Awal masa kepresidenan Donald Trump diwarnai dengan dinamika konflik Israel-Palestina. Di tengah gencatan senjata antara Israel dan Hamas, muncul laporan yang menyebutkan bahwa tim transisi Trump sempat mempertimbangkan relokasi warga Gaza ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Gagasan ini memicu kritik tajam karena dinilai dapat memperkuat tujuan Israel untuk mengusir Palestina dari tanah mereka.
Kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang dicapai di awal 2025 tidak lepas dari peran penting beberapa mediator internasional. Mesir dan Qatar menjadi aktor utama dalam proses ini, dengan dukungan diplomatik dari Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Presiden Mesir, Abdel Fattah el-Sisi, dan Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, memainkan peran strategis dalam meyakinkan kedua belah pihak untuk menghentikan kekerasan. "Gencatan senjata ini adalah langkah awal untuk menciptakan stabilitas, tetapi harus diikuti dengan solusi politik yang adil," ujar Sheikh Tamim dalam pernyataannya yang dikutip oleh Al Jazeera.
Di sisi lain, pemerintahan Trump mendukung langkah mediasi ini sebagai bagian dari pendekatan AS untuk mengurangi konflik di Timur Tengah. Namun, sejumlah laporan, termasuk dari Middle East Eye, menyebutkan bahwa tim transisi Trump sempat membahas relokasi warga Gaza sebagai solusi jangka pendek untuk krisis kemanusiaan di wilayah tersebut.
Penolakan Indonesia dan Spekulasi Relokasi
Wacana relokasi warga Gaza ke negara-negara lain, termasuk Indonesia, ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Indonesia. Teuku Faizasyah, juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, menegaskan bahwa ide ini tidak hanya tidak manusiawi tetapi juga bertentangan dengan prinsip solusi dua negara.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyebut bahwa gagasan relokasi ini adalah bagian dari strategi Israel untuk mengusir warga Palestina dari tanah mereka. "Relokasi seperti ini bukan solusi, tetapi justru alat untuk menyukseskan rencana Israel menggusur Palestina secara sistematis,"
Spekulasi ini tidak sepenuhnya tanpa dasar. Para pengamat, termasuk Rashid Khalidi, seorang sejarawan Palestina, menyatakan bahwa relokasi paksa dapat digunakan untuk mengosongkan Gaza dari penduduknya, sehingga membuka jalan bagi kontrol penuh Israel atas wilayah tersebut.
Sekretaris Jenderal PBB, Antnio Guterres, dalam pidatonya di Sidang Umum PBB, juga menentang wacana relokasi. "Relokasi warga Palestina hanya akan menciptakan penderitaan baru dan mengalihkan perhatian dari akar masalah: pendudukan Israel atas wilayah Palestina," tegasnya.
Negara-negara seperti Mesir dan Qatar, yang berperan sebagai mediator, menolak gagasan relokasi dan lebih memilih pendekatan yang fokus pada solusi diplomatik. Bantuan kemanusiaan ke Gaza menjadi prioritas mereka untuk meringankan penderitaan warga Palestina tanpa harus memindahkan mereka dari tanah kelahiran mereka.