Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ramahnya Masyarakat Jogjakarta

30 Agustus 2014   03:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:08 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudut Kota Daerah Istimewa Jogjakarta / id.wikipedia.org

Tulisan ini sekedar sebagai sebuah catatan pribadi, tatkala beberapa bulan silam saya mengikuti Pesantren Ramadhan di bilangan Yogyakarta, lebih tepatnya di sebuah hotel di kota budaya tersebut.

Meskipun saya keturunan asli Jogjakarta campuran Banyuwangi, yang temperamennya lembut rada-rada keras (wuih bebek silem) tapi merasakan bagaimana ramahnya masyarakat asli Jogjakarta yang ada di wilayahnya tentu akan sangat berbeda rasanya ketika berhadapan dengan masyarakat Jogja yang sudah lama hidup di perantauan. Karena biasanya mereka pun mengikuti pola hidup dan karakter masyarakat daerah setempat. Misalnya, ketika beliau merantau ke Sumatera, maka kebiasaan bertutur sapa pun akan jauh berbeda dengan masyarakat yang masih berdomisili di propinsi asalnya. Kota yang terkenal ramah tamah dan dijuluki sebagai kota pendidikan dan budayanya.

Saya selama mendampingi dan mengikuti pelatihan Pesantren Ramadhan bersama anak disabilitas mendapatkan pengalaman berharga, di mana para pekerja hotel terlihat sangat ramah, mau tersenyum dan dengan ramahnya menyapa siapapun yang dianggap membutuhkan bantuan. Bahkan tanpa diminta mereka selalu menanyakan apakah yang ingin dibantu. Selain memang standar hotel mengharuskan pekerjanya senantiasa ramah kepada para tamu, namun di balik itu ada kearifan tersendiri yang berasal dari akar budaya. Mereka benar-benar memegang prinsip senyum, sapa salam. Kesan yang amat mengagumkan.

Bahkan tatkala saya harus bolak balik ke hotel karena koper saya tertinggal di bus, saya berusaha meminta tau perihal panitia yang mengurus bagian transportasi, recepsionis inipun tetap melayani saya meskipun saya terlihat memburu-buru dan memaksa agar permintaan saya segera dipenuhi.

Tak sampai disitu kesan yang saya dapatkan, ketika kebetulan handphone saya mengalami kerusakan speaker, saya bergegas menuju sebuah kounter kecil di depan hotel, dan di sana saya disambut dan diajak berbincang-bincang dengan ramah. Tak menyangka selain sapaan dari pemilik counter begitu ramah, ternyata mereka pun tak menolak ketika dimintai tolong agar segera menyelesaikan pekerjaannya meski harus ditunggu padahal dimalam hari. Pengalaman yang amat jarang saya temui, bahkan di kampung saya sendiri saat ini biasanya di malam hari mereka sudah tak mau melayani dengan alasan capek dan susah diperbaiki, dan beralasan yang kadang dibuat-buat dengan tujuan meminta bayaran lebih mahal. Bahkan saya harus menunggu dua hari kemudian jika ingin mengambil barang yang saya perbaiki.

Selain ramahnya mereka melayani tamu, ternyata biaya perbaikan pun ketika dihitung-hitung amat murah dibandingkan di kota asal saya sendiri, boleh jadi memang standar yang sudah beda, atau memang masyarakat Jogja tak mau menekan konsumen yang berasal dari luar daerah. Bahkan ketika saya menggunakan sebuah mobil carteran, pihak sopir pun tak marah tatkala beliau meminta tambahan biaya, saya hanya memberikannya uang sekedarnya. Beliau tetap tersenyum dengan ramah.

Tak sampai di situ, semua jenis makanan atau masakan di Jogyakarta sangat jauh terlampau murah untuk ukuran masakan di daerah saya sendiri, bahkan kadang orang-orang tak habis pikir, bagaimana mereka mendapatkan untung jika masyarakatnya menjual makanan terlampau murah. Tapi nyatanya kehidupan mereka masih saja sejahtera.

Saya merasakan sebuah karakter masyarakat yang benar-benar berbeda, dengan saya sendiri yang keturunan Jawa campuran dan lama tinggal di Sumatera yang karakter masyarakatnya lebih keras daripada masyarakat Jogyakarta. Jadi secara tidak langsung kepribadian dan karakter saya dan keluarga menjadi terpengaruh dan menjadi sebuah kebiasaan yang mengalir begitu saja.

Masyarakat Jogjakarta adalah masyarakat yang kaya raya, kaya akan budaya, masakan yang terkenal sampai ke seantero nusantara, gudeg misalnya, pakaian batiknya yang juga mendunia, hamparan candi-candi yang juga elok di pandang mata. Masyarakat Jogjakarta adalah masyarakat yang cerdas, mereka mampu menjaga toleransi dan solidaritas meskipun orang-orang yang tinggal di daerah ini berasal dari belahan bumi lain di negeri ini, dan masyarakat Jogja adalah masyarakat yang berbudaya, mereka selalu menjaga tradisi leluhur yang telah diwariskan turun temurun, dan karena mereka tak mau main serobot antrian dan tak mau memaksakan diri untuk mendahului, meskipun seorang pejabat sekalipun semua mematuhi aturan yang berlaku di daerah ini.

Salam Indonesia Raya

Metro, 29-8-2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun