Salah satu mantra sakti mandraguna yang tidak boleh diganggu gugat layaknya kitab suci adalah frase "Supremasi Sipil". Anda berani mengkritisi, apalagi menggugat supremasi sipil? Berarti Anda siap-siap berhadapan dengan pendekar-pendekar HAM, atau jawara-jawara demokrasi. Mereka ini biasanya ada di LSM-LSM, sebagian berlindung di balik kebebasan pers, mahasiswa abadi dan jubah-jubah pengacara.
Uniknya, ada juga ulama-ulama di organisasi keagamaan yang ikut-ikutan latah berceloteh tentang supremasi sipil. Sehingga lahir pemikiran-pemikiran baru di khazanah keagamaan yang sebenarnya berseberangan dengan sejarah agama-agama itu sendiri. Mereka seolah lupa, bahwa agama-agama besar di dunia ini, sebagian besar, tersebar dengan adanya kekuatan militer, bukan karena supremasi sipil. Perang demi perang terjadi dengan masing-masing agama beralasan tengah membela kepentingan Tuhan di muka bumi.
Persaingan status antara sipil dan militer pun seakan-akan menjadi komoditas politik bagi kelompok-kelompok tertentu. Sejumlah civilian menjual jargon-jargon "Kebebasan HAM", "Kebebasan Berekspresi", dan berbagai "Kebebasan" lainnya. Makna "Kebebasan" yang dianut pun menjadi absurd, karena secara hakikat tidak ada kebebasan yang sebebas-bebasnya. Kebebasan seseorang pasti dibatasi oleh kebebasan orang lain.
Supremasi sipil menjadi mantra yang tidak boleh dikritisi barang sedikitpun. Anggapan ini melahirkan dogma masyarakat sipil menjadi supreme (superior) dan menyebabkan orang-orang di luar sipil sebagai inferior. Benarkah pemahaman demikian?
Komoditas Politik Bernama Supremasi Sipil
Supremasi Sipil seyogyanya tidak diterjemahkan sebagai orang sipil lebih superior dari orang militer. Dalam khasanah keilmuan, supremasi sipil diartikan lebih spesifik sebagai masyarakat secara keseluruhan dalam sebuah peradaban.
Namun, saat ini, masyarakat sipil seakan-akan menjadi sebuah dogma layaknya kitab suci, dan harus diterima secara bulat tanpa kritik. Padahal pada hakikatnya, sebuah pemerintahan dipegang secara penuh dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Itu lah makna dari demokrasi.
Sementara militer hadir sebagai alat untuk menjaga eksistensi pemerintahan dan negara dari berbagai ancaman. Namun, di Indonesia, definisi ancaman dibagi menjadi dua, yakni ancaman dari luar (kemudian didefinisikan sebagai pertahanan) dan ancaman dari dalam (kemudian didefinisikan sebagai keamanan). Pembagian tugas pun terbelah, yakni TNI sebagai alat pertahanan dan Polri sebagai alat keamanan dan ketertiban masyarakat.
Jika mengacu pada realita saat ini, gerakan separatisme di Papua, didefinisikan sebagai ancaman dari dalam. Padahal, kelompok-kelompok itu memiliki afiliasi dengan negara-negara asing. Sudah tentu, melalui tangan-tangan kelompok separatis itu, negara-negara asing tersebut memiliki agenda-agenda untuk merusak keutuhan NKRI. Jadilah, sebagian kelompok sipil menolak kehadiran militer di Papua, dengan alasan tidak sesuai dengan aturan sistem yang telah dikodifikasi dalam undang-undang.
Kondisi Indonesia semakin kehilangan arah dengan adanya cara pandang demikian. Secara tidak langsung, militer Indonesia telah diamputasi dan dilemahkan. Kehadiran kelompok-kelompok yang berlindung di balik "Kebebasan HAM" tadi, telah berubah menjadi diktator sipil yang memiliki kemampuan untuk melemahkan militer Indonesia. Justru, di sinilah ancaman sesungguhnya yang tengah mengintai Bumi Pertiwi.
Komoditas politik bernama Supremasi Sipil terjadi secara serampangan dan membabi buta. Sebagian kelompok sipil menolak segala sesuatu yang berbau militer. Mereka tidak peduli bahwa TNI sudah berubah. Secara tidak sadar, mereka telah menjadi penganut otoritarianisme, yang memaksakan kehendak agar cara pandang mereka diterima oleh semua pihak.