Mohon tunggu...
Politik

Innalillahi, Sementara Papa Minta Saham, Inilah Derita Masyarakat Papua di Sekitar Freeport

2 Desember 2015   04:33 Diperbarui: 2 Desember 2015   11:17 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Markus Bugaleng resah. Tokoh masyarakat suku Amungme, Mimika, Papua ini mengaku prihatin atas kehidupan warganya yang tak kunjung lepas dari kemiskinan. Persoalan gizi buruk dan kemiskinan luar biasa masih menghantui wilayahnya Padahal di tanah mereka berdiri perusahaan raksasa PT Freeport Indonesia. Tambang emas terbesar di dunia asal Amerika.

"Keberadaan Freeport di daerah kami tidak membawa kesejahteraan terhadap masyarakat, utamanya bagi suku Amungme dan suku Komoro," tutur Markus. Dua suku inilah pemilik tanah yang berlimpah tembaga dan emas itu. "Total tanah kami yang digunakan Freeport adalah 1,6 juta hektar," tambahnya. Namun anggota masyarakat kedua suku ini yang bekerja di Freeport bisa dihitung dengan jari. Sehingga cerita bahwa Freeport bisa membantu mensejahterakan Rakyat Papua dengan membantu mengeruk emas, dongeng isapan jempol belaka.

Betapa timpangnya nilai keadilan di Indonesia. Saat para elit bermewah-mewah di Senayan, membicarakan bagi-bagi alias bancakan saham atas kekayaan alam emas Papua, ternyata kehidupan rakyat Papua sendiri malah sangat memprihatinkan. Ini terlihat dari masyarakat di sekitar tambang, yang ironisnya malah paling miskin ketimbang wilayah Papua lainnya. Ini yang diakui sendiri oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe saat menemui Sudirman Said, Menteri ESDM.

"Ketertinggalan dan kemiskinan masih depan mata kita itu 31 persen,” ungkapnya.

Ini dibuktikan dengan data BPS yang mencatat bahwa tingkat kemiskinan di kabupaten sekitar pertambangan mencapai 31%, di mana angka ini merupakan angka kemiskinan tertinggi di antara seluruh kabupaten  di Papua (Akhir, 2015).

Ironisnya, selama ini Freeport mengaku (tahun 2012) telah menyerahkan Rp 3,4 Triliun ke pemerintah (pusat). Ke mana perginya menguap uang itu, tanpa sempat dinikmati sececap pun oleh rakyat Papua?

Sumber segala bencana ini adalah pengekangan Papua untuk bisa mengurus kekayaan alamnya sendiri. Sebagaimana kita mahfum dari kasus #PapaMintaSaham, begitu mirisnya kue kekayaan alam di Pulau Papua dibicarakan, dilobi-lobi, dan dipotong sesukanya di Jakarta. Apa yang didapat oleh rakyat Papua? Mengais dan menangisi puing-puing kemiskinan!

Ini tentunya tidak akan terjadi andai pengelolaan tanah Papua dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat Papua, bukan direbut oleh pusat. Inilah yang kini sedang diperjuangkan melalui RUU Otsus Plus untuk Papua.

Berbeda dengan fitnah keji yang diluncurkan oleh pihak-pihak dan politikus yang tidak menyenangi rakyat Papua menjadi mandiri, RUU Otsus Plus Papua bukanlah sebuah perjuangan kemerdekaan untuk membentuk negara sendiri. Yang diperjuangkan sebenarnya adalah kebebasan bagi rakyat Papua untuk bisa mengelola tanahnya tercinta, tidak lagi dicampuri bahkan didikte dan dizalimi oleh pusat, yang pada akhirnya hanya menyisihkan secuil bagi rakyat Papua.

Inilah yang ditakutkan oleh mereka, di mana Jakarta tidak lagi bisa turut campur terlalu banyak dan kehilangan kue bagian mereka. Sebab kekayaan emas tersebut tidak lagi bisa menjadi cawe-cawe wakil rakyat. RUU Otsus Plus Papua akan membatasi gerak persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha dalam mengeruk Papua. Padahal awalnya disetujui RUU Otsus Plus Papua ini akan masuk ke prioritas legislasi. Namun kemudian ditawar-tawar hanya dengan pemberian anggaran yang tidak adil bagi Papua, Rp 720 miliar (bandingkan dengan setoran Rp 3,4 T yang telah diserahkan oleh Freeport). Ini jauh berbeda jika RUU Otsus Plus Papua berhasil diwujudkan menjadi UU, di mana Pemerintah Provinsi akan mendapat hak untuk mengurusi diri dan kekayaan alamnya sendiri.

Banyak yang berebut berkomentar soal cawe-cawe saham Freeport, tapi berapa banyak yang benar-benar peduli dengan nasib rakyat miskin Papua?

Sumber gambar: Geotimes.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun