Kita semua pasti menyadari bahwa banyak perubahan yang terjadi pada bumi kita belakang ini. Seperti suhu yang semakin panas, curah hujan yang tidak beraturan, hingga kekeringan yang panjang di beberapa wilayah.
Fenomena tersebut salah satu faktornya disebabkan oleh perubahan iklim yang kian hari kian mengkhawatirkan. Perubahan iklim menjadi sesuatu yang harus segera kita carikan solusinya. Karena permasalahan perubahan iklim menyangkut segala aspek kehidupan manusia.
Bagi orang-orang yang belum tahu. Setiap tahun bumi kita menyumbang sekitar 51 miliar emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer. Angka ini akan terus meningkat setiap tahunnya, bila mana kita tidak segera bertindak.
Lalu, untuk menyelamatkan bumi kita, harus berapa emisi gas yang dilepaskan bumi ke atmosfer? Jawabannya harus sampai NOL.
Mengapa NOL?
Mengapa harus nol? Alasannya cukup sederhana. Gas-gas rumah kaca menjebak panas, mengakibatkan suhu rata-rata bumi naik. Makin banyak gas rumah kaca, makin tinggi kenaikan suhu. Gas rumah kaca yang lepas ke atmosfer akan tetap di sana dalam waktu lama. CO2 yang dikeluarkan sekarang akan berada di atmosfer dalam 10.000 tahun ke depan.
"Mencapai nol" sebenarnya merupakan sebuah istilah untuk menggambarkan kondisi ketika jumlah emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer sama dengan gas rumah kaca yang dihilangkan dari atmosfer.
"Mencapai nol" emisi gas  bila diartikan secara harfiah merupakan hal yang mustahil dan tidak realistis. Menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan segala kegiatan lain yang memproduksi gas rumah kaca secara total tidak mungkin bisa dilakukan. Dengan kata lain "mencapai nol" tidak benar-benar berarti "nol".
Singkatnya, "mencapai nol" berarti menghilangkan lebih banyak gas rumah kaca dari atmosfer daripada kita menaruh di sana supaya bisa membatasi kenaikan suhu. Dengan cara beralih kepada teknologi yang lebih sedikit mengeluarkan gas rumah kaca.
Penyumbang Emisi Gas Rumah Kaca
Pada kenyataannya emisi gas rumah kaca banyak dihasilkan dari kegiatan manusia yang tidak kita kira. Misalnya, kita mengira bahwa emisi yang dihasilkan oleh kendaraan cukup untuk melelehkan es di kutub utara.Â
Padahal, emisi dari kendaraan lebih kecil dibandingkan dengan emisi yang dikeluarkan oleh industri pertanian dan peternakan. Berdasarkan buku How To Avoid A Climate Disaster emisi gas yang dihasilkan kendaraan (Pesawat, mobil, motor, dll) sebesar 16%.Â
Sementara industri pertanian dan peternakan menghasilkan 19% emisi. Disusul dengan pembangkit listrik 27%, dan industri produksi (semen, plastik, baja, besi, dll) sebesar 31%.Â
Listrik dan industri produksi menjadi sektor yang menyumbang emisi gas rumah kaca paling besar di dunia. Meskipun begitu, masalah iklim ini tidak ada besar atau kecil, banyak atau sedikit. Selama itu menghasilkan emisi gas rumah kaca sebisa mungkin harus segera kita carikan alternatif yang lebih ramah.
Sukar Menuju Nol
Mencari cara untuk mencapai nol akan sukar untuk dilakukan karena belum pernah dilakukan sebelumnya dan kita sedang berusaha mengusahakan hal tersebut.
Ada beberapa faktor  yang menyebabkan nol emisi masih sulit untuk diwujudkan hingga beberapa tahun ke depan, faktor-faktor di antaranya:
Bahan Bakar Fosil Seperti Air
Ada dua ekor ikan sedang berenang dan mereka bertemu dengan ikan tua yang berenang ke arah berlawanan. Ikan tua menyapa, "Selamat pagi, bagaimana airnya?" Dua anak ikan itu terus berenang dan menoleh satu sama lain, "Apa sih air itu?"
Perumpamaan ini diambil dari salah satu pidato David Foster Wallace yang berjudul "This Is Water", inti dari pidato tersebut ialah realitas paling jelas, umum, dan penting seringkali adalah yang paling sukar dilihat dan dibicarakan.
Sama halnya seperti bahan bakar fosil yang merupakan sesuatu yang penting dan umum, namun jarang untuk dibicarakan. Saking umumnya, sukar memahami bahwa bahan bakar fosil sudah lekat dengan benda sehari-hari yang kita pakai.
Sikat gigi yang kita pakai barangkali mengandung plastik, yang dibuat dari minyak bumi, bahan bakar fosil.
Roti dan sereal dari gandum ditumbuhkan dengan pupuk, yang melepas gas rumah kaca dalam proses pembuatannya. Gandum dipanen dengan traktor yang dibuat dengan bahan bakar fosil.
Dengan kata lain, bahan bakar fosil sudah ada dimana-mana. Minyak bumi, dunia menggunakan lebih dari 4 miliar galon minyak perhari. Bila kita menggunakan produk apa pun dengan jumlah sebesar itu, kita tidak bisa sekedar berhenti menggunakannya dengan seketika.
Alasan utama mengapa bahan bakar fosil ada di mana-mana: Sangat murah. Bukan sebuah kebetulan kalau bahan bakar fosil itu murah, karena jumlahnya yang melimpah dan mudah dipindahkan.
Kita sudah menciptakan industri besar global untuk menggali, mengolah, dan mengangkut bahan bakar fosil, serta mengembangkan inovasi yang menjaga agar harganya tetap rendah.
Sejarah Tak Berpihak Kepada Kita
Upaya yang tepat untuk mencapai nol melalui transisi energi terbarukan secepat mungkin. Jika melihat berapa lama transisi-transisi terdahulu terjadi, "secepat mungkin" itu lama.
Kita sudah melakukan hal-hal semacam itu dulu, beralih dari satu sumber energi ke sumber energi lain dan itu selalu membutuhkan waktu puluhan tahun.
Bahan bakar fosil belum menjadi separuh konsumsi energi dunia sampai tahun 1890-an. Di China, bahan bakar fosil belum mengambil alih sampai di tahun 1960-an.
Sama halnya dengan minyak, berapa lama yang dibutuhkan hingga minyak menjadi bagian besar pasokan energi kita? Minyak mulai diproduksi skala besar tahun 1860-an. Setengah abad kemudian, minyak baru 10 persen pasokan energi dunia dan perlu 30 tahun lagi untuk mencapai 25 persen.
Gas alam, pada tahun 1900 hanya 1 persen energi dunia. Butuh 70 tahun untuk mencapai 20 persen. Fisi nuklir, naik dari 0 ke 10 persen dalam 27 tahun.
Transisi energi yang cenderung murah dan dibutuhkan banyak orang saja perlu puluhan tahun untuk menjadi sumber energi dunia. Apalagi energi yang belum dianggap penting oleh kebanyakan orang dan harganya yang mahal.
Seiring waktu, kita bakal secara alami mulai menggunakan lebih banyak energi terbarukan, tapi kalau dibiarkan, pertumbuhannya tak akan cukup cepat, tanpa inovasi, tidak akan cukup untuk membawa kita turun sampai nol.
Kita harus mendorong transisi cepat tak alami. Menghadirkan kompleksitas dalam pembuatan kebijakan dan teknologi yang kita belum pernah hadapi.
Hukum dan Aturan Kita Sangat Ketinggalan Zaman
Kebijakan pemerintah memiliki peran yang penting untuk mengatasi persoalan lingkungan karena dampaknya akan terasa bagi masyarakat maupun perusahaan.
Kita tidak akan mencapai nol kecuali kita membuat kebijakan yang tepat, dan kita masih jauh dari itu.
Banyak hukum dan aturan mengenai lingkungan hidup yang berlaku sekarang tidak dirancang dengan mempertimbangkan perubahan iklim.
Kita ambil contoh di Amerika Serikat yang menerapkan kebijakan Clean Air Act dan CAFE (Corporate Avarage Fuel Economy). Clean Air Act tidak dirancang untuk menghadapi kenaikan suhu, tapi untuk mengurangi resiko kesehatan dan pencemaran udara lokal.
Sama halnya di Indonesia, Clean Air Act yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak dirancang untuk mempertimbangkan perubahan iklim dan kenaikan suhu.
Terlebih lagi, Indonesia tidak memiliki peraturan yang secara spesifik membahas mengenai perubahan iklim. Yang ada hanya peraturan yang memuat materi perubahan iklim secara umum padaUndangUndang No. 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasca perjanjian paris, masih belum ada produk hukum yang mengatur dan mengadopsi ketentuan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berdasarkan tujuan jangka panjang dan ketentuan Perjanjian Paris.
Selain itu, kebijakan iklim di Indonesia dinilai tidak ambisius dan serius, kenapa?
- Kebijakan iklim Indonesia tidak merefleksikan sains terbaru atau ketinggalan zaman.
- Kebijakan iklim Indonesia bertumpu sebagian besar pada sektor berbasis lahan, seperti kehutanan, lahan gambut, pertanian dan alih fungsi lahan.
- Aksi mitigasi perubahan iklim di Indonesia didominasi solusi palsu yang tidak menyelesaikan akar permasalahan dan melanggengkan praktek bisnis.
- Kontradiksi kebijakan iklim dengan kebijakan terbaru.
- Kebijakan tidak berorientasi pada pemenuhan hak hidup dan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat serta tidak mencerminkan keadilan antargenerasi.
Tidak Banyak Kesepakatan di Bidang Iklim
Tantangan lain untuk membangun konsensus iklim untuk mewujudkan nol emisi ialah kerja sama global yang sukar diwujudkan. Sukar mengajak semua negara bersepakat mengenai apa pun, terutama bila mananggung biaya baru seperti membayar pengurangan emisi karbon.
Perjanjian Paris yang disepakati oleh 190 lebih negara merupakan sebuah prestasi yang besar. Kesepakatan banyak negara pada Perjanjian Paris adalah langkah awal yang membuktikan bahwa kerja sama global itu mungkin terjadi. Meskipun memelihara perjanjian global sama sukarnya dengan membuatnya.
Harus Optimis
Kita perlu melakukan sesuatu yang besar tapi belum pernah dilakukan. Lebih cepat daripada hal-hal serupa yang pernah dilakukan.
Kita perlu banyak terobosan di sain dan teknologi. Kita perlu sistem energi terbarukan.
Kita perlu membangun kesepakatan yang belum ada. Membuat kebijakan publik yang mendorong transisi yang tak bakal terjadi dengan cara lain.
Berubah total sekaligus pun akan tetap sama. Jangan putus asa, kita bisa melakukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H