Mohon tunggu...
Mohamad Sastrawan
Mohamad Sastrawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Matraman

http://malikbewok.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Quo Vadis BIN?

21 Oktober 2011   12:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:40 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Setiap penangkapan para kelompok yang diduga jaringan teroris, Densus 88 Mabes Polri selalu muncul ke permukaan. Unit khusus di Mabes Polri ini menjadi pasukan yang dipercaya untuk menanggulangi ancaman terorisme. Bahkan, Densus 88 memiliki kecenderungan untuk menjadi pasukan elit yang memiliki kelebihan. TNI yang sudah senior memiliki pasukan penanggulangan ancaman terorisme, hingga kini, belum juga dilibatkan.

Sulit dibantah jika dalam perjalanannya, keberadaan Densus 88 mendapat krikil tajam dari unsur TNI. Salah satu kasus yang mencuat adalah ulah Densus 88 Polri yang seenaknya masuk ke area Delta Bandara Polonia Medan, pada 13 September 2010. Dengan alasan menggerebek dan menangkap para tersangka kasus perampokan Bank CIMB Niaga, tim Densus 88 yang terdiri dari 20 orang, masuk tanpa ijin ke wilayah Pangkalan TNI AU.

Akibat peristiwa itu, Komanda Pangkalan TNI AU Medan, Kolonel (Pnb) Taufik Hidayat mengirim nota protes kepada Kapolda Sumut Irjen Polisi Oegroseno. Dalam nota tersebut, TNI AU keberatan atas arogansi Densus 88 yang masuk ke area Delta Bandara Polonia tanpa prosedur resmi.

Dalam kasus lain, tindakan Densus 88 yang menembak mati orang-orang yang diduga terlibat jaringan teroris, juga mendapat protes keras. Adalah Kepala Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS) Laksamana Muda Soleman B. Ponto yang menyampaikan sindiran keras terhadap Densus 88. Menurutnya, jika mau bunuh teroris, polisi lebih baik menjadi tentara. Polisi sebagai alat keamanan negara hanya berwenang menangkap dan menghukum orang-orang yang diduga teroris itu.

Dia menjelaskan Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah mengamanatkan pelaku teror seharusnya ditangkap untuk menjalani proses pidana. Sedangkan apabila melihat UU 34 Tahun 2004 tentang TNI, memperlihatkan watak yang berbeda. Menurut Soleman, Pasal 22 ayat 2 UU TNI menegaskan hanya ada dua pilihan dalam menangani aksi terorisme, yakni dibunuh atau membunuh.

Dari dua kasus di atas, sangat sulit membantah bahwa telah terjadi friksi antara TNI dan Polri, khususnya Densus 88, dalam bidang penanggulangan terorisme. Sejauh ini, perang terhadap terorisme sepertinya menjadi proyek tiga lembaga, yaitu Mabes Polri, BIN dan BNPT. Sementara TNI, sepertinya tidak dilibatkan, padahal di tiga matra ada pasukan khusus, seperti Detasemen Jala Mangkara (disingkat Denjaka) adalah sebuah detasemen pasukan khusus TNI Angkatan Laut. Denjaka adalah satuan gabungan antara personel Kopaska dan Taifib Korps Marinir TNI-AL, yang khusus bertugas mengatasi aksi teror.

Selain itu, masih ada Detasemen Bravo 90, pasukan khusus di lingkungan TNI AU yang selalu siap menumpas ancaman terorismee. Di TNI AD, ada juga Pasukan Gultor 81 yang siap sedia untuk membantu Polri menumpas para teroris. Namun, pada kenyataannya, Densus 88 selalu sendirian dalam menggerebek dan menangkap orang-orang yang dianggap terlibat dengan terorisme.

Presiden Yudhoyono rupanya semakin sensitif dengan adanya friksi di lapangan ini. Dia berupaya meredam masalah ini dengan mengangkat Letjen Marciano Norman sebagai Kepala BIN. Sebelumnya, Kepala BIN dijabat oleh mantan Kapolri Jenderal (purn) Sutanto. Pengangkatan Letjen Marciano Norman sebagai Kepala BIN pun bertepatan dengan pengesahan UU Intelijen oleh DPR. Menariknya, SBY mengambil Jenderal Bintang Tiga yang memliki latar belakang Kesatuan Kavaleri TNI Angkatan Darat. Mengapa SBY tidak mengambil dari perwira tinggi berlatarbelakang infanteri yang merupakan pasukan tempur terbesar di TNI AD? Padahal ada Letjen Budiman yang berlatar belakang infanteri. Tentunya, latar belakang infanteri akan mempermudah menggerakkan pasukan di lapangan untuk kondisi darurat.

Dari sini saja, kita bisa membaca bahwa Presiden Yudhoyono tidak benar-benar ingin melibatkan TNI secara utuh dalam penanggulangan terorisme. Dipilihnya Letjen Marciano, sepertinya, hanya untuk meredam friksi akibat lahirnya Densus 88 dari Mabes Polri. Tapi, bagaimanapun juga, apresiasi penuh untuk Mantan Panglima Kodam Jaya yang telah merasakan asam garam dalam mengatasi berbagai persoalan terkait pertahanan dan keamanan negara.

Saat reshuffle kemarin, SBY secara khusus menyebutkan ditunjuknya mantan Komandan Paspampres itu, agar Kepala BIN mampu mengambil keputusan lebih baik lagi. Hal ini terbukti ketika Kepala BIN dipimpin mantan Kapolri Sutanto, banyak peristiwa-peristiwa terorisme yang tidak terdeteksi dengan baik. Pengalaman TNI untuk mengatasi ancaman negara tentunya tidak bisa disangsikan lagi. Apalagi, UU Intelijen menyebutkan BIN sebagai induk lembaga intelijen yang ada di negeri ini, seperti kepolisian, Imigrasi, Kejaksaan, dan TNI.

Dengan ditunjuknya Perwira Tinggi TNI aktif, dengan pangkat Jenderal bintang tiga, setidaknya penumpasan aksi terorisme tidak lagi didominasi oleh Densus 88. Pasukan khusus di TNI akan lebih cepat dan akurat untuk melihat mana ancaman teroris dan mana yang bukan. Harus diakui, selama ini, Densus 88 sepertinya gebyah uyah dengan semua yang terkait kelompok teroris. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun