Penanaman nilai, keyakinan dan aturan kedisiplinan harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Tentunya, penanaman tersebut sejalan dengan perkembangan kognitif anak dan dilaksanakan secara terus menerus dengan konsisten. Dengan demikian, nilai-nilai yang diajarkan akan berbuah menjadi perilaku dan kebiasaan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Di dalam agama, ada teori yang menyebutkan, anak ibarat kertas putih yang bisa ditulis apa pun sekehendak orang tuanya. Kertas putih yang tentunya mudah rusak jika terlalu banyak kesalahan dalam menulis. Menghapusnya membutuhkan upaya serius dan bekas dari kesalahan itu tetap melekat di atas kertas yang kemudian mengubahnya menjadi kotor, lecek dan usang.
Belum lama ini, Kementerian Pertahanan menyelenggarakan program Bela Negara untuk anak-anak. Tujuannya adalah penanaman nilai untuk cinta tanah air yang penyelenggaraannya disesuaikan dengan perkembangan tumbuh kembang anak. Kerja bareng ini berangkat dari rasa keprihatinan atas hilangnya rasa cinta terhadap bangsa dan negara. Saya yakin, rakyat Indonesia saat ini merasa kondisi bangsa dan negara, semakin hari semakin jauh dari cita-cita luhur para pendiri bangsa.
Carut marut kehidupan politik kita diumbar bebas di media massa. Sedikit banyak, hal itu membawa dampak negatif bagi masyarakat luas. Anak-anak mungkin belum sepenuh paham. Tapi, kehidupan berbangsa dan bernegara yang kehilangan arah, akan menghasilkan krisis multidimensi yang jika tidak diatasi berubah menjadi ancaman serius. Sudah tentu, krisis ini akan menjalar kemana-mana, termasuk dalam kehidupan keluarga yang paling privat. Dan, anak-anak adalah kelompok yang paling rentan menjadi korban dari problematika persoalan ini.
Bela Negara untuk anak adalah segmented program yang tujuannya sangat mulia. Didalamnya, ada semangat perlindungan anak dari bahaya cara pandang, ideologi dan perspektif yang menjauhkan anak dari keutuhan negara dan bangsanya sendiri. Ini juga menjadi implementasi lima pilar perlindungan anak, di antaranya adalah Pemerintah dan Negara. Keduanya hadir untuk melindungi anak-anak kita dari kompleksitas ancaman, gangguan dan bahaya di sekitar kehidupan anak.
Tidak hanya politik, dalam aspek ekonomi pun, kesenjangan kehidupan di masyarakat semakin menganga lebar. Kemiskinan merajalela akibat pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat. Pemutusan kerja yang terjadi di banyak perusahaan, mengakibatkan jumlah penggangguran meningkat. Akibatnya, semakin sulit menanggulangi anak-anak yang mengemis di jalanan dengan alasan membantu orang tua yang kehilangan sumber nafkah.
Diumbarnya pemberitaan prostitusi selebritis pun sebenarnya menjadi ancaman. Pengaruh negatifnya adalah dia seperti memberi inspirasi kepada masyarakat luas. Ingin cepat kaya dengan cara mudah, itulah pesan yang ada di balik pemberitaan seperti itu. Tanpa kerja keras, uang didapat dengan mudah meski cara seperti itu dilaknat oleh nilai-nilai moralitas universal. Di balik itu semua, kelompok agamawan seolah-olah tidak berdaya, karena arus informasi seperti itu laksana tsunami yang menerjang dan menghanyutkan siapa pun yang ada di hadapannya.
Beberapa tahun belakangan kita semakin dipertunjukkan dengan tingginya anak-anak yang terlibat dalam kejahatan perdagangan manusia. Anak-anak yang dipaksa terlibat dalam kehidupan prostitusi. Suatu studi tentang trafickingmanusia dengan tujuan prostitusi mengungkapkan bahwa cukup besar jumlah anak yang dipaksa bekerja dalam prostitusi. Perwakilan NGO UN CRC (Convention on the Rights of the Child) menyatakan 30 persen dari mereka yang dipaksa bekerja dalam prostitusi anak. Dalam tahun 1998, UNICEF memperkirakan prostitusi anak di Indonesia berkisar antara 40 ribu hingga 70 ribu anak. Jumlah ini tentu semakin meningkat pada saat ini karena anak-anak diasumsikan sebagai kelompok yang paling kurang resikonya atas infeksi HIV/AIDS.
Kejahatan traficking merupakan kejahatan yang sangat rumit, menyangkut budaya, sikap perilaku dan struktur sosial masyarakat. Oleh sebab itu, dibutuhkan pendekatan yang menyeluruh untuk mencapai akar masalah dan penanganan yang efektif agar kejahatan ini dihapus dari muka bumi, sehingga anak-anak yang menjadi korban bebas menikmati hak-hak mereka sebagai manusia yang dihormati harkat dan martabatnya. Melalui program Bela Negara ini, sedikit banyak akan melahirkan cara pandang bahwa kejahatan perdagangan manusia ini menjadi ancaman yang bisa merusak sendi-sendi keutuhan negara dan bangsa.
Ancaman lain datang dari merebaknya paham ekstrem dan radikal. Dengan dalih kaderisasi, pelajar sekolah yang notabene masih anak-anak, menjadi target kelompok-kelompok tertentu melebarkan ekstremitas dan radikalisme agama. Buntutnya adalah lahir generasi muda yang mudah sekali mengkafirkan kelompok berbeda.
Masyarakat sepakat dengan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang di banyak tempat menyebutkan, Indonesia memasuki ancaman non militer. Sebuah ancaman yang sangat serius tapi diwujudkan dengan halus sehingga masyarakat awam mungkin tidak merasa bahwa mereka sebenarnya berada di dalam situasi genting. Kita tidak boleh seperti katak yang berada di dalam panci. Dia tengah direbus namun baru sadar bahaya mengancam ketika air mendidih.