"Dengan menguasai perasaan maka kita mampu memenangkan segala hal." Begitu kira-kira status update facebook pacar saya beberapa minggu yang lalu. Ia memang senang dengan motivasi diri, dan berharap menjadi motivator hebat sekelas dengan Mario Teguh, meskipun cita-citanya tersebut berbeda dari apa yang ia pelajari di kampusnya. Saya, yang sudah sering menjadi 'korban' motivasi diri-nya, sudah kurang tertarik dengan status update facebook tersebut. Namun, beberapa hari yang lalu, saya baru diberitahu cerita menarik yang melatarbelakangi dirinya menulis status seperti itu. "Alkisah, suatu ketika ada seorang penjual yang berkelahi dengan pelanggannya. Keduanya sama-sama mengklaim bahwa dirinya dirugikan oleh pihak yang lain. Mereka berdua berniat membawa masalah tersebut ke pengadilan. Kebetulan sekali, ada seorang pengacara yang mengetahui perkelahian tersebut. Pengacara itu menghampiri penjual dan pelanggan, menanyakan masalah apa yang menimpa mereka berdua. Si penjual menyatakan bahwa dirinya dirugikan karena si pelanggan tidak mau membayar apa yang telah diterimanya. Sedangkan si pembeli tidak mau membayar karena merasa apa yang diterimanya tidak memuaskan dirinya. Keduanya memang diliputi oleh emosi yang berlebih. Pengacara itu tidak mengeluarkan pengetahuan hukumnya untuk menghadapi keduanya, ia malah bercerita tentang profesinya. Pengacara itu mengatakan, bahwa profesinya sebagai pengacara itu berat. Ia mendapat tekanan dari pihak-pihak yang terlibat dengannya. Ia mendapat tekanan dari hakim, dari jaksa, bahkan juga dari kliennya. Ia mengatakan bahwa caranya mengatasi segala tekanan tersebut tanpa merugikan dirinya sendiri adalah dengan menguasai perasaannya. Lantas ia mengaitkannya dengan hal yang menimpa penjual dan pelanggannya tersebut. Jika si penjual tidak mampu menguasai perasaannya, maka si penjual akan mudah marah dan kesal ketika ada pelanggannya yang komplain. Ketika perasaan tersebut tidak dikuasainya, pelanggannya tentu kecewa dan pindah ke penjual lain. Jika si pelanggan tidak mampu menguasai perasaannya, ia merasa kedudukannya lebih tinggi dari si penjual dan mudah komplain, padahal hal yang demikian dapat membuatnya tidak disukai oleh penjual manapun. Jika kedua pihak tidak dapat menguasai perasaan masing-masing, yang akan di dapat adalah kerugian. Akhirnya, penjual dan pelanggannya menyadari kesalahan mereka masing-masing dan berniat menyelesaikannya dengan damai, tanpa perlu ke pengadilan." Setelah mendengar cerita tersebutlah, saya baru terilhami. Seringkali saya tidak mampu menguasai perasaan saya. Padahal luapan perasaan yang tidak mampu saya bendung itulah yang dapat merugikan saya sendiri nantinya. Perasaan itu tidak harus marah atau sedih. Jelas kalau kita tidak dapat menguasai marah, diri kita sendiri yang akan merugi, karena bisa jadi orang-orang di sekitar kita menjadi takut kepada kita. Ditakuti karena hal seperti itu, pastinya bukan hal yang membanggakan. Luapan perasaan senang yang tidak terbendung juga dapat merugikan diri kita, karena bisa jadi orang-orang menganggap diri kita ini pribadi yang sombong. Inti dari menguasai perasaan, kembali lagi kepada asas "segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik". Bisikkanlah dalam diri kita, "I'm the captain of my feeling." Apapun yang kita rasakan jangan biarkan perasaan itu yang menguasai kita, tetapi kitalah yang menguasai perasaan tersebut. -Nam et Ipsa Scientia Potesta Est, Knowledge is the Power. Francis Bacon-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H