Mohon tunggu...
Mohamad Sastrawan
Mohamad Sastrawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Matraman

http://malikbewok.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perspektif Anak Tragedi Tolikara

30 Juli 2015   13:05 Diperbarui: 11 Agustus 2015   23:31 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari raya Idul Fitri identik dengan keceriaan anak-anak yang bisa disebabkan banyak faktor. Salah satunya memakai busana baru. Bukan hanya itu, biasanya pula di hari lebaran sudah menjadi kebiasaan anak-anak menerima uang dari orang dewasa ketika bersilaturahim ke sanak famili. Idul Fitri juga menjadi kesempatan emas bagi anak-anak untuk belajar sekaligus mempraktekkan ibadahnya. Karena itu, menjadi kewajiban semua elemen bangsa untuk menjamin terpenuhinya hak anak untuk beribadah.

Namun yang terjadi di Kabupaten Tolikara, Papua pada 17 Juli lalu adalah sebaliknya. Sejumlah anak-anak harus mengalami trauma kekerasan saat hendak melaksanakan salat Idul Fitri karena di saat bersamaan terjadi penyerangan massa yang berakhir dengan pembakaran tempat ibadah.

Dalam perspektif perlindungan anak, peristiwa ini sangat layak dikategorikan sebagai tragedi dengan korban adalah anak-anak. Bahkan, tragedi Tolikara sudah memenuhi unsur pelanggaran hak anak. Pertama, pelanggaran hak dasar agama anak. Pasal 76G UU No 35 tahun 2014 menyebutkan setiap orang dilarang menghalang-halangi anak untuk melaksanakan ajaran agamanya. Bahkan, pelanggaran terhadap ketentuan ini bisa dituntut pidana penjara maksimal lima tahun dan denda hingga 100 juta rupiah.

Kedua, selain aspek agama, tragedi ini dapat pula dilihat dari aspek minoritas umat Islam di Tolikara. Ketentuan undang-undang menyebutkan anak yang masuk dalam kelompok minoritas dikategorikan mendapat perlindungan khusus. Penyediaan sarana dan prasarana untuk menjalankan agamanya diatur oleh konstitusi. Pasal 65 dalam undang-undang yang sama telah menegaskan perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri, serta menggunakan bahasanya sendiri.

Ketiga, pelanggaran yang terjadi adalah masyarakat abai terhadap hak anak bebas dari kerusuhan sosial dan peristiwa yang mengandung kekerasan. Jika kita lihat media elektronik, kita menyaksikan banyak anak-anak yang ketakutan karena pada saat salat Idul Fitri mereka menjadi korban kekerasan dari kelompok intoleran. Dari tiga pelanggaran hak anak di atas, maka yang harus dilakukan adalah menindak pelaku pembakaran dan menyeret mereka ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tidak ada satu pun alasan apalagi pembenaran yang bisa diterima terhadap segala bentuk kekerasan yang telah dipertontonkan di Kabupaten Tolikara, Papua.

Selain penegakan hukum, hal lain yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah pemulihan trauma anak.  Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bekerja sama dengan sejumlah lembaga perlindungan anak Papua menginventarisasi persoalan sesuai fakta lapangan. Inventarisasi ini menjadi urgen agar penanganan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan.

Kekerasan, apapun penyebabnya, akan melahirkan trauma berkepenjangan bagi anak. Dia berkaitan erat dengan perkembangan psikologi anak yang menjadi korban peristiwa tersebut. Dalam teori psikologi perkembangan, apa yang terjadi pada anak akan berpengaruh besar terhadap kehidupan mereka ketika dewasa.

Pemulihan psikologi anak dibutuhkan agar trauma yang dialami anak tidak berkepanjangan. Richard Dalton dan Marc A. Formn mengklasifikasikan gangguan afektif pada anak dan remaja menjadi tiga yakni, gangguan depresif berat, gangguan distimik dan gangguan bipolar dengan mania atau  depresif yang berselang-seling. Gangguan psikologi ini berkaitan dengan faktor eksternal anak. Penanganannya pun disesuaikan dengan kebutuhan mereka.

Tiga gangguan afektif memiliki ciri khusus pada anak. Depresi berat ditandai dengan disforia atau kehilangan minat pada aktivitas yang biasa dilakukan. Selain itu, gangguan ini berpengaruh pada perubahan berat badan yang berarti bisa penurunan atau penambahan berat badan. Lebih dari itu, gangguan ini juga akan melahirkan insomnia atau hipersomnia, agitasi atau retardasi psikomotor, kelelahan atau kehabisan energi setiap hari dan berulang-ulang memikirkan kematian yang bisa saja berakhir dengan bunuh diri.

Sementara, gangguan distimik adalah sindrom yang berlarut-larut melibatkan suasana hati anak selama paling tidak satu tahun. Sindrom ini melahirkan rasa putus asa, nafsu makan hilang, gangguan tidur dan penurunan harga diri. Gangguan bipolar bisa lahir karena depresi (perasaan tertekan) atau mania (perasaan berlebihan) atas pengalaman yang terjadi pada anak.

Begitu besarnya pengaruh konflik kekerasan terhadap anak sehingga negara harus hadir memberikan perlindungan kepada mereka secara optimal. Konstitusi menyebutkan setiap anak berhak memperoleh  perlindungan dari kerusuhan sosial, peperangan dan peristiwa yang di dalamnya mengandung unsur kekerasan. Perlindungan yang diberikan dapat berupa pencegahan atau penanganan pasca kerusuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun