Kariem duduk di bangku depan kelas, menatap papan tulis dengan mata yang sedikit kosong. Hari ini, ia merasa lelah. Bukan karena pelajaran olahraga yang membuatnya berlari tanpa henti, tetapi karena otaknya terus dipenuhi oleh tugas-tugas sekolah yang tak kunjung habis. Sejak Kurikulum Merdeka diterapkan di sekolahnya, Kariem merasa semuanya berubah begitu cepat.
"Aku tidak paham, Bu. Kenapa harus begini?" keluhnya pada ibunya saat mereka sedang makan malam.
Ibu Kariem menatapnya dengan lembut, "Kenapa, Nak? Apa yang membuatmu tidak paham?"
"Sekarang tugas sekolah jadi lebih banyak. Guru-guru bilang aku harus belajar mandiri, tapi aku malah bingung sendiri. Aku takut salah," jawab Kariem dengan nada malu.
Ibunya tersenyum tipis, berusaha menenangkan, tapi Kariem tahu betul, ibunya pun tak sepenuhnya paham dengan perubahan kurikulum ini. Dulu, Kariem hanya perlu mengerjakan tugas yang sudah ditentukan, tapi sekarang ia harus membuat proyek, menyusun laporan, dan berkolaborasi dengan teman-temannya. Kata gurunya, ini adalah pembelajaran berbasis proyek.
Ibu Kariem meremas pundaknya lembut. "Mungkin kita harus bicara dengan gurumu, ya. Tapi ingat, Kariem, ibu yakin kamu bisa melewati ini".
Hari-hari berikutnya tak jauh berbeda. Kariem sering pulang dengan wajah letih. Di sekolah, ia mulai melihat beberapa teman yang kehilangan semangat. Tidak semua anak bisa mengikuti pembelajaran mandiri yang diharapkan dari Kurikulum Merdeka. Terkadang, saat bekerja dalam kelompok, Kariem merasa ada yang tidak seimbang. Beberapa temannya tampak lebih menonjol, sementara yang lain, termasuk dirinya, merasa tersisih.
Pada suatu siang, ketika istirahat, Kariem duduk di bawah pohon sambil membaca buku yang sebenarnya tidak ingin ia baca. Buku itu tentang sains, tetapi sekarang Kariem lebih ingin bermain bola.
"Kariem, kamu kenapa?" tanya Abdul, sahabatnya, yang duduk di sebelahnya.
Kariem menghela napas panjang. "Aku bingung, kenapa kita harus belajar seperti ini? Aku dulu suka sains, tapi sekarang, semuanya terasa berat".