Mohon tunggu...
Malika Vanya S.R
Malika Vanya S.R Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Treat people the way you want to be treated.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembunuhan Munir dan Pemaknaan Kebenaran: Analisis dari Perspektif Teori Postmodern Lyotard

7 Januari 2024   12:32 Diperbarui: 7 Januari 2024   12:32 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jean-Franois Lyotard dilahirkan di Versailles pada tahun 1924. Setelah Perang Dunia II, ia diterima di Universitas Sorbonne dan mengambil filsafat sebagai pokok studinya. Setelah itu, ia menjadi dosen di beberapa universitas. Sepuluh tahun di Universitas Paris VIII (Saint Denis), jabatan yang dipegangnya hingga tahun 1989. Dari tahun 1956 samapai 1966, Lyotard menjadi anggota dewan redaksi jurnal sosialis, Socialisme ou barbarie dan surat kabar sosialis Pouvoir Ouvrier. Di samping itu dia menjadi perserta aktif dalam upaya menentang pemerintahan Prancis saat berlangsungnya perang di Aljazair. Pemikiran filsafatnya dipengaruhi oleh Marx dan Kant. Namun pengaruh Marx dalam politiknya hanya disetujuinya pada tahun 1950-an, sebab pada tahun 1960-an dia sudah menjadi seorang filsuf postmodernitas non-Marxis. Ia meninggal pada tahun 1998 dalam usia yang ke-74.

Pada abad ke-20, terjadi perubahan signifikan dalam cara berpikir masyarakat. Perubahan ini ditandai dengan penolakan terhadap narasi besar (grand narratives) yang sebelumnya menjadi dominan dalam masyarakat modern. Lyotard berpendapat bahwa narasi besar telah kehilangan kredibilitasnya di era postmodern. Narasi-narasi tersebut sering kali digunakan untuk membenarkan kepentingan kelompok tertentu, sehingga kebenarannya menjadi relatif.

Contoh kasus nyata yang terjadi di Indonesia dan berkaitan dengan teori postmodern oleh Lyotard adalah kasus pembunuhan Munir.

Pada tahun 2004, Indonesia dikejutkan oleh berita tragis pembunuhan aktivis HAM dan aktivis anti-korupsi, Munir Said Thalib. Kasus ini menjadi sorotan internasional dan menimbulkan banyak pertanyaan tentang kebenaran, keadilan, dan kompleksitas politik di Indonesia. Penelitian ini akan menggali kasus pembunuhan Munir dari sudut pandang teori postmodernisme, khususnya melalui lensa Jean-Franois Lyotard yang menekankan keragaman narasi dan keragaman kebenaran.

Pembunuhan Munir memicu spekulasi dan kontroversi. Banyak yang percaya Munir dibunuh oleh pemerintah karena pekerjaannya sebagai aktivis hak asasi manusia. Namun tuduhan tersebut dibantah pemerintah dan menyebut kematian Munir adalah kecelakaan.

Kejadian ini dapat dianalisis dengan menggunakan teori postmodern Lyotard. Menurut Lyotard, kisah-kisah kebenaran besar seperti demokrasi, keadilan, dan hak asasi manusia telah kehilangan kredibilitas di era postmodern. Kisah-kisah ini sering digunakan untuk membenarkan kepentingan kelompok tertentu dan merelatifkan kebenaran.

Dalam kasus pembunuhan Munir, baik pihak yang meyakini Munir dibunuh oleh pemerintah maupun pihak yang menyangkal tuduhan tersebut menggunakan kisah nyata yang dibesar-besarkan untuk mendukung klaim mereka. Narasi kebenaran utama seperti demokrasi, keadilan, dan hak asasi manusia telah menjadi konsensus masyarakat Indonesia. Namun ketika cerita-cerita ini kehilangan kredibilitasnya, kebenarannya menjadi relatif.

Pemerintah menyebut kematian Munir adalah kecelakaan. Pemerintah menyatakan Munir meninggal karena keracunan arsenik dari makanan yang dimakannya di pesawat. Cerita ini didukung oleh temuan Tim Investigasi Kematian Munir (TIM). TIM mengungkapkan, Munir meninggal karena keracunan arsenik dari makanan yang dikonsumsinya di dalam pesawat. Namun cerita tersebut dibantah banyak pihak, termasuk keluarga Munir dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Keluarga Munir dan Komnas Ham meyakini Munir dibunuh pemerintah karena pekerjaannya sebagai aktivis hak asasi manusia.

Akan tetapi, narasi keluarga Munir dan Komnas HAM terkait pembunuhan Munir adalah Munir dibunuh oleh pemerintah. Keluarga Munir dan Komnas Ham yakin dia dibunuh karena pekerjaannya sebagai aktivis hak asasi manusia dan sering mengkritik pemerintah.

Cerita ini didukung oleh berbagai bukti, termasuk bukti adanya kesalahan dalam penyidikan kasus, termasuk hilangnya barang bukti dan saksi kunci. Ada tanda-tanda adanya pihak-pihak yang berusaha menutup-nutupi kasus ini, antara lain tekanan pemerintah terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam penyidikan dan motif pemerintah membunuh Munir, karena ia sering mengkritik pemerintah. Namun teori ini juga ditolak oleh pemerintah. Pemerintah menyebut penjelasan tersebut tidak didukung bukti substansial.

Ketidaksepakatan kedua narasi tersebut merupakan refleksi dari penolakan terhadap narasi besar kebenaran di era postmodern. Di era postmodern, kebenaran tidak lagi bersifat tunggal dan absolut. Kebenaran menjadi relatif dan dapat diperdebatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun