Mohon tunggu...
Malik Abieraisya
Malik Abieraisya Mohon Tunggu... -

Diam menghanyutkan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rela Sekarat Demi Kecantikan

16 April 2013   07:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:07 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekan lalu, sejumlah cerita yang berhubungan
dengan industri kecantikan telah menjadi berita
utama, termasuk penerbitan sebuah buku
berjudul “The Vogue Factor” oleh mantan
editor majalah Vogue, Kirstie Clements di mana
dia menjelaskan langkah-langkah ekstrim yang
ditempuh oleh para model untuk
mempertahankan ukuran tubuh ideal yang
diharapkan demi kecantikan dan industri fashion.
Dia menyatakan bahwa tekanan terhadap para
model untuk tetap kurus begitu kuat sehingga
ada beberapa model yang hanya makan tissu
untuk mencegah rasa lapar, model yang lain
menghindari makanan padat untuk mengurangi
ukuran dua gaun yang mengakibatkan model
tersebut terpaksa menjalani rawat inap di
Rumah Sakit, sementara yang lainnya tidak makan
selama berhari-hari sampai-sampai mereka
hampir tidak bisa berdiri.
Namun, contoh kecantikan buatan yang tidak
realistis ini serta “obsesi dengan model ukuran
nol yang berimbas Anoreksia” seperti yang
dipaparkan oleh salah satu wartawan
Independent Inggris, juga telah berdampak buruk
pada gadis biasa dan perempuan di tengah-
tengah masyarakat Barat yang terus-menerus
dibombardir dengan gambar yang disebut dengan
wajah, ukuran tubuh dan bentuk yang “sempurna”
di layar TV, billboard, dan halaman-halaman
majalah.
Di AS dan Inggris masing-masing ada 7 juta dan 1
juta wanita kelaparan. Ini bukan korban
kelaparan tetapi korban mode. Mereka adalah
perempuan dengan gangguan yang melaparkan
diri supaya sesuai dengan contoh ukuran tubuh
yang menindas agar merasa dihargai, hasil yang
didapat adalah kegagalan organ, gagal jantung,
dan kematian. Mereka telah dipengaruhi oleh
pesan-pesan yang sangat merusak yang
ditancapkan ke dalam pikiran mereka oleh
masyarakat liberal di mana mereka hidup dalam
pemikiran seperti apa itu kecantikan, bahwa
keindahan setara dengan sukses, dan bahwa nilai
wanita diukur dengan wajah dan figurnya.
Fenomena risiko kematian dalam mengejar
keindahan tidak berdiri sendiri di Barat.
Sayangnya hal ini menjadi tren yang signifikan dan
berkembang di tengah-tengah perempuan di
dunia Muslim yang juga telah dipengaruhi oleh
kecantikan ala Barat yang menjenuhkan hiburan,
majalah, pusat perbelanjaan, dan media massa
dalam masyarakat mereka – gambar yang
menentukan betapa pentingnya memperoleh
bentuk “ideal” untuk terlihat berharga. Minggu
ini Al-Jazeera memberikan laporan mengenai
Nigeria sebagai negara yang memiliki
persentase tertinggi di dunia wanita yang
menggunakan krim pencerah karena kulit cerah
dianggap lebih indah oleh masyarakat.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, 77% wanita
di Nigeria menggunakan krim atau pemutih,
padahal banyak krim yang bisa menyebabkan
gagal ginjal, leukemia, serta kanker hati dan
ginjal. Produk pemutih kulit yang sama juga
digunakan oleh wanita di negara-negara Muslim
lainnya. Selanjutnya, awal tahun ini, International
Society of Aesthetic Plastic Surgeons
melaporkan bahwa telah terjadi peningkatan
signifikan terhadap permintaan bedah kosmetik
di Turki dan Arab Saudi yang keduanya masuk dalam
peringkat 25 negara di seluruh dunia dengan
tingkat tertinggi prosedur kosmetik. Prosedur
tentu saja bisa membawa pada kesehatan
bahkan terkadang resiko kematian.
Dan semua ini telah didorong oleh sistem
kapitalis tanpa ampun yang telah membuat
ketidakamanan fisik perempuan sebagai alat
pemasaran untuk mengeruk keuntungan. Sebagai
sosok perempuan yang diperas habis-habisan,
margin keuntungan dari kecantikan, fashion, dan
industri diet yang bernilai miliaran terus
berkembang melalui promosi abadi mereka dari
ilusi ideal akan kecantikan yang tak terjangkau
yang didasarkan dengan terus berusaha untuk
membujuk perempuan – “Anda tidak cukup baik”
Penduduk Inggris menghabiskan lebih dari £ 11
miliar setiap tahun untuk membeli produk
penurun berat badan. Di AS, berkisar antara $
40-100 miliar. Majalah The Economist
melaporkan bahwa produk pemutih kulit
diharapkan menjadi industri $ 10 miliar pada tahun
2015. Seorang feminis Barat Kat Banyard
menulis, “Selama sisa-sisa ideal kecantikan tetap
ada, maka bisnis akan terus memilih wajah
keropeng dan kemudian menjual plester pada
kami”. Dampak bencana mengabadikan mitos
kecantikan pada harga diri dan kehidupan
perempuan termasuk memicu gangguan makan
adalah tidak relevan dengan ideologi kapitalis
yang tidak berperasaan dan tak tahu malu yang
moralnya ditentukan oleh uang.
Setiap orang yang berpikiran benar pasti akan
mempertimbangkan bahwa kelaparan, mutilasi,
atau luka berat terhadap perempuan merupakan
bentuk pelecehan, tetapi kapitalisme telah
berhasil memasarkannya demi keuntungan
finansial sebagai pemberdayaan, pembebasan,
dan kecantikan. Tapi pemberdayaan macam apa
itu ketika seorang wanita merasa dia perlu
melaparkan dirinya untuk merasa dihargai atau
memutilasi tubuhnya dengan kesakitan, kemudian
operasi yang mengancam jiwa agar sesuai
dengan contoh kecantikan yang irasional?
Pembebasan macam apa itu ketika seorang
wanita tergantung pada pandangan orang lain
untuk merasakan harga diri, atau ditipu untuk
menghabiskan banyak uang agar terlibat dalam
penipuan pencarian kecantikan yang tidak pernah
berakhir. Tidak! Ini adalah penindasan fisik,
psikologis, dan emosional!
Sebaliknya, Islam membebaskan perempuan dari
obsesi yang melumpuhkan dengan wajah, figur,
dan warna kulit mereka untuk tidak menghargai
seorang wanita atas dasar penampilan tetapi
dari kesalihan, karakter dan perilakunya. Allah
SWT mengatakan,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al
Hujuraat : 13)
Dan Islam membebaskan perempuan dari
ketidakamanan dan rendahnya harga diri terkait
dengan penampilan mereka untuk tidak
mengatur dengan harapan kecantikan yang
dangkal, buatan manusia, tidak rasional, dan tidak
realistis. Sebaliknya, Islam mengatur pakaian yang
sederhana, dan realistis bagi perempuan dalam
kehidupan publik yang berada dalam jangkauan
setiap wanita – yaitu khimar dan jilbab – yang
memfokuskan perhatian masyarakat terhadap
kepribadian, kecerdasan, kemampuan, dan
kontribusinya dalam komunitasnya lebih dari
sekedar ukuran pinggang dan berat badan, serta
menyampaikan pesan bahwa kecantikannya tidak
untuk dijadikan diskusi publik atau pembahasan. Ini
adalah pandangan terhadap perempuan yang akan
berlaku dalam sistem Khilafah. Apakah ini bukan
pemberdayaan perempuan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun