Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Remaja Kehilangan Karakter, Apa Pemicunya?

10 Juni 2013   08:21 Diperbarui: 17 Februari 2016   10:32 2357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Hancurnya rumah mungkin sudah biasa karena seketika itu pula dirasakan dan setelah itu dapat langsung diperbaharui dan tidak menimbulkan efek yang berbahaya dalam waktu yang lama. Namun bagaimana dengan hancurnya generasi muda? Jawabannya tentu akan berakibat hancurnya sebuah peradaban manusia. Sebagaiamana dipahami bahwa unsur utama bangsa akan tetap berdiri kokoh adalah manakala generasi penerusnya siap menggantikan peran orang tua atau generasi tuanya dalam meneruskan estapet pembangunan sebuah negara. Akan tetapi bagaimana jika penerus estapet yang seharusnya bisa menggantikan generasi tuanya ternyata kehilangan karakter? Ini yang sebenarnya membutuhkan solusi.

Apa sebenarnya yang dimaksud kehilangan karakter (loss of character)? Lost of character adalah pemahaman bahwa seseorang karena sesuatu sebab menjadi kehilangan karakter atau watak/sifat aslinya. Hal ini dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah kecenderungan anak-anak remaja dan pemuda tanggung yang mulai kehilangan jati diri yang sebenarnya karena masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan sosial

Ada beberapa hal yang mendorong pemuda-pemudi kehilangan karakter yang baik.

1. Tuntutan Ekonomi yang Tinggi

Pada zaman dahulu setiap orang belajar merupakan sebuah cita-cita dan bukan merupakan tuntutan. Ini dapat diketahui bahwa jaman dahulu anak-anak muda benar-benar ingin belajar karena mereka menginginkan perubahan dalam status sosial dan ekonomi. Di mana hanya orang yang memperoleh pendidikan yang diterima dalam lingkungan masyarakat tertentu (elit) dan dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan meski tanpa berkompetisi dengan banyak orang. Hal ini disebabkan karena masih sedikitnya lulusan sekolah tinggi sedangkan lapangan pekerjaan semakin banyak. Kenyataan ini menuntut seseorang untuk belajar dengan tekun dan rasa percaya tinggi akan masa depannya. Meskipun hanya orang-orang ningrat saja yang dapat mengenyam pendidikan tinggi. Akan tetapi mereka merasa dengan sekolah kehidupannya akan dapat berubah. Sedangkan saat ini, begitu banyak lembaga-lembaga pendidikan, ditambah lagi jutaan lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi ternyata hanya menjadi pengangguran dengan sikap apatis mereka mendaftarkan diri agar dapat bekerja pada lembaga formal dengan gaji yang memadai. Hingga kecenderungan rasa rendah diri, putus asa (apatis) serta pelampiasan emosi yang berakibat pada prilaku yang diluar batas kewajaran. Selain itu, orang tua zaman dahulu, meski pendidikan mereka rendah ternyata secara emosi mereka lebih tenang dan sikap nrimo terhadap kehidupan ekonomi membuat perhatian mereka pada komunikasi di rumah lebih bermutu dan sedikit tuntutan terhadap anak-anak mereka. Sehingga secara psikologis anak pun tidak dihadapkan pada tuntutan yang terkadang mereka tidak mampu menerima dan menanggungnya.

 2. Lemahnya Komunikasi Sosial

 Hal lain yang menyebabkan muda-mudi kehilangan karakter adalah manakala lingkungan masyarakat tidak lagi menjadi tempat berkomunikasi dan bergaul yang baik akan tetapi justru menjadi celah dan ruang terjadinya kesenjangan. Di antara anak-anak yang berkecukupan ternyata terdapat juga anak-anak yang berada dalam garis kemiskinan. Ini memungkinkan putusnya komunikasi banyak arah disebabkan karena perbedaan status sosial. Di mana anak-anak / pemuda-pemudi dari kelompok kaya cenderung hanya bergaul dengan kelompok kaya juga, sedangkan mereka dari golongan tidak mampu hanya bergaul dengan mereka yang status ekonominya sama dengan mereka. Hal inilah yang memunculkan sekat-sekat perbedaan dan mempertinggi kesenjangan hingga pada akhirnya konflik-konflik kecil yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan komunikasi yang baik layaknya keluarga akan tetapi diselesaikan dengan perangkat hukum yang cenderung jauh dari rasa keadilan. Sehingga pada saatnya akan terjadi benturan yang kedua kali disebabkan kekecewaan yang cenderung tidak pernah diselesaikan. 3. Keluarga yang Berantakan (Broken Home) Broken Home di sini bukan hanya berkaitan pada perpecahan keluarga karena perceraian tapi lebih pada tidaka danya perhatian orang tua terhadap anak begitu juga sebaliknya tidak adanya penghormatan anak kepada orang tuanya karena orang tua lebih sibuk pada urusan keuangan dan materi lainnya akan tetapi mereka melupakan aspek immateri atau jiwa anak-anaknya. Aspek ini juga menimbulkan banyak masalah dan menjadi penyebab yang besar terjadinya kehilangan karakter pada anak-anak remaja dan pemuda. Andaikan keluarga diibaratkan kapal yang berlayar di tengah samudra, ternyata konflik anak dengan orang tuanya menjadikan kapal tidak berjalan sesuai dengan harapan keluarga. 4. Media Massa  Media massa menempati urutan terakhir dalam bahasan ini meskipun pada kenyataannya ternyata media massa seperti TV,  Video Game, Internet dll ternyata menyumbang kesalahan besar terhadap rusaknya karakter muda-mudi.

Berdasarkan pengamatan terhadap anak-anak desa yang sama sekali tidak mengenal istilah TV, Video Game dan Internet ternyata memiliki sikap dan prilaku yang lebih manusiawi dari pada anak-anak yang tinggal dengan suasana modern dan memiliki semua media dalam kehidupan sehari-hari.

Mitchel V. Charnley dalam bukunya yang berjudul Reporting edisi III (Holt-Reinhart & Winston, New York, 1975, halaman 44) dalam Muda (2005) menyatakan bahwa: “Berita adalah laporan yang tepat waktu mengenai fakta atau opini yang memiliki daya tarik atau hal penting atau kedua-duanya bagi masyarakat luas”. Hal ini mengakibatkan terjadinya persaingan  untuk mendapatkan minat pemirsa sebanyak mungkin dengan bobot peristiwa yang didasarkan terhadap eksklusivitas, keistimewaan, atau ruang lingkupnya.

Kebebasan remaja dalam menerima informasi yang terkadang tidak layak untuk ditonton lebih banyak membuat kejiwaan anak mengalami perubahan secara signifikan karena mereka cenderung meniru apa yang dilihatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun