[caption caption="Menhan Ryamizard Ryacudu"][/caption]
Beberapa hari lalu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu memberikan sinyalemen akan bahaya gerakan LGBT di Indonesia. Menurutnya, LGBT merupakan bagian dari perang proxy. Perang Proxy adalah sebuah konfrontasi antar dua negara yang menggunakan pemain pengganti untuk menghindari perang secara langsung yang beresiko pada kehancuran total. Aktor non negara kekerasan dan tentara bayaran, pihak ketiga lainnya sering digunakan.
Pernyataan Menhan menunjukkan perang tidak lagi didefinisikan sebagai bertemunya dua pasukan di medan laga. Perang bisa terjadi dengan melibatkan pihak ketiga, keempat bahkan lebih dari itu. Dalam konsep perang modern dikenal istilah perang asimetris dan perang proxy. Strategi dalam perang asimetris tidak mendasarkan pada kekuatan senjata. Banyak faktor yang menyebabkan pihak-pihak keluar sebagai pemenang perang. Memainkan kekuatan opini publik, pengaruh massa, pengakuan luar negeri, penguasaan media massa hingga menggunakan kosakata baru (new speak) menjadi senjata ampuh yang digunakan dalam perang asimetris.
Adakah kaitan kondisi sosial kita saat ini yang dipenuhi dengan pemberitaan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) dengan perang asimetris? Jawabnya tentu ada. Bangsa Indonesia mengenal istilah LGBT baru beberapa tahun belakangan. Sebelumnya, masyarakat mengenal pria penyuka sesama jenis sebagai homo atau perempuan sebagai biseks. LGBT merupakan sebutan baru yang maknanya sarat dengan kepentingan.
Kita menyadari saat ini ada paradigma yang berubah tentang lesbianisme dan homoseksualitas. Banyak faktor yang mengubah paradigma, salah satunya adalah globalisasi yang mendatangkan banyak cara pandang atas kondisi kekinian dan kedisinian (world view).
Kekuatan opini publik yang disuarakan banyak aktivis LGBT, menjadikan cinta sesama jenis dianggap sebagai hal yang normal. Suara itu bahkan demikian berani disampaikan aktivis LGBT hingga menyerang pejabat negara dan diwujudkan dengan mensomasi pihak-pihak yang dianggap sebagai lawan. Padahal, konstitusi dan regulasi di tanah air secara tegas menentang adanya hubungan cinta sesama jenis. Hubungan itu terlarang karena pada hakikatnya bertentangan dengan naluri kemanusiaan.
Aktivis LGBT sejatinya telah melakukan movement (pergerakan) yang tujuannya adalah pengakuan atas cinta sejenis dan eksistensi kelompok. Dia menjadi gerakan asimetris yang menggunakan pola “hit and run” karena mereka sadar berada di sebuah negara dengan populasi mayoritas adalah penentang homoseksual dan lesbian. Sejauh ini, bisa diamati pola gerakan yang bisa dipetakan adalah penggunaan media massa, media sosial, akademisi bahkan lembaga politik. Kita tidak mengetahui pasti siapa di balik kelompok LGBT ini, apakah negara-negara asing yang tengah memainkan perang proxy untuk menciptakan distabilitas bangsa dan negara.
Mengapa disebut perang proxy? Bisa saja negara-negara asing mendonorkan dana ke aktivis LGBT untuk memberangus kelompok lain yang dianggap sebagai lawan dan ancaman. Hal seperti ini biasanya dilakukan agar ada penyangkalan bahwa aktor sesungguhnya dari berkembangnya isu LGBT di tanah air adalah negara lain. Motivasinya bisa banyak, agar negara bisa bernegosiasi dengan pemerintah Indonesia, atau untuk menghindari negara dituduh sebagai pelaku dan tidak bertanggungjawab atas dampak yang terjadi setelah isu LGBT merebak dan meresahkan banyak pihak.
Lebih dari itu, LGBT pada hakikatnya adalah penyakit kejiwaan yang harus dicari obatnya. Selain tentu saja, negara kita tidak mengenal adanya pernikahan sejenis. Dalam Undang-undang Pornografi, misalnya, hubungan sejenis dianggap sebagai penyimpangan dan abnormal. Konstitusi kita juga secara tegas menolak perikehidupan yang hanya mendewakan nafsu.
Orientasi seksual tidak hanya urusan hak, tetapi juga soal norma hukum, susila dan agama. Dengan demikian, fenomena homoseksualitas, di samping bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan, merupakan tindakan illegal dan inkonstitusional. Melindunginya adalah tindakan salah, dan mengkampanyekannya merupakan tindakan melawan hukum. Masalah homoseksual tidak bisa diselesaikan melalui pendekatan HAM dan demokrasi liberal, karena pada hakikatnya LGBT merupakan kelainan seksual.
Anak-anak sangat rentan untuk menjadi korban dari orang-orang yang memiliki perilaku seks menyimpang karena mudah diperdaya. Karenanya, di samping langkah preventif, perlu ada penindakan hukum yang keras terhadap pelaku yang memperdaya, membujuk rayu, dan menjadikan anak sebagai korban orientasi seks menyimpang. Upaya pencegahan juga mencakup semua aktivitas yang memungkinkan anak terpapar orientasi seks menyimpang, baik sebagai korban atau pelaku.