa ngapak memberikan suatu dampak kehidupan sosial yang cukup positif. Hal tersebut karena bahasa ngapak merupakan bahasa yang egaliter; bahasa yang tidak mengenal kasta untuk manusia semesta. Sehingga orang-orang ngapak memiliki kecenderungan kehidupan yang lebih demokratis ketimbang kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya. Hal tersebut tidak lepas dari geanologi budaya ngapak Brebes Banyumasan yang memiliki mental petarung karena pada zaman dahulu sudah sering memberontak kepada kebijakan raja-raja Mataram yang kurang tepat.
Saya hanya mampu melacak mentalitas manungsa Brebes pada buku Sejarah Mentalitas Orang Brebes (Bappeda, 2009) yang menyatakan bahwa watak orang Brebes digambarkan dalam ungkapan 'Gong Pecah Tinabuh'. Perlambang tersebut menjelaskan fenomena bahwa memang kondisi Brebes adalah carut marut dan terpecah belah dan perlu diperbaiki agar menjadi lebih bermanfaat bagi masyarakat dan Negara. Selain itu lambang gong walaupun sudah pecah masih berusaha dibunyikan juga menandakan mentalitas yang pantang menyerah dalam memanfaatkan kondisi seburuk apa pun untuk diperbaiki.
Filosofi Bawang Merah sebagai produk komoditas utama Brebes pun mempengaruhi mentalitas orang Brebes yang 'terbuka' pada kehidupan sosial. Ungkapan yang menandakan ciri khas tersebut adalah' Brambang lembahing mana', yang artinyamenggambarkan kulit bawang yang melepaskan diri (Bappeda, 2009). Filosofi kedua ini juga merupakan pertanda masyarakat Brebes yang mudah bersosialisasi di mana pun, mudah diterima orang lain, sehingga banyak sekali dijumpai orang Brebes yang merantau dan sukses di perantauan.
Refleksi Untuk Generasi Muda
Setelah membaca paparan tersebut, mari kita mengevaluasi apakah kita milenial Brebes, milenial Indonesia masih memiliki cirri-ciri yang banyak negatifnya tersebut sebagai orang Brebes; orang Indonesia ?
Baik masa lalu adalah sebuah kepastian. Tidak ada kepastian di masa depan, kecuali hanya kematian.
Jika memang secara mentalitas manusia Indonesia adalah seperti itu, kita generasi muda masih memiliki kesempatan untuk merubah itu semua dengan merubah diri kita sendiri.
Saya menganalisis terdapat beberapa hal yang perlu untuk kita sebagai generasi muda cermati. Hasil analisis saya adalah sebagai berikut:
Kita perlu bersama-sama membenahi diri kita untuk menyambut masa depan dan menghapus masa lalu kita yang kelam, dengan memperbaiki diri kita sendiri.
Jadikanlah membaca dan berdiskusi menjadi suatu kebiasaan dalam hidup.
Evaluasi lah diri kita apakah sudah mampu untuk menjadi manusia dan bangsa yang Pancasilais, atau hanya menampilkan suatu basa-basi perilaku sosial dalam ucapan namun tidak terhayati dalam hati, pikiran, dan termanifestasi dalam tindakan. Terutama adalah evaluasi 'apakah kita sudah beriman seutuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa ?' Karena harus kita ingat bersama, Romawi yang begitu perkasa runtuh ketika mulai meninggalkan nilai-nilai agama.
Generasi muda Indonesia dan Brebes rawan untuk tidak memiliki visi masa depan dan kehidupannya untuk sekadar mengikuti tren, jika memperlajari sesuatu sangat mudah merasa benar sendiri, maka perlu untuk mempelajari filsafat mulai saat ini.
Evaluasilah siapa yang menjadi idola dalam kehidupan kita.
Jika sudah memperbaiki diri sendiri, maka bergegaslah untuk berkumpul dan bermufakat bersama mereka-mereka yang tersadarkan untuk melakukan suatu aksi mewujudkan masa depan.
Janganlah benci politik. Pahami politik secara mendalam dan berjuanglah memperbaiki kondisi masa kini dengan berpolitik. Tanpa politik kita akan sangat sulit untuk memperbaiki bangsa dan manusianya.
Sebagai tambahan untuk panduan melakukan evaluasi diri dan merubah mentalitas diri kita, saudara-saudara bisa mengkaji dan menerapkan tujuh kebiasaan manusia yang sangat efektif (Covey, 1989):
Jadilah Pro-Aktif dalam kehidupan; bukan pasrah menerima keadaan tapi bergegas memperbaiki keadaan.
Mulailah dari akhir dalam pikiran.
Dahulukan yang utama terlebih dahulu.
Berpikir win-win solusi.
Berusaha untuk mengerti orang lain terlebih dahulu, baru kemudian dimengerti.
Sinergi dengan pihak lain.
Ciptakanlah semangat terus memperbaiki diri.
Sumber referensi:
Covey, Stephen R. 2015. 7 Kebiasan Manusia yang Sangat Efektif. Jakarta: Dinamis Publishing.
Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Â
Lubis, Mochtar. 1977. Manusia Indonesia. Jakarta: Pustaka Obor
Bappeda Kabupaten Brebes. 2009. Mentalitas Masyarakat Brebes.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H