Tahun pelajaran 2013/2014 sudah berakhir dan saat ini sudah memasuki akhir semester pertama tahun pelajaran 2014-2015. Namun kurikulum 2013 sudah dilaksankan di beberapa sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah percontohan. Begitu pula sekolah di mana anak kami menuntut ilmu, kurikulum baru tersebut pun dilaksanakan dan pastinya laporan hasil belajar siswa semestinya sudah menggunakan format kurikulum terbaru.
Meskipun saat ini kurtilas (sebutan untuk kurikulum 2013) tinggal kenangan, ternyata ada yang membuat saya senyum-senyum sendiri. Sebab karena kurtilas, raport semester pertama di tahun pelajaran tersebut tidak dibagikan. Padahal saya selaku orang tua pun berhak tahu bagaimana hasil belajar anak. Gak muluk-muluk mendapatkan ranking, yang penting anak nyaman belajar dan hasil belajar tidak mengecewakan sudah cukup bagi saya. Dan itu saya tanamkan kepada anak saya karena prestasi bukan sebatas nilai di raport tapi kemandirian anak serta sikap yang ditunjukkan setelah menempuh jenjang pendidikan tertentu.
Wajar sampai saat ini anak saya belum pernah mendapatkan ranking, yang kemampuannya rata-rata tapi tidak ada satupun yang jeblog. Tapi saya bangga karena anak tidak pernah mengeluh stress, atau tertekan lantaran dipaksa orang tuanya untuk belajar dengan keras. Seperti kasus-kasus yang terjadi terhadap anak yang dipaksa orang tuanya agar mengikuti les. Anak terlihat terguncang jiwanya lantaran tak mampu menerima tekanan belajar yang terlalu berat.
Saat ini sudah memasuki ujian semester akhir 2014/2015, kurtilas tinggal kenangan. Tapi sampai saat ini ada yang masih turut menjadi persoalan adalah beban yang dialami guru tatkala berhadapan dengan kurikulum yang dihasilkan oleh mantan mentri pendidikan kita, bpk. Muhammad Nuh.
Saya bukan bermaksud menjustifikasi bahwa kurtilas buruk, lantaran tidak semua sekolah menolak, meskipun sebagian besar merasa kesulitan dengan konsep yang diberikan dalam kurtilas tersebut. Selain itu memang saya melihat pendidikan sebagai sebuah proses masih belum sepenuhnya dipahami oleh siswa. Maklum konsep kurtilas tersebut terbilang baru dan rumit. Jadi kebiasaan guru dan siswa terbiasa dengan kurikulum yang mudah dipahami dan sarana dan prasaranya sudah tersedia. Sehingga para guru dan siswa tinggal menjalankan saja. Tidak ada persoalan yang berarti seperti berlakunya kurikulum 2006 (KTSP). Bagaimana mungkin sebuah proses dapat berjalan dengan baik jika perangkat yang menyertainya tidak juga terpenuhi?
Terlepas dari njlimet (tidak boleh dibilang sulit) proses pembelajaran, karena akhir dari sebuah proses pembelajaran selama satu semester adalah dibagikannya raport. Namun yang membuat saya aneh adalah tatkala di tahun sebelumnya raport anak saya kog tidak dibagikan? Anak saya mengatakan bahwa raport belum dikasihkan bu guru, karena belum selesai. Hah? Dalam hati saya terkejut. Tapi sesaat kemudian saya menyadari bahwa memang sepertinya benar apa yang banyak diperbincangkan para guru, bahwa kurtilas cukup membuat ribet dan tak mudah dalam pelaporannya. Apa benar demikian? Ternyata pertanyaan saya terjawab sudah tatkala saya mengikuti sebuah pelatihan pembuatan naskah soal dan pengisian raport. Untuk pembuatan naskah soal sepertinya tak terlalu berbeda dengan KTSP, karena semua diawali dengan sebuah sebuah tema yang menjadi unsur utama. Meskipun yang dinilai tidak hanya faktor kognitif saja, akan tetapi pada skala sikap, proses dan hasil. Ternyata persoalan ini turut menjadi beban guru di kelas. Persoalan biasanya hanya terbatas bagaimana menilai siswa dari kognisinya saja, ternyata semua aspek dinilai dan diberikan ukuran tersendiri misalnya kurang, cukup, baik dan baik sekali.
Pada proses penentuan skala sikap ini, pun guru sudah mengalami kendala karena tidak mudah menilai sikap seseorang. Apalagi jumlah siswa per kelas tak kurang dari 40 siswa. Akan berbeda jika siswa maksimal 8 orang misalnya bagi sekolah-sekolah ABK. Meskipun sedikit atau banyak, menilai kondisi anak ABK tentu tak semudah bagi anak-anak pada umumnya.
Melihat fenomena tersebut, dan ketika Menteri Pendidikan pak Anies Baswedan memutuskan untuk menghentikan kurikulum 2013 tersebut rerata guru berucap syukur. Bahkan ada yang sampai sujud syukur lantaran beban emosional yang dialami guru, siswa dan orang tua siswa menjadi terlepaskan.
Kembali pada kurikulum 2006 (KTSP) apakah guru tidak mengeluh?
Kembali pada persoalan bahwa kurikulum apapun di dunia ini, terkhusus bagi guru-guru di Indonesia hakekatnya sama saja. Semua tergantung guru, siswa dan ketersediaan sarana dan prasarana di sekolah. Jika sewaktu diluncurkan kurtilas guru mengeluh karena dianggap ribet, tentu harapannya KTSP tersebut menghentikan keluhan guru-guru tersebut sehingga mereka menjadi lebih konsentrasi dan menikmati lantaran harapan mereka tentang pembatalan kurtilas benar-benar diapresiasi pemerintah.
Namun sekali lagi, kurikulum di Indonesia selalu penuh dengan pro kontra. Saya teringat sewaktu saya masih sekolah dasar, waktu itu berlaku kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) di mana menuntut siswa untuk belajar mandiri sedangkan guru hanya mendampingi siswa. Tapi faktanya CBSA pun disalah artikan sebagai Catat Buku Sampai Habis. Seolah-olah siswa hanya disuruh mencatat buku pelajaran sampai selesai. Sedangkan guru hanya duduk diam di bangkunya sambil mengamati siswa-siswanya. Padahal semestinya guru mendampingi siswa dalam proses belajar, termasuk misalnya tatkala siswa dituntut untuk melakukan eksplorasi terkait mata pelajaran IPA. Guru menjadi fasilitator disiapkannya perangkat eksperimen, mengarahkan, mengawasi dan mengevaluasi hasil kerja siswa.